Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengimbau masyarakat tetap mewaspadai potensi dan risiko terjadinya gempa besar dengan mempersiapkan jalur mitigasi ke daerah yang dianggap aman, terutama yang berada di ketinggian.
"(Pada dasarnya, red.) Gempa bumi tidak bisa diprediksi. Namun kita bisa memperkirakan zona-zonanya, mana yang harus diwaspadai," kata dia dikonfirmasi saat melakukan kunjungan kerja di Pacitan, Kamis.
Ia menyebut kegempaan yang puluhan kali melanda berbagai daerah di Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun Sumatera dan daerah-daerah di Indonesia timur sejak sebulan terakhir, bisa jadi pertanda yang harus diwaspadai.
Intensitas kegempaan bahkan disebut Dwikorita meningkat. Selama kurun Januari saja, terjadi 85 kali kejadian kegempaan yang tersebar mulai dari Aceh, Nias, Bengkulu, dan Lampung.
Gempa juga melanda daerah pesisir selatan Pulau Jawa, mulai dari Banten, Jabar, dan Jateng.
Di bagian timur peningkatan kegempaan juga melanda Lombok, Sumbawa, Sumba, hingga Sulawesi, mulai dari Sulbar, Sulteng, Gorontalo, hingga Laut Maluku.
Dwikorita menuturkan belajar dari sejumlah kejadian gempa di Tanah Air, guncangan besar tidak terjadi tiba-tiba.
Sikap waspada selanjutnya bisa diwujudkan dengan aktif melakukan pemantauan lapangan. Jalur mitigasi dipersiapkan, rute terpendek ke daerah aman harus dibuat sejak dini supaya proses penyelamatan atau evakuasi warga lebih mudah.
Secara tidak langsung, langkah mitigasi ini terutama berlaku untuk warga pesisir pantai, seperti wilayah Pacitan, Trenggalek, Malang, Jember, Banyuwangi maupun daerah pesisir pantai lain di Jawa maupun luar Jawa yang menjadi jalur kegempaan.
Ia menegaskan pentingnya langkah mitigasi terkait dengan gempa yang berpotensi tsunami.
"Nah, kita lihat jarak dari pantai ke bukit terdekat itu sekian kilometer. Padahal 'golden time'-nya hanya 20 menit. Ini yang dikatakan membuat mitigasi tadi," ujarnya.
Kendati begitu, Dwikorita mengimbau warga untuk tidak panik.
Dia meminta masyarakat tetap tenang namun harus memiliki kesadaran dan budaya mitigasi, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi gempa bisa segera menjauh dari pantai dan mencari perlindungan di daerah tinggi.
"Salah satunya dengan membudayakan pengurangan risiko bencana sebagaimana anjuran pemerintah daerah melalui BPBD setempat," katanya.
Baca juga: BNPB: PATAHAN LEMBANG BERPOTENSI MEMICU GEMPA BESAR
Baca juga: Guru besar ITB sebut perlu peta kerentanan bangunan daerah rawan gempa
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
"(Pada dasarnya, red.) Gempa bumi tidak bisa diprediksi. Namun kita bisa memperkirakan zona-zonanya, mana yang harus diwaspadai," kata dia dikonfirmasi saat melakukan kunjungan kerja di Pacitan, Kamis.
Ia menyebut kegempaan yang puluhan kali melanda berbagai daerah di Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun Sumatera dan daerah-daerah di Indonesia timur sejak sebulan terakhir, bisa jadi pertanda yang harus diwaspadai.
Intensitas kegempaan bahkan disebut Dwikorita meningkat. Selama kurun Januari saja, terjadi 85 kali kejadian kegempaan yang tersebar mulai dari Aceh, Nias, Bengkulu, dan Lampung.
Gempa juga melanda daerah pesisir selatan Pulau Jawa, mulai dari Banten, Jabar, dan Jateng.
Di bagian timur peningkatan kegempaan juga melanda Lombok, Sumbawa, Sumba, hingga Sulawesi, mulai dari Sulbar, Sulteng, Gorontalo, hingga Laut Maluku.
Dwikorita menuturkan belajar dari sejumlah kejadian gempa di Tanah Air, guncangan besar tidak terjadi tiba-tiba.
Sikap waspada selanjutnya bisa diwujudkan dengan aktif melakukan pemantauan lapangan. Jalur mitigasi dipersiapkan, rute terpendek ke daerah aman harus dibuat sejak dini supaya proses penyelamatan atau evakuasi warga lebih mudah.
Secara tidak langsung, langkah mitigasi ini terutama berlaku untuk warga pesisir pantai, seperti wilayah Pacitan, Trenggalek, Malang, Jember, Banyuwangi maupun daerah pesisir pantai lain di Jawa maupun luar Jawa yang menjadi jalur kegempaan.
Ia menegaskan pentingnya langkah mitigasi terkait dengan gempa yang berpotensi tsunami.
"Nah, kita lihat jarak dari pantai ke bukit terdekat itu sekian kilometer. Padahal 'golden time'-nya hanya 20 menit. Ini yang dikatakan membuat mitigasi tadi," ujarnya.
Kendati begitu, Dwikorita mengimbau warga untuk tidak panik.
Dia meminta masyarakat tetap tenang namun harus memiliki kesadaran dan budaya mitigasi, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi gempa bisa segera menjauh dari pantai dan mencari perlindungan di daerah tinggi.
"Salah satunya dengan membudayakan pengurangan risiko bencana sebagaimana anjuran pemerintah daerah melalui BPBD setempat," katanya.
Baca juga: BNPB: PATAHAN LEMBANG BERPOTENSI MEMICU GEMPA BESAR
Baca juga: Guru besar ITB sebut perlu peta kerentanan bangunan daerah rawan gempa
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021