Tak banyak yang tahu bahwa vaksin COVID-19 sudah disuntikkan hampir setahun lalu.
Tapi tak ada televisi, koran dan media online yang mewartakannya. Pun tak ada pihak yang mengumumkannya. Laman majalah Science edisi 25 November 2020 membeberkan ini semua.
29 Februari 2020, kurang dari dua bulan setelah dunia dilumpuhkan pandemi, virolog Chen Wei yang mayor jenderal dalam angkatan darat China, dan enam ilmuwan militer berbaris untuk disuntik vaksin eksperimental COVID-19.
Chen yang berjasa karena membuat vaksin Ebola, datang ke kota yang menjadi asal pandemi dan sekaligus episentrum pandemi saat itu, Wuhan. Dia ditemani sejumlah pakar dari Akademi Ilmu Kesehatan Militer (AMMS) membantu perusahaan komersial bernama CanSino Biologisc membuatkan vaksin.
Tak ada yang tahu soal ini, bahkan Harian Rakyat yang corong Partai Komunis menyebutnya "Berita Palsu". Tapi Hou Li-Hua, salah seorang peneliti proyek vaksin COVID-19, memastikan kabar itu benar adanya. Tim itu datang untuk melindungi para ilmuwan di Wuhan.
Saat itu pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru meluncurkan proyek vaksin senilai 10,8 miliar dolar AS bernama Operation Warp Speed guna mempercepat pengembangan vaksin COVID-19.
Namun pada saat yang sama, CanSino dan dua perusahaan China lainnya tengah menginvestasikan sumber daya besar-besaran guna menguji empat calon vaksin yang sudah mereka hasilkan, kepada puluhan ribu relawan di seluruh dunia. Mereka ini sudah mendahului Pfizer dan BioNTech, Moderna, AstraZeneca dan Universitas Oxford, serta Lembaga Riset Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya di Rusia.
Namun pendekatan low profile China ini menempuh jalur berbeda dari yang dipilih AS dan Eropa yang umumnya memanfaatkan teknologi-teknologi seksi semacam vektor virus yang direkayasa secara genetik, protein perancang dan potongan RNA. Tiga dari empat calon vaksin China saat itu menggunakan model lawas dari virus yang sudah dimatikan yang terbukti ampuh sejak vaksin flu pertama ditemukan pada 1930-an.
Namun langkah itu terancam gagal karena virus SARS-CoV-2 sudah berhasil dihalau dari China berkat pendekatan-pendekatan keras seperti isolasi paksa kepada yang terpapar, tes menyeluruh dan penelusuran kontak yang agresif.
Tapi keadaan ini membuat vaksin mereka sulit dibuktikan tingkat efikasinya karena terlalu sedikitnya pasien COVID ketika saat bersamaan negara-negara seperti AS tengah di puncak pandemi yang membuat uji klinis vaksin pun bisa lebih dimungkinkan.
"Seandainya saat itu masih banyak kasus di China maka mereka bisa menuntaskan uji efikasi lebih dulu dibandingkan dengan siapa pun," kata epidemiolog Ray Yip yang mengikuti dengan cermat pengembangan vaksin COVID-19 karena statusnya sebagai penasihat Bill Gates.
Menolak nasionalisme vaksin
Akhirnya China berpaling ke luar negeri, ke negara-negara Arab, Brazil dan Amerika Latin, serta negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Tapi tak cuma untuk itu, China juga berusaha mengisi kevakuman akibat produksi vaksin sudah sedemikian nasionalistis sehingga produsen-produsen seperti Moderna atau Pfizer harus memenuhi dahulu kuota untuk negara di mana mereka berbasis sebelum bisa mengedarkan vaksinnya ke seluruh dunia.
China sebaliknya bebas bermanuver di medan yang lawan-lawannya sibuk menomorsatukan kebutuhan domestiknya. China sampai berani memberikan vaksin yang sudah teruji untuk diuji lagi di negara-negara lain dan bahkan sekalian dengan alih teknologi. Mereka bisa melakukan semua itu karena pada dasarnya mereka sudah tidak terlalu membutuhkan vaksin.
Namun demikian, seperti disebut Yanzhong Huang yang adalah spesialis kesehatan global pada Council on Foreign Relations, China "menggunakan vaksin untuk mempromosikan diplomasi kebijakan luar negerinya. Dan ini kebalikan dengan nasionalisme vaksin" seperti terlihat pada Operation Warp Speed di AS.
"Ini kebijakan yang dieksekusi dengan sangat hati-hati dan dipikirkan masak-masak," kata Stephen Morrison dari Center for Strategic & International Studies (CSIS) di Washington. Tujuannya, hegemoni bioekonomi pada masa mendatang.
Sekalipun para produsen vaksin meluncurkan proyeknya pada hari ketika sekuen SARS-CoV-2 diumumkan pada 10 Januari, CEO CanSino CEO Yu Xuefeng awalnya khawatir vaksin produksinya bakal sia-sia jika pandemi cepat berakhir seperti saat menghilang cepatnya wabah sindrom pernafasan akut parah (SARS) ketika vaksin sedang dikembangkan.
Yu yang bergelar PhD mikrobiologi dari McGill University di Kanada dan pernah bekerja sembilan tahun di raksasa farmasi Prancis, Sanofi Pasteur adalah yang mendirikan CanSino pada 2009.
Yu tadinya ingin menggunakan messenger RNA (mRNA) untuk protein permukaan virus corona baru yang juga disebut spike atau lonjakan. Pendekatan inovatif inilah yang dipakai Pfizer dan BioNTech. Tapi kemudian CanSino memilih menggunakan vektor Ad5 karena dianggap lebih cepat dan matang dalam membuat vaksin baru.
Sebulan kemudian CanSino memberikan calon vaksinnya kepada Chen dan timnya. 16 Maret mereka mengumumkan uji coba pertama COVID-19 buatannya ke seluruh dunia, di Wuhan, untuk menguji keamanan dan kemampuan vaksin ini dalam memicu respon kebal. Saat itu CanSino selangkah di depan Moderna.
Dua produsen vaksin China lainnya, Sinovac Biotech dan China National Biotec Group (CNBG) yang merupakan anak perusahaan produsen vaksin terbesar di dunia Sinopharm, menempuh pendekatan berbeda, memanfaatkan virus yang sudah dimatikan yang dianggap banyak ilmuwan sudah ketinggalan zaman dan agak membahayakan.
Tapi rekam jejak pendekatan ini jelas dan tegas. Meng Weining, direktur Sinovac, berkata, “Vaksin dari virus yang tidak aktif memberikan hasil yang jauh lebih baik."
Mempertegas ambisi internasional
Secara teoritis sulit memproduksi vaksin dalam jumlah besar dalam waktu begitu singkat dengan pendekatan produksi vaksin seperti ditempuh produsen-produsen China, namun mereka memiliki sumber daya yang luar biasa yang memungkinkan kendala itu teratasi.
CNBG misalnya, memiliki 10.000 karyawan dan ilmuwan serta pabrik yang kapasitas produksinya besar sekali. China pun diprediksi bisa menghasilkan 1,5 miliar dosis vaksin COVID-19 pada 2021 sehingga bisa turut memenuhi kebutuhan negara-negara yang tidak bisa atau terlalu lama mencapai akses ke vaksin-vaksin buatan Barat.
Pada saat bersamaan, tekanan nasional dan desakan keadaan termasuk politisasi pandemi, membuat sejumlah pemerintah berusaha secepat mungkin mendapatkan vaksin agar pandemi segera berakhir sehingga pembangunan nasional bisa dimulai lagi. Ini termasuk Uni Emirat Arab dan negara Arab lainnya yang menjadi tempat uji klinis vaksin CNBG, Brazil, Turki, Pakistan, dan Indonesia.
China memanfaatkan momen ini untuk mempertegas ambisi internasionalnya, termasuk dalam kian mewujudkan proyek infrastruktur lintas batasnya dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI).
Lain hal, uji coba vaksin di UEA, Bahrain, Mesir, Yordania, Turki dan Indonesia, China bisa menekan citra buruknya di negara-negara Muslim karena kebijakannya terhadap Uighur di Xinjiang.
Namun itu tak selamanya mulus. Di Brazil, vaksin China demikian dipolitisasi karena Presiden Jair Bolsonaro tengah bersaing dengan Gubernur Sao Paulo Joao Doria dalam merebut simpati rakyat untuk pemilihan presiden mendatang.
Bolsonaro tak mau negaranya memakai vaksin China, sebaliknya Joao Doria ingin Sao Paulo yang merupakan provinsi terparah ditimpa pandemi di Brazil memakai vaksin China, apalagi Sinovac menjanjikan transfer teknologi kepada Butantan Institute yang merupakan pabrikan vaksin besar di Sao Paulo.
Sambutan hangat diterima China dari Turki. Di sini, Sinovac menggelar uji efikasi terhadap 13.000 orang. Ketiga produsen vaksin China itu juga menggelar uji efikasi di Indonesia, Pakistan, Arab Saudi, Meksiko dan Chile. Dan ini membuat vaksin China menjadi terlihat lebih transparan dan dipercaya karena diuji di banyak negara.
Tapi China tak mau lama menunggu hasil uji efikasi di berbagai negara itu keluar. Maka, Juni lalu mereka memberikan lampu hijau kepada CanSino untuk menyuntikkan vaksinnya kepada tentara-tentara China dalam misi-misi PBB. Sinovac dan CNBG juga memperoleh lampu hijau untuk bagian besar populasi di luar uji klinis di China.
Sinovac telah memvaksinasi lebih dari 90 persen karyawannya yang acap bepergian ke luar negeri. Sinovac bahkan mulai menjual vaksinnya seharga 60 dolar AS (Rp847 ribu) per dua dosis di Yiwu di Provinsi Zhejiang, Oktober tahun silam.
Komoditas global
Dengan cara seperti itu China membuat vaksinnya lebih empirik karena telah luas digunakan ketimbang vaksin-vaksin buatan AS dan Eropa. Perjudian ini besar sekali risikonya, tetapi insentifnya juga tak kalah besar.
Karena penduduknya tak terlalu membutuhkan vaksin, China semakin percaya diri mengekspornya. Mei tahun lalu Presiden Xi Jinping menghubungi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa negaranya siap menjadikan vaksin COVID-19 sebagai "komoditas global".
Ini berarti berbeda sama sekali dengan vaksin-vaksin lainnya yang kebanyakan prioritas pertamanya untuk negara-negara di mana produsen vaksin berada sehingga negara-negara di luar itu harus menunggu beberapa lama sebelum memperoleh vaksin-vaksin itu.
China menindaklanjuti komitmen itu dengan masuk Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19 (COVAX) yang dikelola WHO dan CEPI yang punya misi bahwa baik negara kaya maupun negara miskin memiliki akses sama cepatnya ke vaksin COVID-19.
Seandainya vaksin China itu terbukti aman dan efektif, maka citra China menjadi lebih positif, sekaligus mencerahkan citra produsen vaksin China di kalangan sebagian warganya sendiri yang masih trauma oleh rangkaian skandal beberapa tahun lalu seperti vaksin dipteri, pertusis dan tetanus yang tidak efektif, serta penjualan vaksin polio yang sudah kadaluarsa.
Kalangan kelas menengah atas negeri itu disebut-sebut lebih memilih vaksin buatan perusahaan asing yang bereputasi seperti AstraZeneca dan Pfizer sekalipun harganya sepuluh kali lipat dari harga vaksin buatan CNBG, Sinovac, dan CanSinos. Hong Kong adalah salah satu tempat yang meminta diberi kebebasan dalam memilih vaksin.
Namun demikian, jika vaksin COVID-19 buatan China mendapatkan pengakuan dari badan-badan regulasi di seluruh dunia, maka kepercayaan domestik kepada produsen vaksin pun membesar.
Dalam kerangka ini, kuncinya adalah pada bagaimana vaksin-vaksin buatan China efektif dan terbukti aman di seluruh dunia, termasuk negara-negara di mana uji klinis dan efikasi vaksin-vaksin China diadakan.
Untuk itu, vaksin-vaksin produksi China tidak saja menjadi pertaruhan rezim-rezim yang memesannya. Bahkan ketika sebagian besar negara seperti Indonesia juga memesan vaksin dari AS dan Eropa, tidak hanya dari China, maka beban yang jauh lebih besar justru berada di pundak China.
Dan China jelas tak mau mencoreng citranya sendiri.
Baca juga: Artikel - Presiden Jokowi dongkrak pamor Sinovac
Baca juga: RSUI: Pemberian vaksin diharapkan terbentuk "herd immunity"
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021
Tapi tak ada televisi, koran dan media online yang mewartakannya. Pun tak ada pihak yang mengumumkannya. Laman majalah Science edisi 25 November 2020 membeberkan ini semua.
29 Februari 2020, kurang dari dua bulan setelah dunia dilumpuhkan pandemi, virolog Chen Wei yang mayor jenderal dalam angkatan darat China, dan enam ilmuwan militer berbaris untuk disuntik vaksin eksperimental COVID-19.
Chen yang berjasa karena membuat vaksin Ebola, datang ke kota yang menjadi asal pandemi dan sekaligus episentrum pandemi saat itu, Wuhan. Dia ditemani sejumlah pakar dari Akademi Ilmu Kesehatan Militer (AMMS) membantu perusahaan komersial bernama CanSino Biologisc membuatkan vaksin.
Tak ada yang tahu soal ini, bahkan Harian Rakyat yang corong Partai Komunis menyebutnya "Berita Palsu". Tapi Hou Li-Hua, salah seorang peneliti proyek vaksin COVID-19, memastikan kabar itu benar adanya. Tim itu datang untuk melindungi para ilmuwan di Wuhan.
Saat itu pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru meluncurkan proyek vaksin senilai 10,8 miliar dolar AS bernama Operation Warp Speed guna mempercepat pengembangan vaksin COVID-19.
Namun pada saat yang sama, CanSino dan dua perusahaan China lainnya tengah menginvestasikan sumber daya besar-besaran guna menguji empat calon vaksin yang sudah mereka hasilkan, kepada puluhan ribu relawan di seluruh dunia. Mereka ini sudah mendahului Pfizer dan BioNTech, Moderna, AstraZeneca dan Universitas Oxford, serta Lembaga Riset Epidemiologi dan Mikrobiologi Gamaleya di Rusia.
Namun pendekatan low profile China ini menempuh jalur berbeda dari yang dipilih AS dan Eropa yang umumnya memanfaatkan teknologi-teknologi seksi semacam vektor virus yang direkayasa secara genetik, protein perancang dan potongan RNA. Tiga dari empat calon vaksin China saat itu menggunakan model lawas dari virus yang sudah dimatikan yang terbukti ampuh sejak vaksin flu pertama ditemukan pada 1930-an.
Namun langkah itu terancam gagal karena virus SARS-CoV-2 sudah berhasil dihalau dari China berkat pendekatan-pendekatan keras seperti isolasi paksa kepada yang terpapar, tes menyeluruh dan penelusuran kontak yang agresif.
Tapi keadaan ini membuat vaksin mereka sulit dibuktikan tingkat efikasinya karena terlalu sedikitnya pasien COVID ketika saat bersamaan negara-negara seperti AS tengah di puncak pandemi yang membuat uji klinis vaksin pun bisa lebih dimungkinkan.
"Seandainya saat itu masih banyak kasus di China maka mereka bisa menuntaskan uji efikasi lebih dulu dibandingkan dengan siapa pun," kata epidemiolog Ray Yip yang mengikuti dengan cermat pengembangan vaksin COVID-19 karena statusnya sebagai penasihat Bill Gates.
Menolak nasionalisme vaksin
Akhirnya China berpaling ke luar negeri, ke negara-negara Arab, Brazil dan Amerika Latin, serta negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Tapi tak cuma untuk itu, China juga berusaha mengisi kevakuman akibat produksi vaksin sudah sedemikian nasionalistis sehingga produsen-produsen seperti Moderna atau Pfizer harus memenuhi dahulu kuota untuk negara di mana mereka berbasis sebelum bisa mengedarkan vaksinnya ke seluruh dunia.
China sebaliknya bebas bermanuver di medan yang lawan-lawannya sibuk menomorsatukan kebutuhan domestiknya. China sampai berani memberikan vaksin yang sudah teruji untuk diuji lagi di negara-negara lain dan bahkan sekalian dengan alih teknologi. Mereka bisa melakukan semua itu karena pada dasarnya mereka sudah tidak terlalu membutuhkan vaksin.
Namun demikian, seperti disebut Yanzhong Huang yang adalah spesialis kesehatan global pada Council on Foreign Relations, China "menggunakan vaksin untuk mempromosikan diplomasi kebijakan luar negerinya. Dan ini kebalikan dengan nasionalisme vaksin" seperti terlihat pada Operation Warp Speed di AS.
"Ini kebijakan yang dieksekusi dengan sangat hati-hati dan dipikirkan masak-masak," kata Stephen Morrison dari Center for Strategic & International Studies (CSIS) di Washington. Tujuannya, hegemoni bioekonomi pada masa mendatang.
Sekalipun para produsen vaksin meluncurkan proyeknya pada hari ketika sekuen SARS-CoV-2 diumumkan pada 10 Januari, CEO CanSino CEO Yu Xuefeng awalnya khawatir vaksin produksinya bakal sia-sia jika pandemi cepat berakhir seperti saat menghilang cepatnya wabah sindrom pernafasan akut parah (SARS) ketika vaksin sedang dikembangkan.
Yu yang bergelar PhD mikrobiologi dari McGill University di Kanada dan pernah bekerja sembilan tahun di raksasa farmasi Prancis, Sanofi Pasteur adalah yang mendirikan CanSino pada 2009.
Yu tadinya ingin menggunakan messenger RNA (mRNA) untuk protein permukaan virus corona baru yang juga disebut spike atau lonjakan. Pendekatan inovatif inilah yang dipakai Pfizer dan BioNTech. Tapi kemudian CanSino memilih menggunakan vektor Ad5 karena dianggap lebih cepat dan matang dalam membuat vaksin baru.
Sebulan kemudian CanSino memberikan calon vaksinnya kepada Chen dan timnya. 16 Maret mereka mengumumkan uji coba pertama COVID-19 buatannya ke seluruh dunia, di Wuhan, untuk menguji keamanan dan kemampuan vaksin ini dalam memicu respon kebal. Saat itu CanSino selangkah di depan Moderna.
Dua produsen vaksin China lainnya, Sinovac Biotech dan China National Biotec Group (CNBG) yang merupakan anak perusahaan produsen vaksin terbesar di dunia Sinopharm, menempuh pendekatan berbeda, memanfaatkan virus yang sudah dimatikan yang dianggap banyak ilmuwan sudah ketinggalan zaman dan agak membahayakan.
Tapi rekam jejak pendekatan ini jelas dan tegas. Meng Weining, direktur Sinovac, berkata, “Vaksin dari virus yang tidak aktif memberikan hasil yang jauh lebih baik."
Mempertegas ambisi internasional
Secara teoritis sulit memproduksi vaksin dalam jumlah besar dalam waktu begitu singkat dengan pendekatan produksi vaksin seperti ditempuh produsen-produsen China, namun mereka memiliki sumber daya yang luar biasa yang memungkinkan kendala itu teratasi.
CNBG misalnya, memiliki 10.000 karyawan dan ilmuwan serta pabrik yang kapasitas produksinya besar sekali. China pun diprediksi bisa menghasilkan 1,5 miliar dosis vaksin COVID-19 pada 2021 sehingga bisa turut memenuhi kebutuhan negara-negara yang tidak bisa atau terlalu lama mencapai akses ke vaksin-vaksin buatan Barat.
Pada saat bersamaan, tekanan nasional dan desakan keadaan termasuk politisasi pandemi, membuat sejumlah pemerintah berusaha secepat mungkin mendapatkan vaksin agar pandemi segera berakhir sehingga pembangunan nasional bisa dimulai lagi. Ini termasuk Uni Emirat Arab dan negara Arab lainnya yang menjadi tempat uji klinis vaksin CNBG, Brazil, Turki, Pakistan, dan Indonesia.
China memanfaatkan momen ini untuk mempertegas ambisi internasionalnya, termasuk dalam kian mewujudkan proyek infrastruktur lintas batasnya dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI).
Lain hal, uji coba vaksin di UEA, Bahrain, Mesir, Yordania, Turki dan Indonesia, China bisa menekan citra buruknya di negara-negara Muslim karena kebijakannya terhadap Uighur di Xinjiang.
Namun itu tak selamanya mulus. Di Brazil, vaksin China demikian dipolitisasi karena Presiden Jair Bolsonaro tengah bersaing dengan Gubernur Sao Paulo Joao Doria dalam merebut simpati rakyat untuk pemilihan presiden mendatang.
Bolsonaro tak mau negaranya memakai vaksin China, sebaliknya Joao Doria ingin Sao Paulo yang merupakan provinsi terparah ditimpa pandemi di Brazil memakai vaksin China, apalagi Sinovac menjanjikan transfer teknologi kepada Butantan Institute yang merupakan pabrikan vaksin besar di Sao Paulo.
Sambutan hangat diterima China dari Turki. Di sini, Sinovac menggelar uji efikasi terhadap 13.000 orang. Ketiga produsen vaksin China itu juga menggelar uji efikasi di Indonesia, Pakistan, Arab Saudi, Meksiko dan Chile. Dan ini membuat vaksin China menjadi terlihat lebih transparan dan dipercaya karena diuji di banyak negara.
Tapi China tak mau lama menunggu hasil uji efikasi di berbagai negara itu keluar. Maka, Juni lalu mereka memberikan lampu hijau kepada CanSino untuk menyuntikkan vaksinnya kepada tentara-tentara China dalam misi-misi PBB. Sinovac dan CNBG juga memperoleh lampu hijau untuk bagian besar populasi di luar uji klinis di China.
Sinovac telah memvaksinasi lebih dari 90 persen karyawannya yang acap bepergian ke luar negeri. Sinovac bahkan mulai menjual vaksinnya seharga 60 dolar AS (Rp847 ribu) per dua dosis di Yiwu di Provinsi Zhejiang, Oktober tahun silam.
Komoditas global
Dengan cara seperti itu China membuat vaksinnya lebih empirik karena telah luas digunakan ketimbang vaksin-vaksin buatan AS dan Eropa. Perjudian ini besar sekali risikonya, tetapi insentifnya juga tak kalah besar.
Karena penduduknya tak terlalu membutuhkan vaksin, China semakin percaya diri mengekspornya. Mei tahun lalu Presiden Xi Jinping menghubungi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa negaranya siap menjadikan vaksin COVID-19 sebagai "komoditas global".
Ini berarti berbeda sama sekali dengan vaksin-vaksin lainnya yang kebanyakan prioritas pertamanya untuk negara-negara di mana produsen vaksin berada sehingga negara-negara di luar itu harus menunggu beberapa lama sebelum memperoleh vaksin-vaksin itu.
China menindaklanjuti komitmen itu dengan masuk Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19 (COVAX) yang dikelola WHO dan CEPI yang punya misi bahwa baik negara kaya maupun negara miskin memiliki akses sama cepatnya ke vaksin COVID-19.
Seandainya vaksin China itu terbukti aman dan efektif, maka citra China menjadi lebih positif, sekaligus mencerahkan citra produsen vaksin China di kalangan sebagian warganya sendiri yang masih trauma oleh rangkaian skandal beberapa tahun lalu seperti vaksin dipteri, pertusis dan tetanus yang tidak efektif, serta penjualan vaksin polio yang sudah kadaluarsa.
Kalangan kelas menengah atas negeri itu disebut-sebut lebih memilih vaksin buatan perusahaan asing yang bereputasi seperti AstraZeneca dan Pfizer sekalipun harganya sepuluh kali lipat dari harga vaksin buatan CNBG, Sinovac, dan CanSinos. Hong Kong adalah salah satu tempat yang meminta diberi kebebasan dalam memilih vaksin.
Namun demikian, jika vaksin COVID-19 buatan China mendapatkan pengakuan dari badan-badan regulasi di seluruh dunia, maka kepercayaan domestik kepada produsen vaksin pun membesar.
Dalam kerangka ini, kuncinya adalah pada bagaimana vaksin-vaksin buatan China efektif dan terbukti aman di seluruh dunia, termasuk negara-negara di mana uji klinis dan efikasi vaksin-vaksin China diadakan.
Untuk itu, vaksin-vaksin produksi China tidak saja menjadi pertaruhan rezim-rezim yang memesannya. Bahkan ketika sebagian besar negara seperti Indonesia juga memesan vaksin dari AS dan Eropa, tidak hanya dari China, maka beban yang jauh lebih besar justru berada di pundak China.
Dan China jelas tak mau mencoreng citranya sendiri.
Baca juga: Artikel - Presiden Jokowi dongkrak pamor Sinovac
Baca juga: RSUI: Pemberian vaksin diharapkan terbentuk "herd immunity"
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021