Garut, 2/4 (ANTARA) - Buku "Kumpulan Dongeng", salah satu karangan terkenal Raden Ayu (R.A.) Lasminingrat, termasuk terjemahan dari bahasa Belanda, masih tersimpan utuh di Belanda.
"Buka lainnya, seperti "Warnasari" dalam dua jilid juga berada di negeri kincir angin itu," kata budayawan Dedie Efendie di Garut, Jumat.
Ia menceritakan bahwa pengarang buku itu lahir di Garut pada tahun 1843. Ayahnya Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa--Bupati Garut periode 1929-1944 (bupati keenam)--menyekolahkan Lasminingrat di rumah Kontroleur Levisan, warga negara Belanda yang juga teman orang tuanya.
Di tempat itulah dia belajar membaca, menulis, dan bahasa Belanda. Bahkan, berkat kepintaran dan kecerdasannya sehingga menjadi satu-satunya perempuan pertama di Garut yang sangat mahir berbahasa Belanda ketika itu.
Karena bercita-cita ingin memajukan derajat kaum perempuan, pada tahun 1907 dia mendirikan sekolah "Kautamaan Istri" di lingkungan pendopo kabupaten. Awalnya murid sekolah itu berasal dari kaum ningrat.
Kemudian, masih kata Dedie Efendie, Lasminingrat menikah dengan Rd. Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut periode 1871-1915 (bupati keempat).
Pada tahun 1912, Lasminingrat mendirikan sekolah yang dinamai "Sakola Istri". Bangunannya sekarang dipakai SMN Garut. Atas jasanya memajukan kaum pribumi, khususnya kaum perempuan, dia menerima tanda penghargaan dari Pemerintah Belanda.
Lasminingrat meninggal pada tahun 1948 ketika berusia 105 tahun. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut, berdampingan dengan makam suaminya.
Intelektual perempuan pertama di Kabupaten Garut itu, kini tengah diperjuangkan oleh masyarakatnya agar bisa diakui oleh negara sebagai pahlawan nasional.
Masyarakat setempat mengusulkan hal itu karena Lasminingrat ikut berkiprah memberantas kedunguan dan kebodohan sebelum adanya Raden Dewi Sartika dan Raden Ajeng Kartini.
(U.KR-HT/B/D007/D007) 02-04-2010 16:34:15
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
"Buka lainnya, seperti "Warnasari" dalam dua jilid juga berada di negeri kincir angin itu," kata budayawan Dedie Efendie di Garut, Jumat.
Ia menceritakan bahwa pengarang buku itu lahir di Garut pada tahun 1843. Ayahnya Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa--Bupati Garut periode 1929-1944 (bupati keenam)--menyekolahkan Lasminingrat di rumah Kontroleur Levisan, warga negara Belanda yang juga teman orang tuanya.
Di tempat itulah dia belajar membaca, menulis, dan bahasa Belanda. Bahkan, berkat kepintaran dan kecerdasannya sehingga menjadi satu-satunya perempuan pertama di Garut yang sangat mahir berbahasa Belanda ketika itu.
Karena bercita-cita ingin memajukan derajat kaum perempuan, pada tahun 1907 dia mendirikan sekolah "Kautamaan Istri" di lingkungan pendopo kabupaten. Awalnya murid sekolah itu berasal dari kaum ningrat.
Kemudian, masih kata Dedie Efendie, Lasminingrat menikah dengan Rd. Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut periode 1871-1915 (bupati keempat).
Pada tahun 1912, Lasminingrat mendirikan sekolah yang dinamai "Sakola Istri". Bangunannya sekarang dipakai SMN Garut. Atas jasanya memajukan kaum pribumi, khususnya kaum perempuan, dia menerima tanda penghargaan dari Pemerintah Belanda.
Lasminingrat meninggal pada tahun 1948 ketika berusia 105 tahun. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut, berdampingan dengan makam suaminya.
Intelektual perempuan pertama di Kabupaten Garut itu, kini tengah diperjuangkan oleh masyarakatnya agar bisa diakui oleh negara sebagai pahlawan nasional.
Masyarakat setempat mengusulkan hal itu karena Lasminingrat ikut berkiprah memberantas kedunguan dan kebodohan sebelum adanya Raden Dewi Sartika dan Raden Ajeng Kartini.
(U.KR-HT/B/D007/D007) 02-04-2010 16:34:15
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010