Vaksin COVID-19 buatan Rusia, Sputnik V, disebut dapat menghasilkan antibodi penetral yang tercatat 1,4 hingga 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan antibodi yang muncul pada pasien sembuh dari penyakit infeksi virus SARS-CoV-2 itu.
Hal itu diungkapkan oleh pengembang vaksin COVID-19 Rusia, Institut Gamaleya, dalam pemaparan kepada media secara virtual pada Jumat malam waktu Jakarta, berdasarkan hasil uji klinis tahap I dan II yang dipublikasikan di jurnal medis The Lancet.
"Dalam riset imunogenisitas (kemampuan zat asing memicu respons imun) vaksin ini, kami berhasil menunjukkan bahwa 100% relawan memperlihatkan respons imunitas humoral dan selular," kata peneliti Gamaleya, Irina Dolzhikova.
Ia menjelaskan bahwa hasil uji klinis tersebut juga menunjukkan tidak adanya efek serius yang terjadi. Adapun efek yang timbul kebanyakan ringan atau sedang, dan muncul karena nyeri suntikan, hipotermia, sakit kepala, atau nyeri otot.
"Kami dapat menunjukkan bahwa level efek ketidakcocokan serius pada kandidat vaksin lainnya berada pada angka 1% sampai 25%. Sementara berdasarkan uji klinis yang kami lakukan, tidak ada satupun efek ketidakcocokan serius yang tercatat," ujar Dolzhikova.
"Kami juga mampu menghasilkan respons sel T, dan dengan begitu kami bisa menyatakan bahwa vaksin kami memungkinkan pembentukan respons imun secara penuh. [...] Sehingga dapat disebut bahwa vaksin ini aman," kata dia menambahkan.
Sputnik V adalah vaksin COVID-19 pertama di dunia yang mendapat pengesahan dari pemerintah. Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan hal itu pada 11 Agustus, setelah uji klinis dijalankan hanya dalam waktu kurang dari dua bulan.
Sejumlah pihak sempat meragukan vaksin COVID-19 buatan Rusia itu, menyebutnya terlalu terburu-buru untuk mendapat persetujuan otoritas sementara uji klinis pun masih berlangsung, serta tidak ada data riset yang dipublikasikan ketika itu.
Dalam pemaparan media yang sama pada Jumat, Direktur Institut Gamaleya dr. Alexander Gintsburg menyebut bahwa publikasi data penelitian baru dilakukan setelah beberapa lama usai uji klinis tahap I dan II selesai adalah karena mengikuti aturan yang berlaku di Rusia.
"Menurut peraturan Rusia, mempublikasikan laporan (penelitian uji klinis) di jurnal internasional dianggap etis hanya jika produk (hasil penelitian) telah terdaftar di negara ini," kata Gintsburg.
Baca juga: Rusia labeli vaksin baru COVID-19 "Sputnik V"
Baca juga: Belarus negara asing pertama penerima vaksin COVID-19 buatan Rusia
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Hal itu diungkapkan oleh pengembang vaksin COVID-19 Rusia, Institut Gamaleya, dalam pemaparan kepada media secara virtual pada Jumat malam waktu Jakarta, berdasarkan hasil uji klinis tahap I dan II yang dipublikasikan di jurnal medis The Lancet.
"Dalam riset imunogenisitas (kemampuan zat asing memicu respons imun) vaksin ini, kami berhasil menunjukkan bahwa 100% relawan memperlihatkan respons imunitas humoral dan selular," kata peneliti Gamaleya, Irina Dolzhikova.
Ia menjelaskan bahwa hasil uji klinis tersebut juga menunjukkan tidak adanya efek serius yang terjadi. Adapun efek yang timbul kebanyakan ringan atau sedang, dan muncul karena nyeri suntikan, hipotermia, sakit kepala, atau nyeri otot.
"Kami dapat menunjukkan bahwa level efek ketidakcocokan serius pada kandidat vaksin lainnya berada pada angka 1% sampai 25%. Sementara berdasarkan uji klinis yang kami lakukan, tidak ada satupun efek ketidakcocokan serius yang tercatat," ujar Dolzhikova.
"Kami juga mampu menghasilkan respons sel T, dan dengan begitu kami bisa menyatakan bahwa vaksin kami memungkinkan pembentukan respons imun secara penuh. [...] Sehingga dapat disebut bahwa vaksin ini aman," kata dia menambahkan.
Sputnik V adalah vaksin COVID-19 pertama di dunia yang mendapat pengesahan dari pemerintah. Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan hal itu pada 11 Agustus, setelah uji klinis dijalankan hanya dalam waktu kurang dari dua bulan.
Sejumlah pihak sempat meragukan vaksin COVID-19 buatan Rusia itu, menyebutnya terlalu terburu-buru untuk mendapat persetujuan otoritas sementara uji klinis pun masih berlangsung, serta tidak ada data riset yang dipublikasikan ketika itu.
Dalam pemaparan media yang sama pada Jumat, Direktur Institut Gamaleya dr. Alexander Gintsburg menyebut bahwa publikasi data penelitian baru dilakukan setelah beberapa lama usai uji klinis tahap I dan II selesai adalah karena mengikuti aturan yang berlaku di Rusia.
"Menurut peraturan Rusia, mempublikasikan laporan (penelitian uji klinis) di jurnal internasional dianggap etis hanya jika produk (hasil penelitian) telah terdaftar di negara ini," kata Gintsburg.
Baca juga: Rusia labeli vaksin baru COVID-19 "Sputnik V"
Baca juga: Belarus negara asing pertama penerima vaksin COVID-19 buatan Rusia
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020