Vaksin COVID-19 diperkirakan mulai tersedia di China paling cepat pada akhir bulan Oktober mendatang.
"Kemungkinan China sudah memiliki vaksin COVID-19 paling cepat pada akhir bulan Oktober karena beberapa vaksin domestik COVID-19 telah memasuki uji klinis tahap ketiga dan perlu waktu sekitar sebulan untuk melihat dampaknya pada sampel," kata Tao Lina, peneliti vaksin dari Shanghai, dikutip media resmi setempat, Kamis.
Sebanyak 220 juta dosis yang akan diproduksi di China, jelas dia, terlebih dulu disuntikkan kepada staf medis, orang-orang yang bekerja di bandar udara, dan petugas pemeriksaan pos perbatasan.
Setelah cadangan untuk kebutuhan dalam negeri China dirasa aman, vaksin tersebut baru bisa diekspor ke beberapa negara tujuan potensial, seperti Filipina dan Brazil.
China National Biotec Group (CNBG) pada Rabu (5/8) mengumumkan bahwa ruang produksi inaktif vaksin COVID-19 yang berafiliasi dengan Beijing Institute of Biological Products telah lolos uji nasional.
Fasilitas yang diklaim sebagai yang pertama di dunia itu telah mengantongi sertifikat produksi sehingga sekarang siap digunakan, demikian dinyatakan pihak CNBG.
CNBG juga berafiliasi dengan China National Pharmaceutical Group (Sinoparm), badan usaha milik pemerintah China yang bergerak di bidang farmasi.
Beijing Institute, jelas CNBG, hanya butuh waktu dua bulan untuk merampungkan bangunan produksi vaksin tersebut pada 15 April.
Departemen terkait telah melakukan uji keamanan biologi fasilitas produksi tersebut pada Juli dengan kesimpulan bahwa fasilitas tersebut memenuhi standar nasional sehingga harus segera beroperasi untuk memproduksi secara massal vaksin COVID-19, sebagaimana pernyataan CNBG.
Setelah pabrik di Beijing dan di Wuhan beroperasi, CNBG mampu memproduksi 220 juta dosis vaksin COVID-19.
Sinopharm pada 30 Juli telah meluncurkan uji tahap ketiga COVID-19 di Brazil. Sebelumnya, perusahaan tersebut juga melakukan hal yang sama di Uni Emirat Arab dengan melibatkan 15.000 sukarelawan lokal, termasuk para ekspatriat.
Perusahaan Jerman BioNTech dan mitranya dari China, Shanghai Fosun Pharmaceutical, pada Rabu (5/8) mengumumkan sebanyak 72 partisipan telah diberi suntikan BNT162b1, kandidat vaksin COVID-19 berbasis teknologi mRNA milik BioNTech. Kandidat vaksin itu juga telah mendapatkan persetujuan dari regulator China karena kedua perusahaan tersebut juga mengembangkan kandidat vaksinnya di China.
Para ilmuwan dari Hong Kong dan Makau, Senin (3/8), melakukan terobosan pengembangan rekombinan vaksin COVID-19 agar nantinya dapat diproduksi secara massal dengan biaya lebih murah.
Pihak Kementerian Industri dan Teknologi Informasi China (MIIT) pada akhir Juli menyebutkan bahwa China memiliki 13 perusahaan yang mulai mengembangkan vaksin COVID-19, sembilan di antaranya sudah mendapatkan persetujuan uji klinis.
Baca juga: Selain China, Indonesia kembangkan vaksin corona bersama Korsel
Baca juga: Komite Etik setujui uji klinis tahap tiga Vaksin COVID-19 Sinovac
Baca juga: Relawan uji coba tahap tiga Vaksin Sinovac dilindungi asuransi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Kemungkinan China sudah memiliki vaksin COVID-19 paling cepat pada akhir bulan Oktober karena beberapa vaksin domestik COVID-19 telah memasuki uji klinis tahap ketiga dan perlu waktu sekitar sebulan untuk melihat dampaknya pada sampel," kata Tao Lina, peneliti vaksin dari Shanghai, dikutip media resmi setempat, Kamis.
Sebanyak 220 juta dosis yang akan diproduksi di China, jelas dia, terlebih dulu disuntikkan kepada staf medis, orang-orang yang bekerja di bandar udara, dan petugas pemeriksaan pos perbatasan.
Setelah cadangan untuk kebutuhan dalam negeri China dirasa aman, vaksin tersebut baru bisa diekspor ke beberapa negara tujuan potensial, seperti Filipina dan Brazil.
China National Biotec Group (CNBG) pada Rabu (5/8) mengumumkan bahwa ruang produksi inaktif vaksin COVID-19 yang berafiliasi dengan Beijing Institute of Biological Products telah lolos uji nasional.
Fasilitas yang diklaim sebagai yang pertama di dunia itu telah mengantongi sertifikat produksi sehingga sekarang siap digunakan, demikian dinyatakan pihak CNBG.
CNBG juga berafiliasi dengan China National Pharmaceutical Group (Sinoparm), badan usaha milik pemerintah China yang bergerak di bidang farmasi.
Beijing Institute, jelas CNBG, hanya butuh waktu dua bulan untuk merampungkan bangunan produksi vaksin tersebut pada 15 April.
Departemen terkait telah melakukan uji keamanan biologi fasilitas produksi tersebut pada Juli dengan kesimpulan bahwa fasilitas tersebut memenuhi standar nasional sehingga harus segera beroperasi untuk memproduksi secara massal vaksin COVID-19, sebagaimana pernyataan CNBG.
Setelah pabrik di Beijing dan di Wuhan beroperasi, CNBG mampu memproduksi 220 juta dosis vaksin COVID-19.
Sinopharm pada 30 Juli telah meluncurkan uji tahap ketiga COVID-19 di Brazil. Sebelumnya, perusahaan tersebut juga melakukan hal yang sama di Uni Emirat Arab dengan melibatkan 15.000 sukarelawan lokal, termasuk para ekspatriat.
Perusahaan Jerman BioNTech dan mitranya dari China, Shanghai Fosun Pharmaceutical, pada Rabu (5/8) mengumumkan sebanyak 72 partisipan telah diberi suntikan BNT162b1, kandidat vaksin COVID-19 berbasis teknologi mRNA milik BioNTech. Kandidat vaksin itu juga telah mendapatkan persetujuan dari regulator China karena kedua perusahaan tersebut juga mengembangkan kandidat vaksinnya di China.
Para ilmuwan dari Hong Kong dan Makau, Senin (3/8), melakukan terobosan pengembangan rekombinan vaksin COVID-19 agar nantinya dapat diproduksi secara massal dengan biaya lebih murah.
Pihak Kementerian Industri dan Teknologi Informasi China (MIIT) pada akhir Juli menyebutkan bahwa China memiliki 13 perusahaan yang mulai mengembangkan vaksin COVID-19, sembilan di antaranya sudah mendapatkan persetujuan uji klinis.
Baca juga: Selain China, Indonesia kembangkan vaksin corona bersama Korsel
Baca juga: Komite Etik setujui uji klinis tahap tiga Vaksin COVID-19 Sinovac
Baca juga: Relawan uji coba tahap tiga Vaksin Sinovac dilindungi asuransi
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020