Pengamat politik dari Universitas Parahyangan di Bandung, Prof Dr Asep Warlan Yusuf, mengatakan, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 yang digelar saat pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan menjadi kluster baru penyebaran wabah virus corona jika tidak menerapkan protokol kesehatan.
"Pilkada Serentak yang digelar di tengah-tengah pandemi Covid-19 itu jangan sampai malah nantinya jadi kluster baru dalam penyebaran (virus Corona) atau jadi gelombang kedua, kalau istilah kesehatannya. Itu kita khawatir kan betul. Kluster baru gara-gara pilkada. Pastikan semua standar kesehatan diterapkan," kata Asep Warlan, di Bandung, Rabu.
Guru besar Universitas Parahyangan ini mengatakan ada tiga isu yang mengemuka atau harus diperhatikan terkait pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 dan yang pertama ialah faktor kesehatan.
"Memang standar protokol kesehatan untuk pilkada (yang digelar saat ada wabah) ini kita tidak punya contohnya. Kalau protokol kesehatan terkait kegiatan pemerintah, itu agak mudah. Pilkada itu kan gerakan banyak orang. Menggerakkan aspek kegiatan yang sangat kompleks," kata dia.
"Makanya kalau hemat saya, KPU perlu bersama-sama pemerintahan itu membuat protokol kesehatan yang sangat terukur, sangat pasih terkait pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19," kata dia.
Hal yang kedua tentang biaya pelaksanaan Pilkada akan lebih banyak atau tinggi karena ada alokasi biaya tambahan seperti untuk pembelian alat pelindung diri atau APD dan alat kesehatan lainnya yang dulu tidak disediakan atau tidak pernah ada pos pembiayaan itu.
Hal yang ketiga ialah isu mengenai bagaimana teknis kampanye, bagaimana menjual program atau penawaran program dari setiap pasangan calon.
"Nah apakah itu bisa digunakan dengan pemanfaatan teknologi saat ini seperti memanfaatkan aplikasi Zoom atau lainnya. Apakah itu efektif? Apakah masyarakat di pedesaan bisa mengaksesnya terhadap sarana kampanye tadi," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 juga dinilai merugikan setiap pasangan calon kepala daerah yang berlaga di pesta demokrasi ini.
"Tentunya merugikan tentunya, karena ada tiga kerugian yang bisa ditanggung oleh setiap paslon," kata dia.
Kerugian yang pertama yang diterima pasangan calon ialah iinteraksi sosialnya sangat lambat, sangat sulit menjangkau semua pemilih.
"Kedua, dari segi biaya akan lebih banyak untuk dikeluarkan, karena setiap pasangan calon bisa mengandalkan apa yang disediakan KPU untuk bisa memastikan semua pihak suka dan mengenal dirinya. Ketiga cara membangun kebersamaan antar tim sukses tidak mudah ditengah situasi kondisi seperti ini," kata dia.
Baca juga: 8 daerah di Jawa Barat laksanakan pilkada 2020 dengan AKB
Baca juga: PKB Jabar usulkan pemungutan suara elektronik di Pilkada 2020
Baca juga: Pemkab Cianjur tambah biaya pilkada untuk protokol kesehatan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Pilkada Serentak yang digelar di tengah-tengah pandemi Covid-19 itu jangan sampai malah nantinya jadi kluster baru dalam penyebaran (virus Corona) atau jadi gelombang kedua, kalau istilah kesehatannya. Itu kita khawatir kan betul. Kluster baru gara-gara pilkada. Pastikan semua standar kesehatan diterapkan," kata Asep Warlan, di Bandung, Rabu.
Guru besar Universitas Parahyangan ini mengatakan ada tiga isu yang mengemuka atau harus diperhatikan terkait pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 dan yang pertama ialah faktor kesehatan.
"Memang standar protokol kesehatan untuk pilkada (yang digelar saat ada wabah) ini kita tidak punya contohnya. Kalau protokol kesehatan terkait kegiatan pemerintah, itu agak mudah. Pilkada itu kan gerakan banyak orang. Menggerakkan aspek kegiatan yang sangat kompleks," kata dia.
"Makanya kalau hemat saya, KPU perlu bersama-sama pemerintahan itu membuat protokol kesehatan yang sangat terukur, sangat pasih terkait pelaksanaan pilkada di tengah pandemi COVID-19," kata dia.
Hal yang kedua tentang biaya pelaksanaan Pilkada akan lebih banyak atau tinggi karena ada alokasi biaya tambahan seperti untuk pembelian alat pelindung diri atau APD dan alat kesehatan lainnya yang dulu tidak disediakan atau tidak pernah ada pos pembiayaan itu.
Hal yang ketiga ialah isu mengenai bagaimana teknis kampanye, bagaimana menjual program atau penawaran program dari setiap pasangan calon.
"Nah apakah itu bisa digunakan dengan pemanfaatan teknologi saat ini seperti memanfaatkan aplikasi Zoom atau lainnya. Apakah itu efektif? Apakah masyarakat di pedesaan bisa mengaksesnya terhadap sarana kampanye tadi," kata dia.
Selain itu, lanjut dia, pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 juga dinilai merugikan setiap pasangan calon kepala daerah yang berlaga di pesta demokrasi ini.
"Tentunya merugikan tentunya, karena ada tiga kerugian yang bisa ditanggung oleh setiap paslon," kata dia.
Kerugian yang pertama yang diterima pasangan calon ialah iinteraksi sosialnya sangat lambat, sangat sulit menjangkau semua pemilih.
"Kedua, dari segi biaya akan lebih banyak untuk dikeluarkan, karena setiap pasangan calon bisa mengandalkan apa yang disediakan KPU untuk bisa memastikan semua pihak suka dan mengenal dirinya. Ketiga cara membangun kebersamaan antar tim sukses tidak mudah ditengah situasi kondisi seperti ini," kata dia.
Baca juga: 8 daerah di Jawa Barat laksanakan pilkada 2020 dengan AKB
Baca juga: PKB Jabar usulkan pemungutan suara elektronik di Pilkada 2020
Baca juga: Pemkab Cianjur tambah biaya pilkada untuk protokol kesehatan
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020