Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara Sulistyo mengatakan bahwa menjadi pendengar yang baik akan mencegah seseorang dari tertipu rekayasa sosial (social engineering).
Rekayasa sosial (social engineering) adalah satu teknik mengulik informasi rahasia dari target operasi seorang peretas (hacker), penipu, dan sebagainya.
"Jadi belajar lah menjadi pendengar yang baik. Ini salah satu tips sebenarnya, yang biasa dilakukan para pelaku intelijen, jadi pendengar yang baik," kata Sulistyo dalam diskusi dengan tema "Intelijen di Era Digital" yang ditayangkan streaming di Youtube, Selasa (9/6).
Lebih lanjut, Sulistyo menjelaskan peretas (hacker) dan penipu via media sosial dan telepon biasanya bekerja dengan cara memancing reaksi berupa emosi dan ingin tahu seseorang.
"Kemudian menyinggung perasaan ya, jadi ingin membangkitkan emosi-emosi yang ada dalam diri kita sehingga ada interaksi di antaranya," ungkap Sulistyo.
Biasanya, para peretas (hacker) atau penipu via telepon itu akan bersikap menyebalkan untuk memancing reaksi seseorang, lalu kemudian menjalankan operasinya setelah mendapat respon orang tersebut.
Apabila bertemu kejadian rekayasa sosial itu, kata Sulistyo, hendaknya kita bersikap waspada dengan menjadi pendengar yang baik.
"Jadilah pendengar yang baik, disimak saja ya, jangan kemudian (terpancing) rasa keingintahuan. Karena memang pada dasarnya orang (terkena rekayasa sosial) itu kan punya rasa ingin tahu. Kenapa dia (penipu) itu menelepon dan sebagainya. Maka jadilah pendengar yang baik," tuturnya.
Di sisi lain, Pengamat intelijen Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan tips menghindari rekayasa sosial (social engineering) adalah menghindar dari jebakan alur yang dirancang peretas dan penipu via media sosial dan telepon tersebut.
Ridlwan mengatakan para pelaku social engineering juga biasanya terlatih untuk memanfaatkan emosi korbannya melalui kata-kata. Sehingga korban dapat mengeluarkan informasi yang diinginkan pelaku, bisa berbentuk nomor ATM, data diri, alamat, dan lain-lain dengan teknik hypno speech.
Maka, sebagai langkah awal antisipasinya, kata Ridlwan, seorang intelijen yang baik tidak akan membiarkan dirinya tertipu oleh alur hipnosis yang dibuat pelaku rekayasa sosial (social engineering).
"Jangan sampai intelijen itu diinteli (dimata-matai), dia (intelijen) itu justru harus menunggu. Kalau kita di-social engineering, kita balik men-social engineering pelakunya," ujar Ridlwan.
Baca juga: Masyarakat agar tidak sembarang cerita di ruang siber, ini alasannya
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Rekayasa sosial (social engineering) adalah satu teknik mengulik informasi rahasia dari target operasi seorang peretas (hacker), penipu, dan sebagainya.
"Jadi belajar lah menjadi pendengar yang baik. Ini salah satu tips sebenarnya, yang biasa dilakukan para pelaku intelijen, jadi pendengar yang baik," kata Sulistyo dalam diskusi dengan tema "Intelijen di Era Digital" yang ditayangkan streaming di Youtube, Selasa (9/6).
Lebih lanjut, Sulistyo menjelaskan peretas (hacker) dan penipu via media sosial dan telepon biasanya bekerja dengan cara memancing reaksi berupa emosi dan ingin tahu seseorang.
"Kemudian menyinggung perasaan ya, jadi ingin membangkitkan emosi-emosi yang ada dalam diri kita sehingga ada interaksi di antaranya," ungkap Sulistyo.
Biasanya, para peretas (hacker) atau penipu via telepon itu akan bersikap menyebalkan untuk memancing reaksi seseorang, lalu kemudian menjalankan operasinya setelah mendapat respon orang tersebut.
Apabila bertemu kejadian rekayasa sosial itu, kata Sulistyo, hendaknya kita bersikap waspada dengan menjadi pendengar yang baik.
"Jadilah pendengar yang baik, disimak saja ya, jangan kemudian (terpancing) rasa keingintahuan. Karena memang pada dasarnya orang (terkena rekayasa sosial) itu kan punya rasa ingin tahu. Kenapa dia (penipu) itu menelepon dan sebagainya. Maka jadilah pendengar yang baik," tuturnya.
Di sisi lain, Pengamat intelijen Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengatakan tips menghindari rekayasa sosial (social engineering) adalah menghindar dari jebakan alur yang dirancang peretas dan penipu via media sosial dan telepon tersebut.
Ridlwan mengatakan para pelaku social engineering juga biasanya terlatih untuk memanfaatkan emosi korbannya melalui kata-kata. Sehingga korban dapat mengeluarkan informasi yang diinginkan pelaku, bisa berbentuk nomor ATM, data diri, alamat, dan lain-lain dengan teknik hypno speech.
Maka, sebagai langkah awal antisipasinya, kata Ridlwan, seorang intelijen yang baik tidak akan membiarkan dirinya tertipu oleh alur hipnosis yang dibuat pelaku rekayasa sosial (social engineering).
"Jangan sampai intelijen itu diinteli (dimata-matai), dia (intelijen) itu justru harus menunggu. Kalau kita di-social engineering, kita balik men-social engineering pelakunya," ujar Ridlwan.
Baca juga: Masyarakat agar tidak sembarang cerita di ruang siber, ini alasannya
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020