Pengurus Daerah Perhimpunan Profesional Kesehatan Muslim Indonesia (PD Prokami) Kota Depok, Jawa Barat, menilai perlu kesungguhan semua pihak baik untuk bersama-sama menekan laju penularan COVID-19 melalui pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap ketiga.
"Permasalahan komunikasi, informasi dan edukasi tidak kalah penting. Masyarakat perlu diyakinkan mana informasi yang sifatnya wacana mana yang telah menjadi kebijakan," kata Ketua PD Prokami Kota Depok Dr. Fakhrur Razi dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Selain itu, kata dia, pemahaman yang benar terkait penularan dan penyebaran COVID-19 yang harus bisa didapatkan dari informasi yang valid yang bersumber dari kanal informasi pemerintah, guna mengantisipasi gejolak masyarakat dan stigmanisasi kepada kasus.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 443/Kep.263-Hukum/2020 dan Keputusan Wali Kota Depok Nomor 443/206/Kpts/Dinkes/Huk/2020 tanggal 12 Mei 2020 tentang perpanjangan kedua pemberlakuan PSBB dalam penanganan Covid 19 di Kota Depok, maka Kota Depok melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar sejak 13 - 26 Mei 2020.
Baca juga: Prokami beri empat rekomendasi agar PSBB tahap III Kota Depok berhasil
Kebijakan PSBB harus disertai perangkat operasional dan monitoring yang terkendali dan alokasi pendanaan yang memadai. Sebagai contoh dalam analisis biaya perawatan pasien Covid-19, setidaknya diperlukan 70 - 80 juta rupiah per pasien dirawat dengan lama rawat inap 10 hari isolasi dan 5 hari ICU.
Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus disiapkan jika angka kasus tidak bisa ditekan dan cenderung meningkat akibat longgarnya penerapan aturan PSBB. Belum lagi kebutuhan fasilitas kesehatan berupa ruang isolasi dan ICU dengan ventilator, dimana pemenuhannya tidak akan pernah sanggup dipenuhi dalam waktu singkat, jika tidak kita minimalisir.
Selain itu, data jumlah PDP harus menjadi indikator untuk mengetahui kapan puncak kurva akan terjadi selain data kasus terkonfirmasi positif.
Adapun data sebaran kasus terkonfirmasi positif, ODP, PDP, OTG harus dipetakan dan digunakan untuk dijadikan dasar melakukan intervensi epidemiologi yang meliputi upaya isolasi mandiri terkendali oleh lurah dan camat bersama sama dengan masyarakat melalui Kampung Siaga Covid-19 serta penguatan kapasitas Tes PCR dan ruang isolasi serta ICU dengan ventilator di RS Rujukan, termasuk penunjukan RS Rujukan tambahan.
Baca juga: Wali Kota tugaskan kepala OPD turun langsung awasi PSBB di Depok
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
"Permasalahan komunikasi, informasi dan edukasi tidak kalah penting. Masyarakat perlu diyakinkan mana informasi yang sifatnya wacana mana yang telah menjadi kebijakan," kata Ketua PD Prokami Kota Depok Dr. Fakhrur Razi dalam keterangan tertulisnya, Jumat.
Selain itu, kata dia, pemahaman yang benar terkait penularan dan penyebaran COVID-19 yang harus bisa didapatkan dari informasi yang valid yang bersumber dari kanal informasi pemerintah, guna mengantisipasi gejolak masyarakat dan stigmanisasi kepada kasus.
Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 443/Kep.263-Hukum/2020 dan Keputusan Wali Kota Depok Nomor 443/206/Kpts/Dinkes/Huk/2020 tanggal 12 Mei 2020 tentang perpanjangan kedua pemberlakuan PSBB dalam penanganan Covid 19 di Kota Depok, maka Kota Depok melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar sejak 13 - 26 Mei 2020.
Baca juga: Prokami beri empat rekomendasi agar PSBB tahap III Kota Depok berhasil
Kebijakan PSBB harus disertai perangkat operasional dan monitoring yang terkendali dan alokasi pendanaan yang memadai. Sebagai contoh dalam analisis biaya perawatan pasien Covid-19, setidaknya diperlukan 70 - 80 juta rupiah per pasien dirawat dengan lama rawat inap 10 hari isolasi dan 5 hari ICU.
Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus disiapkan jika angka kasus tidak bisa ditekan dan cenderung meningkat akibat longgarnya penerapan aturan PSBB. Belum lagi kebutuhan fasilitas kesehatan berupa ruang isolasi dan ICU dengan ventilator, dimana pemenuhannya tidak akan pernah sanggup dipenuhi dalam waktu singkat, jika tidak kita minimalisir.
Selain itu, data jumlah PDP harus menjadi indikator untuk mengetahui kapan puncak kurva akan terjadi selain data kasus terkonfirmasi positif.
Adapun data sebaran kasus terkonfirmasi positif, ODP, PDP, OTG harus dipetakan dan digunakan untuk dijadikan dasar melakukan intervensi epidemiologi yang meliputi upaya isolasi mandiri terkendali oleh lurah dan camat bersama sama dengan masyarakat melalui Kampung Siaga Covid-19 serta penguatan kapasitas Tes PCR dan ruang isolasi serta ICU dengan ventilator di RS Rujukan, termasuk penunjukan RS Rujukan tambahan.
Baca juga: Wali Kota tugaskan kepala OPD turun langsung awasi PSBB di Depok
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020