Menjadi negara dengan jumlah korban meninggal dunia akibat virus corona terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dan jumlah kasus terkonfirmasi terbesar kedua di Eropa setelah Spanyol, membuat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tak mau gegabah memberi lampu hijau untuk memutar kembali roda kehidupan normal di negerinya, termasuk meneruskan musim tertunda Liga Premier.

Maksud hati mengikuti langkah Jerman dalam meneruskan lagi musim kompetisi sepak bola 2019-2020, apa daya liga sepak bola Inggris tak bisa secepat Liga Jerman dalam melanjutkan musim yang terhenti.

Karena Inggris memang beda sekali dengan Jerman .

Kalau di Inggris ada 219 ribuan kasus virus corona, maka catatan kasus terkonfirmasi Jerman adalah 171 ribu. Lebih kontras lagi, dan ini yang membedakan kualitas respons pandemi kedua negara dan sekaligus tingkat keyakinan masing-masing otoritas dalam menghadapi konsekuensi nanti, adalah perbedaan pada jumlah korban meninggal dunia akibat pandemi virus corona.

Sampai Senin pagi ini sudah 31 ribu nyawa melayang di Inggris ketika saat bersamaan "cuma" ada 7.500-an korban meninggal dunia di Jerman. Tingkat fatalitas virus corona di Inggris mencapai 14,5 persen, sebaliknya Jerman hanya 4,4 persen.

Dan Minggu malam kemarin Johnson berpidato di hadapan rakyatnya. "Saat ini bukan waktunya mengakhiri lockdown," kata dia seperti dikutip The Guardian.

Johnson mengatakan sekolah-sekolah baru bisa buka lagi Juni nanti, tetapi dia sama sekali tidak menyinggung olah raga dan sepak bola, apalagi melanjutkan lagi kompetisi liga sepak bola profesional seperti dilakukan Kanselir Angela Merkel kepada Bundesliga di Jerman pekan lalu.

Padahal dua pekan lalu Menteri Kebudayaan Inggris Oliver Dowden menyatakan Liga Premier seharusnya bisa kembali "sesegera mungkin" yang seketika membangkitkan harapan para pembesar sepak bola profesional Inggris untuk memulai lagi kompetisi.

Jelas perkembangan terakhir ini membuyarkan upaya Liga Inggris dalam sesegera mungkin melanjutkan lagi kompetisi yang mereka istilahkan dengan "Project Restart" itu.

Dan manakala lampu hijau pasti tak kunjung didapat dari pemerintah, saat bersamaan Liga Premier dihadapkan kepada tenggat waktu 25 Mei dari badan sepak bola Eropa, UEFA, untuk jadi tidaknya melanjutkan kompetisi.

Mereka pun terus berpacu dengan waktu.

Senin pagi waktu setempat atau Senin sore WIB nanti pengelola Liga Premier akan bertemu dengan kali ini tanpa acuan jelas karena sama sekali tak mendapatkan petunjuk dari pemerintah Inggris mengenai boleh tidaknya melanjutkan lagi seperempat musim yang terhenti pandemi.

Mengutip Sky Sports, klub-klub berusaha menyikapi pengumuman terbaru Johnson itu tetapi masih dengan semangat melanjutkan kompetisi.


Tak mau venue netral

Mereka kemungkinan membahas rencana menggelar tes COVID-19 dua kali setiap pekan, baik kepada pemain dan ofisial. Dan tes ini haruslah mendapat persetujuan Kesehatan Masyarakat Inggris yang merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Inggris.

Juga akan dibahas komitmen mereka pada kesepakatan semula bahwa 18 Mei adalah waktu mulainya lagi latihan. Tetapi mereka tak akan bisa segera mungkin memastikan kapan pertandingan akan dilangsungkan kembali, apalagi Johnson tak bilang apa-apa soal "Project Restart" itu.

Beberapa pekan lalu mereka sudah menetapkan 8 Juni atau 12 Juni adalah mulainya "Project Restart" itu. Namun, ini cuma keinginan mereka yang kemudian makin membesar setelah Jerman memberi lampu hijau kepada Bundesliga.

Liga Inggris sejak lama memang sudah bertekad untuk mengakhiri kompetisi di lapangan.

Mereka tak mau mengadopsi model Belanda yang membatalkan musim kompetisi sehingga tak ada yang dinobatkan untuk status apapun dan tidak pula skenario Prancis yang menutup kompetisi membuat dengan menetapkan Paris Saint Germain sebagai juara liga musim ini, dua klub yang terdegradasi dan beberapa klub yang masuk kompetisi Eropa.

Mereka ingin mengikuti pola Jerman, tapi prakondisi kesehatan di Jerman berbeda jauh dengan Inggris, dan ini membuat mereka mengenalkan prakarsa kompetisi mini di satu venue netral atau dipusatkan di satu tempat. Ide ini mirip dengan prakarsa kompetisi bola basket profesional NBA di Amerika Serikat.

Dengan cara ini para pemain dan ofisial berada di satu venue dan sekitarnya. Dalam kata lain dikarantina guna meminimalkan kontak dengan siapapun di luar venue netral itu sampai kompetisi selesai sehingga kecil sekali terpapar virus corona.

Namun inisiatif ini ditentang oleh sejumlah klub Liga Premier sendiri. Watford, Brighton dan Aston Villa adalah di antara klub yang tidak tertarik dengan ide ini.

"Dengan semua kompromi dan risiko kesehatan ini kami diminta untuk mengakhiri kompetisi yang tidak sama dengan kompetisi ini dimulai. Adilkah ini?," tulis CEO Watford Scott Duxbury dalam The Times, Inggris.

Watford adalah salah satu dari enam klub yang kemungkinan terdegradasi. Walaupun menempati satu level di atas zona degradasi pada peringkat ke-17, Watford memiliki poin sama dengan Bournemouth (18) dan West Ham (16). Dua klub lainnya adalah Aston Villa dan Norwich yang berada di dua terbawah.

Ketentuan Liga Premier mengharuskan tiga klub terbawah dalam klasemen terlempar dari liga elite ini ke divisi dua, Liga Championship, sedangkan Liverpool adalah pemimpin klasemen dengan selisih 25 poin dari peringkat kedua Manchester City.


Rentan terpapar

Secara umum, ada empat kelompok besar yang menginginkan skenario-skenario berbeda mengenai lanjut dan tidaknya Liga Premier.

Kelompok pertama adalah yang menginginkan kompetisi jalan terus apapun caranya. Salah satu alasannya adalah karena kualifikasi Eropa harus ditentukan di lapangan dan bahwa Liverpool tinggal dua pertandingan lagi untuk memastikan gelar juara liga pertamanya dalam 30 tahun.

Tetapi ternyata yang utama sebenarnya adalah perkara uang karena Liga Premier terancam kehilangan 1 miliar pound (Rp18,5 triliun) jika tidak menyelesaikan kompetisi 2019-2020, selain risiko masing-masing klub kehilangan pendapatan hak siar sebesar 100 juta pound (Rp1,85 miliar) yang dihitung dari setiap pertandingan yang tidak jadi dimainkan.

Kelompok kedua yang ingin melanjutkan kompetisi namun dengan tidak membahayakan kesehatan pemain, ofisial, tim, dan keluarga mereka.

Kelompok ketiga adalah yang menginginkan ada dahulu jaminan kesehatan. Masalahnya, virus menjadi sangat menentukan dalam jadi tidaknya liga dilanjutkan kembali.

Kelompok keempat adalah yang sama sekali tidak menginginkan kompetisi dilanjutkan. Kelompok ini bahkan menolak skenario satu venue netral untuk menuntaskan kompetisi.

Situasi memang masih pelik bagi Liga Premier karena krisis virus corona di Inggris bukannya membaik. Kini, kasus terkonfirmasi sudah 18.000 per hari atau jauh dari target pemerintahan 4.000 per hari.

Kalangan kesehatan, dan kemudian diamini Boris Johnson yang nyawanya sendiri pernah nyaris direnggut virus corona, menyatakan terlalu dini melonggarkan lockdown, apalagi ada skenario gelombang kedua serangan virus.

Bahkan para peneliti London School of Hygiene & Tropical Medicine dan Imperial College London mengingatkan relaksasi lockdown bakal membuat ada sekitar 100 ribu orang meninggal dunia akibat virus tersebut di Inggris sampai akhir tahun ini.

Olahragawan sendiri, termasuk pesepakbola, rentan terserang karena, paling tidak menurut mantan dokter tim Chelsea Eva Carneiro, atlet profesional mudah terserang virus, termasuk COVID-19.

"Ini terlihat dari tes darah dan tingkat serta insiden saluran pernafasan atas dan infeksi lainnya yang menunjukkan bagaimana virus seperti ini mulai. Ini karena volume olahraga yang mereka mainkan," kata Carneiro seperti dikutip Daily Mail.

Carneiro tidak membual karena dalam kondisi tidak berkerumun pun masih ada atlet yang dites positif COVID-19, di antaranya tiga pemain Brighton & Hove Albion Sabtu pekan lalu.

Untuk itu, agaknya Liga Premier belum bisa cepat-cepat menyusul langkah Bundesliga Jerman yang segera memulai lagi bertanding 16 Mei nanti.
 

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020