Selama bertahun-tahun, umat Hindu dan Muslim hidup dan bekerja bersama secara damai di Yamuna Vihar, sebuah distrik padat penduduk di Delhi.

Namun kerusuhan yang berkobar di seluruh distrik bulan lalu tampaknya telah memecah belah masyarakat, dan mencerminkan tren nasional di saat ketegangan atas agenda nasionalis Perdana Menteri Narendra Modi memanas.

Banyak warga Hindu di Yamuna Vihar, sebuah kawasan yang terdiri dari blok-blok perumahan dan toko-toko dengan masjid dan kuil-kuil Hindu diantaranya, dan di distrik-distrik lain yang dilanda kerusuhan di timur laut Delhi, mengatakan mereka memboikot pedagang dan menolak untuk mempekerjakan warga Muslim.

Sementara itu, warga Muslim mengatakan mereka berjuang untuk mencari pekerjaan pada saat pandemi virus corona telah meningkatkan tekanan pada ekonomi India.

"Saya memutuskan untuk tidak pernah bekerja dengan Muslim," kata Yash Dhingra, yang memiliki toko yang menjual cat dan perlengkapan kamar mandi di Yamuna Vihar.

"Saya telah menemukan pekerja baru, mereka orang Hindu," kata dia, berdiri di jalan sempit yang merupakan lokasi bentrokan keras dalam kerusuhan yang meletus pada 23 Februari.

Pemicu kerusuhan yang merupakan kekerasan sektarian terburuk di ibu kota India dalam beberapa dekade itu adalah undang-undang kewarganegaraan yang diperkenalkan tahun lalu yang menurut para kritikus memarginalkan minoritas Muslim India. Catatan polisi menunjukkan setidaknya 53 orang, sebagian besar Muslim, tewas dan lebih dari 200 orang lainnya terluka.

Dhingra mengatakan kerusuhan itu selamanya mengubah Yamuna Vihar. Rumah dengan pintu rusak dapat dilihat di seluruh lingkungan; kabel-kabel listrik yang meleleh karena terbakar menjuntai di atas lorong-lorong penuh batu dan batu bata yang digunakan sebagai senjata dalam kerusuhan.

Sebagian besar penduduk Hindu di distrik itu sekarang memboikot pekerja Muslim, yang berdampak pada setiap orang mulai dari koki dan petugas kebersihan hingga mekanik dan penjual buah, kata dia.

"Kami memiliki bukti untuk menunjukkan bahwa Muslim memulai kekerasan, dan sekarang mereka menyalahkan kami," kata Dhingra.

"Ini pola mereka karena mereka adalah orang-orang yang berpikiran kriminal."

Pandangan-pandangan itu secara luas disuarakan dalam wawancara dengan 25 orang Hindu di delapan daerah di timur laut Delhi, banyak dari mereka menderita kerugian keuangan berskala besar atau terluka dalam kerusuhan itu.

Reuters juga berbicara dengan sekitar 30 Muslim, yang sebagian besar mengatakan bahwa umat Hindu telah memutuskan untuk berhenti bekerja dengan mereka.

Suman Goel, seorang ibu rumah tangga berusia 45 tahun yang telah tinggal diantara tetangga Muslim selama 23 tahun, mengatakan kekerasan telah membuatnya syok.

"Aneh rasanya kehilangan rasa memiliki, untuk keluar dari rumah Anda dan menghindari tersenyum pada wanita Muslim," kata dia.

"Mereka pasti merasakan hal yang sama, tetapi yang terbaik adalah menjaga jarak."

Mohammed Taslim, seorang Muslim yang mengoperasikan bisnis penjualan sepatu dari sebuah toko milik seorang Hindu di Bhajanpura, salah satu lingkungan yang terkena dampak kerusuhan, mengatakan persediaannya dihancurkan oleh gerombolan Hindu.

Dia kemudian diusir dan tokonya disewakan kepada seorang pengusaha Hindu, katanya.

"Ini dilakukan hanya karena saya seorang Muslim," kata Taslim.

Banyak Muslim mengatakan serangan itu dipicu oleh umat Hindu garis keras untuk melawan protes yang melibatkan puluhan ribu orang di seluruh India guna melawan undang-undang kewarganegaraan yang baru.

"Ini adalah situasi normal baru bagi kami," kata Adil, seorang asisten peneliti Muslim dari think tank ekonomi di pusat Delhi.

"Karier, pekerjaan, dan bisnis tidak lagi menjadi prioritas bagi kami. Prioritas kami sekarang adalah untuk tetap aman dan melindungi hidup kami."

Dia menolak untuk mengungkapkan nama lengkapnya karena takut akan pembalasan.

Didorong oleh kemenangan pemilihan umum Modi pada 2014, kelompok garis keras mulai mengejar agenda yang mengutamakan Hindu yang telah mengorbankan minoritas Muslim di negara itu.

Orang-orang yang main hakim sendiri telah menyerang dan membunuh sejumlah Muslim yang terlibat dalam pengangkutan sapi, yang dipandang sebagai binatang suci oleh umat Hindu, ke rumah jagal dalam beberapa tahun terakhir.

Pemerintah juga telah mengambil sikap keras terhadap Pakistan, dan pada Agustus menarik hak-hak semi-otonom untuk Jammu dan Kashmir, satu-satunya negara bagian dengan penduduk mayoritas Muslim di India.

Pada November, Mahkamah Agung memutuskan bahwa sebuah kuil Hindu dapat dibangun di Ayodhya, di mana kelompok sayap kanan merobohkan sebuah masjid abad ke-16 pada 1992, sebuah keputusan yang disambut oleh pemerintah Modi.

Undang-undang kewarganegaraan, yang memudahkan jalan bagi non-Muslim dari negara-negara tetangga mayoritas Muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan di India, adalah tantangan terakhir bagi banyak Muslim, serta India sekuler, dan memicu protes nasional.

Kantor Modi tidak menanggapi pertanyaan dari Reuters tentang kekerasan terbaru.


Gerombolan Malam Hari

Pada siang hari, umat Hindu dan Muslim saling menjauhi di gang-gang distrik Delhi yang paling parah dilanda kerusuhan pada Februari lalu. Namun pada malam hari, ketika ancaman kekerasan lebih besar, mereka secara fisik dipisahkan oleh barikade yang dihilangkan pada pagi hari.

Dan di beberapa daerah, pembatas permanen sedang dibangun.

Pada malam baru-baru ini, Tarannum Sheikh, seorang guru sekolah, duduk menonton dua tukang las memasang gerbang tinggi di pintu masuk jalan sempit ke kantong Muslim Khajuri Khas, tempat dia tinggal. Tujuannya adalah untuk mencegah orang Hindu masuk, kata dia.

"Kami membawa tongkat kayu untuk melindungi pintu masuk karena setiap saat, seseorang dapat memasuki lorong ini untuk membuat masalah," katanya.

"Kami tidak lagi mempercayai polisi."

Di lingkungan Hindu yang berdekatan di Bhajanpura, penduduk menyatakan ketidakpercayaan yang sama dan rasa tidak aman.

"Sedikit banyak kerusuhan ini diperlukan untuk menyatukan umat Hindu, kami tidak menyadari bahwa kami dikelilingi oleh pikiran jahat seperti itu selama beberapa dekade," kata Santosh Rani, seorang nenek berusia 52 tahun.

Dia mengatakan bahwa dia telah dipaksa untuk menurunkan kedua cucunya dari lantai pertama rumahnya ke jalan di bawah setelah bangunan itu dibakar dalam kekerasan, yang diduga dilakukan oleh seorang Muslim.

"Kali ini umat Islam telah menguji kesabaran kami dan sekarang kami tidak akan pernah memberi mereka pekerjaan," kata Rani yang memiliki beberapa pabrik dan toko ritel.

"Saya tidak akan pernah memaafkan mereka."

Hasan Sheikh, seorang penjahit yang telah mengerjakan pakaian untuk perempuan Hindu dan Muslim selama lebih dari 40 tahun, mengatakan pelanggan Hindu datang untuk mengambil pakaian mereka yang belum dijahit setelah kerusuhan.

"Aneh melihat bagaimana hubungan kami berakhir," kata Sheikh, yang beragama Islam.

"Saya tidak bersalah, tidak juga klien perempuan saya, tetapi iklim sosial di daerah ini sangat tegang. Kebencian di kedua belah pihak dibenarkan."


Sumber: Reuters

 

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020