Menjadi anak pejabat di Indonesia ternyata tidak mudah, harus menjaga sikap dan tingkah laku. Jika putra dan putri pejabat itu berbuat ulah hingga mengakibatkan adanya pihak-pihak yang dirugikan, tentu bisa menjadi sorotan publik.

Seperti yang dialami putra Bupati Majalengka yang menjadi bahan gunjingan tidak hanya di kota itu, tetapi juga di Jawa Barat bahkan di Indonesia. Irfan Nur Alam, nama anak Bupati Majalengka Karna Sobahi itu telah ditangkap polisi karena melakukan tindakan yang sama sekali tidak pantas.

Irfan telah mencoba mengancam menembak seorang pengusaha di Majalengka dengan sebuah pistol sambil menyerahkan uang yang “segunung”, Rp500 juta. Irfan mengancam pengusaha bernama Pandji.

Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Majalengka Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Mariyono mengatakan, kepada sejumlah wartawan pada hari Sabtu (16/11), bahwa anak bupati ini telah ditangkap karena mengancam orang. Mariyono mengaku bahwa telah mendengar terjadinya “perdamaian” antara Irfan dan Pandji.

Akan tetapi, Polres Majalengka masih tetap menahan Irfan walaupun dia adalah pimpinan organisasi Persatuan Menembak (Perbakin) Majalengka serta pistolnya telah mendapat surat izin dari Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Persoalan ini mungkin saja bisa dianggap remeh atau “kecil” oleh beberapa pihak. Akan tetapi, pertanyaan yang sangat mendasar adalah apakah karena Irfan itu anak pejabat maka dia merasa berhak dan berkuasa untuk menodongkan senjata kepada seseorang yang sedang terlibat dalam kasus utang piutang? Berhakkah anak pejabat dengan sesuka hatinya mengancam orang lain apalagi dengan senjata hanya karena soal uang?

Tidak malukah Irfan telah mencederai nama baik orang tuanya yang seharusnya dihormati warga setempat? Irfan mungkin tidak menyadari bahwa ada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Jenderal Polisi Tito Karnavian yang sangat "cerewet” dan teliti terhadap kasus-kasus di daerah sekalipun mantan Kapolri itu belum 1 bulan menjadi pemimpin Kemdagri.

Gara-Gara Nepotisme

Irfan bisa bertindak semaunya sendiri itu karena pasti sadar bahwa ia punya “pelindung" alias backing, yaitu bapaknya yang sedang menjadi bupati, apalagi sekarang ini pemilihan bupati, wali kota, hingga gubernur dilakukan oleh rakyat, bukannya lagi oleh DPRD. Namun, kepala daerah itu tetap bisa disorot dari Jakarta oleh Kemendagri melalui berbagai cara, termasuk lewat media massa. Bahkan, kasus ini sudah serius ditangani oleh Polres Majalengka.

Pada tahun 2020, bakal berlangsung tidak kurang dari 270 pemilihan kepala daerah mulai dari provinsi, kota, hingga kabupaten. Oleh karena itu, banyak sekali orang yang amat berambisi untuk menjadi bupati, wali kota, hingga gubernur.

Untuk menjadi pejabat di daerah, tentu diperlukan “setumpuk” persyaratan, mulai dari dukungan partai-partai politik, logistik alias duit, hingga rakyat yang bakal mencoblos surat suara. Masyarakat baru akan menusuk gambar calon jika yang bersangkutan memiliki rekam jejak alias track record yang baik yang tidak hanya sang calon pemimpin tapi juga keluarganya.

Mungkinkah calon pemilih akan sudi dan ikhlas menusuk gambar calon pemimpin mereka jika anggota keluarganya itu seperti contoh buruk yang ditampilkan seperti Irfan tersebut?

Oleh karena itu, bagi para bakal calon gubernur, bupati, hingga wali kota pada pesta demokrasi tahun depan, sejak sekarang meminta semua keluarganya untuk menjaga benar-benar citra diri mereka.

Jangan hanya karena ingin sok-sokan kemudian berbuat seenaknya sendiri yang pada akhirnya merusak nama baik dan kehormatan bakal calon pemimpin ini

Masyarakat tentu masih ingat sebuah peribahasa yang kurang lebih berbunyi karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Artinya, gara-gara persoalan yang sepele, persoalan jadi runyam semuanya.

Kasus Irfan ini juga harus mengingatkan semua pejabat yang sedang memiliki amanah dari rakyat untuk tidak sedikit pun menyalahgunakan kepercayaan rakyat. Sekalipun mungkin benar antara Irfan telah terjadi “perdamaian" dengan Pandji, sedikit banyaknya nama baik Bupati Majalengka ini sudah mulai rusak sehingga harus dipulihkan atau diperbaiki secepatnya.

Pada tahun 2019, sudah mulai muncul sejumlah nama anak pejabat mulai dari yang tertinggi hingga terbawah yang mengumumkan dirinya telah siap menjadi bakal calon pemimpin yang dikenal sebagai kelompok milenial. Jadi, jagalah nama baik dan kehormatan orang tua mereka demi suksesnya pesta demokrasi yang akan datang itu.

Karena dalam satu hingga dua tahun mendatang, para pemimpin yang sudah tua atau setengah umur itu bakal menghabiskan masa bakti mereka kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini maka generasi baru harus sudah menyiapkan diri demi keberhasilan estafet kepemimpinan.

Sistem kekeluargaan (nepotisme) sudah biasa terjadi di Indonesia baik yang berlangsung secara alamiah maupun dipaksakan. Seharusnya para pemimpin saat ini bisa meniru keluarga Proklamator Bung Hatta. Sekalipun satu di antara ketiga putrinya pernah menjadi pejabat negara setingkat menteri, ternyata nama sang Proklamator ini tetap terhormat dan tidak ada satu gunjingan apa pun juga tentang keluarga besar Bung Hatta ini.

Contoh lainnya adalah mantan Kapolri Jenderal Polisi Hugeng Imam Santoso yang anak-anaknya tak menimbulkan citra jelek terhadap orang tuanya itu

Siapkah semua pemimpin dan tokoh masyarakat mencontoh atau meniru anak-anak dan para cucu proklamator tersebut? Indonesia sangat mendambakan para pemimpin yang benar-benar sanggup menunjukkan keteladanannya dan sama sekali bukan contoh buruk seperti yang ditampilkan anak bupati Majalengka ini.

Rakyat Indonesia pasti akan memuji semua pemimpin mereka dan sanak keluarganya jika benar-benar menunjukkan diri sebagai abdi rakyat serta rendah hati tanpa berusaha menonjolkan diri mereka.


*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA pada tahun 19822018, pernah meliput acara kepresidenan pada tahun 19872009

Pewarta: Arnaz Ferial Firman *)

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019