Miftahul Jannah Wasnur, seorang relawan dari Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Pinrang, selaku tim relawan yang dibentuk Aksi Cepat Tanggap (ACT) konsisten membina kampung Mualaf di Dusun Makula, Kelurahan Betteng, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang di Sulawesi Selatan.
“Relawan MRI Pinrang yang pertama kali mengumandangkan adzan di Makula, di masjid kampung ini. Setelahnya tekad kami untuk terus mengumandangkan semangat Islam bagi penduduk Makula,” ungkap Miftah di Makassar, Selasa.
Sejak Januari 2019, Miftah bersama tim MRI Pinrang mulai masuk ke perkampungan ini karena mengetahui kabar tentang mualaf yang hingga saat itu masih minim pendampingan agama.
Belum banyak yang tinggal di kampung itu. Belasan rumah dengan penghuni yang tidak mencapai ratusan orang, mereka merupakan penduduk mualaf yang memilih tinggal secara komunal di ketinggian Pinrang.
"Makula warganya masih minim pengetahuan Islam. Bahkan di kampung itu sebelumnya tak ada masjid," kata Miftah.
Jaringan telekomunikasi kurang baik, Makula seakan terisolir dari keramaian dunia. Hanya gmercik aliran sungai menjadi pemecah sunyi kampung mualaf yang ada.
Data yang dikumpulkan tim MRI Pinrang, di Kecamatan Lembang terdapat 200 kepala keluarga mualaf. Sebagian kecil dari mereka kini tinggal di Makula, sedangkan sisanya tersebar di beberapa desa lain.
"Kemungkinan jumlah mualaf di Lembang lebih dari itu karena masih terdapat beberapa lokasi yang belum sempat didatangi," tandas Miftah.
Walau sudah memeluk Islam sejak lama, mualaf di Lembang, kata dia masih belum banyak mengetahui tentang Islam, bahkan masih terdapat beberapa orang yang belum mengerti tata cara berwudhu.
“Masyarakat di sini (kampung mualaf) sangat kurang pendampingan,” tambah Miftah.
Guntur, salah satu tokoh masyarakat setempat, mengatakan mereka tidak mempermasalahkan keterbatasan itu. Warga yang tinggal di sana sekarang sudah cukup tenang.
“Kami di sini cukup tenang, terlebih setelah mengenal Islam,” ungkapnya April lalu.
Sebuah masjid berdiri di tengah-tengah kampung. Bangunannya belum sempurna jadi. Kubahnya tak sebesar masjid-masjid di kota. Akan tetapi, masjid ini menjadi satu-satunya sarana ibadah dan tempat warga Makula mendalami Islam.
Guntur menuturkan, warga mualaf yang tinggal di kampung itu merupakan warga yang sebelumnya tinggal di beberapa desa di Kecamatan Lembang.
Setelah menjadi mualaf, sebagian memilih untuk berpindah tempat tinggal. Alasannya, mereka Ingin mendalami Islam dan meninggalkan kebiasaan lama yang kurang baik.
Kampung Mualaf terisolir
Kampuang mualaf Makula di Kelurahan Betteng, jika ditempuh dari pusat Kabupaten Pinrang jaraknya hingga 63 kilometer dan memakan waktu sekitar dua jam melalui medan pegunungan.
Belum ada sarana jalan yang memadai. Tebing dan jurang yang harus dilalui mengharuskan pelintas berhati-hati.
Kendaraan roda empat belum bisa menembus hingga perkampungan mualaf, roda dua pun harus dalam kondisi yang baik. Ketinggian Makula sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut.
“Sepanjang jalan ke kampung, ada 18 area rawan longsor, hanya motor atau jalan kaki jadi pilihan,” jelas salah satu warga Hasbullah pertengahan Agustus lalu.
Sebuah sungai mengalir persis di depan kampung. Airnya dari pegunungan sekitar, menjadikan sumber air bersih melimpah. Namun saat turun hujan dengan intensitas tinggi, debit air meningkat dan mendatangkan aliran sungai yang deras.
Belum ada jembatan permanen sebagai jalan keluar-masuk kampung. Batu yang disusun layaknya jalan setapak kini menjadi jalan utama warga untuk menyeberang sungai dan tiba di Makula.
Tak ada fasilitas umum selain masjid. Jarak terdekat sekolah menengah pertama sejauh 10 kilometer, sedangkan sekolah dasar umum 20 km dan taman kanak-kanak 15 kilometer.
Untuk fasilitas kesehatan, paling dekat 10 kilometer. Sementara untuk rumah sakit hanya ada di pusat kota dengan jarak 63 kilometer.
“Berbagai macam program pendampingan kami lakukan selain keagamaan. Sekarang ini kami merencanakan untuk mengadakan pelatihan kewirausahaan serta pemberdayaan pengolahan hasil bumi komoditi seperti kopi dan pakan ayam,” ungkap Miftah.
Miftah menuturkan, hingga kini pendampingan terhadap warga di Makula terus berlangsung.
Hari-hari besar Islam seperti Idul Adha lalu juga ACT rayakan di Makula. Akan tetapi hingga kini warga masih hidup dengan berbagai keterbatasan.
Jembatan belum mereka miliki, ketika sungai depan kampung mereka meluap dapat membahayakan jiwa.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
“Relawan MRI Pinrang yang pertama kali mengumandangkan adzan di Makula, di masjid kampung ini. Setelahnya tekad kami untuk terus mengumandangkan semangat Islam bagi penduduk Makula,” ungkap Miftah di Makassar, Selasa.
Sejak Januari 2019, Miftah bersama tim MRI Pinrang mulai masuk ke perkampungan ini karena mengetahui kabar tentang mualaf yang hingga saat itu masih minim pendampingan agama.
Belum banyak yang tinggal di kampung itu. Belasan rumah dengan penghuni yang tidak mencapai ratusan orang, mereka merupakan penduduk mualaf yang memilih tinggal secara komunal di ketinggian Pinrang.
"Makula warganya masih minim pengetahuan Islam. Bahkan di kampung itu sebelumnya tak ada masjid," kata Miftah.
Jaringan telekomunikasi kurang baik, Makula seakan terisolir dari keramaian dunia. Hanya gmercik aliran sungai menjadi pemecah sunyi kampung mualaf yang ada.
Data yang dikumpulkan tim MRI Pinrang, di Kecamatan Lembang terdapat 200 kepala keluarga mualaf. Sebagian kecil dari mereka kini tinggal di Makula, sedangkan sisanya tersebar di beberapa desa lain.
"Kemungkinan jumlah mualaf di Lembang lebih dari itu karena masih terdapat beberapa lokasi yang belum sempat didatangi," tandas Miftah.
Walau sudah memeluk Islam sejak lama, mualaf di Lembang, kata dia masih belum banyak mengetahui tentang Islam, bahkan masih terdapat beberapa orang yang belum mengerti tata cara berwudhu.
“Masyarakat di sini (kampung mualaf) sangat kurang pendampingan,” tambah Miftah.
Guntur, salah satu tokoh masyarakat setempat, mengatakan mereka tidak mempermasalahkan keterbatasan itu. Warga yang tinggal di sana sekarang sudah cukup tenang.
“Kami di sini cukup tenang, terlebih setelah mengenal Islam,” ungkapnya April lalu.
Sebuah masjid berdiri di tengah-tengah kampung. Bangunannya belum sempurna jadi. Kubahnya tak sebesar masjid-masjid di kota. Akan tetapi, masjid ini menjadi satu-satunya sarana ibadah dan tempat warga Makula mendalami Islam.
Guntur menuturkan, warga mualaf yang tinggal di kampung itu merupakan warga yang sebelumnya tinggal di beberapa desa di Kecamatan Lembang.
Setelah menjadi mualaf, sebagian memilih untuk berpindah tempat tinggal. Alasannya, mereka Ingin mendalami Islam dan meninggalkan kebiasaan lama yang kurang baik.
Kampung Mualaf terisolir
Kampuang mualaf Makula di Kelurahan Betteng, jika ditempuh dari pusat Kabupaten Pinrang jaraknya hingga 63 kilometer dan memakan waktu sekitar dua jam melalui medan pegunungan.
Belum ada sarana jalan yang memadai. Tebing dan jurang yang harus dilalui mengharuskan pelintas berhati-hati.
Kendaraan roda empat belum bisa menembus hingga perkampungan mualaf, roda dua pun harus dalam kondisi yang baik. Ketinggian Makula sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut.
“Sepanjang jalan ke kampung, ada 18 area rawan longsor, hanya motor atau jalan kaki jadi pilihan,” jelas salah satu warga Hasbullah pertengahan Agustus lalu.
Sebuah sungai mengalir persis di depan kampung. Airnya dari pegunungan sekitar, menjadikan sumber air bersih melimpah. Namun saat turun hujan dengan intensitas tinggi, debit air meningkat dan mendatangkan aliran sungai yang deras.
Belum ada jembatan permanen sebagai jalan keluar-masuk kampung. Batu yang disusun layaknya jalan setapak kini menjadi jalan utama warga untuk menyeberang sungai dan tiba di Makula.
Tak ada fasilitas umum selain masjid. Jarak terdekat sekolah menengah pertama sejauh 10 kilometer, sedangkan sekolah dasar umum 20 km dan taman kanak-kanak 15 kilometer.
Untuk fasilitas kesehatan, paling dekat 10 kilometer. Sementara untuk rumah sakit hanya ada di pusat kota dengan jarak 63 kilometer.
“Berbagai macam program pendampingan kami lakukan selain keagamaan. Sekarang ini kami merencanakan untuk mengadakan pelatihan kewirausahaan serta pemberdayaan pengolahan hasil bumi komoditi seperti kopi dan pakan ayam,” ungkap Miftah.
Miftah menuturkan, hingga kini pendampingan terhadap warga di Makula terus berlangsung.
Hari-hari besar Islam seperti Idul Adha lalu juga ACT rayakan di Makula. Akan tetapi hingga kini warga masih hidup dengan berbagai keterbatasan.
Jembatan belum mereka miliki, ketika sungai depan kampung mereka meluap dapat membahayakan jiwa.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019