Ketua DPD Partai Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengatakan, telah memprediksi pertemuan antara Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan momentum tersebut harus disyukuri merupakan hal yang positif.

"Sebenarnya cair-cair saja. Bagi saya pertemuan Ibu Mega dan Pak Prabowo biasa -biasa saja tapi harus disyukuri karena sebelumnya pernah mencalonkan bersama artinya enggak ada problem," kata Dedi Mulyadi, Kamis.

Menurut dia pertemuan dua tokoh nasional tersebut memang menggemparkan di masyarakat namun menurut dia hal tersebut biasa terjadi di dunia politik.

Dia mengatakan pertemuan Prabowo dan Megawati sepatutnya disyukuri oleh rakyat Indonesia dan dirinya mengimbau kepada masyarakat agar melupakan perseteruan antar pendukung carpes-cawapres di Pilpres 2019.

Menurut dia, rakyat saat ini lebih baik mengawasi kerja elit politik di eksekutif dan legislatif.

"Bagi saya bagus lah, enggak ada lagi ribut-ribut urusan ideologi lagi. Pilkada juga nanti bisa bareng-bareng lagi. Pelajaran penting bagi rakyat, sudah deh, jangan bertengkar mati-matian ngebelain elit," katanya.

"Sudah, biasa saja. Jangan percaya sama pertengkaran elit. Ini musuhannya cuma di sinetron, tapi kadang-kadang penonton terpengaruh," lanjutnya.

Dedi menambahkan, cairnya hubungan politik antara Partai Gerindra dan PDI Perjuangan menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem politik terbuka. 

Politik pasca reformasi, sambung Dedi, adalah politik terbuka dimana tidak ada konsolidasi ideologis yang terlalu mendalam sampai ke pemilu 2014.

Ia mengatakan perang ideologi yang terjadi di Pilpres 2019 dimulai setelah Pilkada DKI 2019, dimana Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang didukung oleh PDI-P sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dinyatakan bersalah oleh hukum karena dianggap telah melakukan penistaan agama.

Lebih lanjut Dedi menambahkan, pada Pemilu 2019 pascapencalonan Ahok, munculah sentimen politik agama dan dirinya menilai sentimen ini kemudian dimanfaatkan untuk membentuk sebuah kubu yang menumpang partai politik sebagai kendaraan.

Menurut mantan bupati Purwakarta ini, hal tersebut menyebabkan terjadinya dua kutub politik tapi jika yang menciptakan kutub-kutub politik justru adalah akar rumput sementara kondisi elit politik justru akur-akur saja satu sama lain.

"Pada dasarnya dari calon tidak ada yang mencerminkan politik aliran baik dari kubu Prabowo Sandi atau kubu Jokowi-Maruf Amin," katanya.

"Namum kemasan yang dibuat oleh para pendukungnya menjadi kemasan politik aliran. Seperti Pertarungan ideologi. Saya bilang itu kemasan, tapi substansinya tidak ada pada akhirnya," kata Dedi.

 

Pewarta: ASJ

Editor : Ajat Sudrajat


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019