Sana`a, Yaman (ANTARA News) - Wijdan Mohammed Hussein baru berusia empat tahun, tapi wajahnya kelihatan sepuluh kali lebih tua daripada usianya yang sebenarnya!

Dengan tubuh kecil dan kurus-kerempeng, anak perempuan itu tak duduk sendiri.

Wijdan termasuk di antara 1,8 juta anak penderita gizi buruk yang berjuang untuk bertahan hidup di Yaman --yang diporak-porandakan perang dan menjadi tempat Dana Anak PBB (UNICEF) memperingatkan bahwa jumlah anak yang kekurangan gizi bertambah setiap hari.

Wijdan dibawa oleh ibunya ke Rumah Sakit Ibu dan Anak As-Sabeen di Ibu Kota Yaman, Sana`a, yang dikuasai gerilyawan, setelah menempuh perjalanan jauh dari Al-Mahathirah --desa yang terletak jauh dan terpencil di Provinsi Saada.

"Ayahnya meninggal akibat kelaparan dua bulan lalu," kata Karimah Hussein, ibu Wijdan, kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu malam.

"Ia selalu terserang flu, sakit perut, muntah dan diare," kata sang ibu.

Wanita tersebut, dengan suara rendah, mengatakan bahwa perang dan serangan udara yang terus berlangsung telah merusak setiap pertanian dan semua jenis usaha di desanya dan sekitarnya.

"Saya telah menjual apa saja untuk membayar ongkos taksi ke rumah sakit sebab kebanyakan pusat kesehatan di Saada telah hancur," kata ibu itu.

Dokter Elham Abdulaziz mengatakan Wijdan menderita gizi buruk akut, amoebiasis (infeksi akibat amuba) dan radang di dada.

"Ia berada dalam kondisi kritis," kata dr. Abdulaziz, saat memeriksa Wijdan.

"Jumlah anak penderita gizi buruk bertambah setiap hari selama perang dan blokade ekonomi berlangsung terus," kata dokter itu. Ia menambahkan rumah sakit tempatnya bekerja menerima sampai 90 pasien serupa setiap hari.

Di dalam koridor Rumah Sakit Ibu dan Anak As-Sabeen, sebanyak 20 keluarga --yang membawa anak mereka yang tampak jelas menderita gizi buruk-- menunggu perawatan.

Kebanyakan anak-anak tersebut datang dari desa terpencil yang berada jauh di Provinsi Hajjah, Bayda, Raymah, Hodeidah, Jawf, Amran dan Mahweet.

Mohammed Hasan Al-Mazi, yang berusia satu-setengah tahun, telah menderita gizi buruk selama delapan bulan. Anak itu tiba di rumah sakit tersebut bersama orang tuanya setelah menempuh perjalanan selama tujuh jam dari Desa Bast di Kabupaten Abs di Provinsi Hajjah di bagian barat-laut Yaman.

"Kondisi ekonomi yang bertambah buruk, perang, dan pemotongan gaji adalah penyebab penyakit yang diderita anak kami," kata Hasan Al-Mazi, ayah Mohammed, dengan suara tinggi.

Asriyah Faysal, bayi perempuan yang berusia empat bulan, datang dari desa terpencil di pegunungan Provinsi Raymah di bagian barat negeri tersebut.

"Kami telah melakukan perjalanan selama tujuh jam di jalan yang rusak dan dua jam di jalan beraspal sampai kami tiba di rumah sakit," kata ayah bayi perempuan itu.

"Saya tidak mempunyai uang atau pekerjaan ... Saya ingin merawat anak perempuan saya dari gizi buruk," kata ayah, yang putus-asa tersebut.

Sebagai satu pusat kesehatan masyarakat di Sana`a, Ibu Kota Yaman tersebut kekurangan pasokan dasar medis. Semua obat dibawa dari apotek di luar rumah sakit.

Perang saudara meletus di Yaman pada Maret 2015 antara Pemerintah Yaman, yang didukung oleh koalisi militer pimpinan Arab Saudi, dan petempur milisi Syiah Al-Houthi, yang didukung Iran dan merebut sebagian besar provinsi Yaman Utara, termasuk Ibu Kotanya, Sana`a.

Komite Palang Merah Internasional (ICRC) telah melaporkan bahwa lebih dari 160 serangan terhadap instalasi medis di Yaman telah dilancarkan oleh semua pihak yang berperang, dan merusak 45 persen instalasi medis di negeri tersebut.

Blokade laut telah "sangat membatasi" import makanan, obat dan bahan bakar, kata ICRC dan Organisasi Save the Children.

Pemadaman listrik telah memaksa banyak rumah sakit mengandalkan generator, sementara pemotongan gaji telah memaksa sebagian besar pegawai medis pemerintah pergi.

Sejak April wabah kolera sudah menewaskan 2.300 orang, kebanyakan anak kecil.

Perang saudara di Yaman telah menewaskan lebih dari 10.000 orang Yaman, kebanyakan warga sipil, dan membuat lebih dari tiga juta orang lagi meninggalkan rumah mereka, demikian data yang disiarkan baru-baru ini oleh lembaga kemanusiaan PBB.

Hampir 25 juta warga Yaman tak memiliki akses ke air minum bersih sejak perang meletus.

Yaman, negara paling miskin di dunia Arab, sekarang berada di ambang kelaparan, dan sebanyak separuh anak yang berusia di bawah lima tahun menderita gizi buruk kronis, demikian peringatan PBB.

Sementara itu, masih belum ada tanda perang akan berakhir dalam waktu dekat, meskipun berbagai upaya untuk mewujudkan perdamaian dilancarkan oleh PBB --yang dijadwalkan menjadi tuan-rumah babak baru pembicaraan perdamaian Yaman di Jenewa pada 6 September.

Editor : Chaidar Abdullah

Pewarta: Antara
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2018