Pegiat lingkungan Tosca Santoso mengatakan program Perhutanan Sosial telah memberikan kepastian kepada masyarakat untuk mengelola hutan.
"Kini petani punya kepastian untuk mengelola hutan tanpa takut dianggap merambah lagi," kata Tosca dalam acara "Ngobrol Hutan Sosial" di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Jumat.
Dalam pengalamannya menulis buku tersebut, penulis buku "Lima Hutan, Satu Cerita" itu banyak bertemu petani di lima daerah yang telah merasakan dapat mengakses hutan.
Seperti perjumpaannya dengan nelayan dari Padang tikar, Kalimantan Barat, wajahnya terlihat riang karena telah bisa mengelola hutan secara legal, ujarnya.
Pengelolaan hutan oleh masyarakat pun dinilainya lebih lestari dibandingkan jika dikelola oleh perusahaan.
Hingga akhir 2018, baru ada sekitar 2,5 juta hektare yang telah dibagikan, sementara pemerintah telah menargetkan 12,7 juta hektare yang dapat dikelola oleh masyarakat.
Sebenarnya, lanjut dia, program Perhutanan Sosial telah didengungkan sejak 1999, namun situasi politik saat itu membuat program ini kurang diperhatikan. Kemudian pada 2007 program tersebut mulai dilaksanakan namun tersendat.
Kini di tangan Kabinet Kerja pemerintah kembali melakukan percepatan, meski hasil 2,5 juta hektare belumlah sesuai dengan target, ujarnya.
Tosca berpendapat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar Perhutanan Sosial dapat segera memenuhi target.
Pertama pendampingan masyarakat hingga mereka mendapatkan izin. "Pendampingan tak boleh berhenti sampai di perizinan, mereka juga harus memikirkan hasil bumi apa yang dapat digunakan untuk menyejahterakan para petani," katanya.
Pendamping harus konsisten dan mau memikirkan produk yang bagus dan punya potensi besar untuk masyarakat, kata dia.
Selain itu, perlu ada skema pendanaan yang lebih sederhana bagi masyarakat.
Karena saat ini Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank dinilai agak sulit bagi masyarakat. Sebab masyarakat yang ingin mengelola hutan tidak terbiasa dengan sistem administrasi yang disyaratkan oleh bank tersebut, ujarnya.
"Banyak administrasi yang dibutuhkan bank dan mereka tidak bisa penuhi," kata Tosca yang juga Pendiri Aliansi Jurnalis Independen itu.
Sistem KUR yang mengharuskan pinjaman lunas dalam 48 bulan juga tidak sesuai dengan pengelolaan hutan sosial, karena beberapa tanaman seperti kopi butuh waktu produksi yang lebih panjang dibandingkan dengan waktu tenggat KUR.
"Kopi butuh waktu tiga tahun baru bisa menghasilkan, itu pun pada awal hanya bisa menghasilkan setengah kilo per pohon. Jadi bagaimana petani bisa melunasi pinjaman dalam waktu 48 bulan," kata dia.
Tosca mengatakan program Perhutanan Sosial sudah membantu mengurangi ketimpangan dalam hal penguasaan lahan.
Namun masih dibutuhkan pendampingan jangka panjang, dukungan modal serta akses pasar bagi petani.
"Banyak pihak yang diharapkan dapat terlibat dalam program ini, baik relawan, pasar untuk mereka, serta bank yang dapat memberikan permodalan bagi mereka," kata dia.
Baca juga: Petani hutan sosial Cianjur dapat kemudahan dengan keluarnya SK Presiden
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
"Kini petani punya kepastian untuk mengelola hutan tanpa takut dianggap merambah lagi," kata Tosca dalam acara "Ngobrol Hutan Sosial" di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Jakarta, Jumat.
Dalam pengalamannya menulis buku tersebut, penulis buku "Lima Hutan, Satu Cerita" itu banyak bertemu petani di lima daerah yang telah merasakan dapat mengakses hutan.
Seperti perjumpaannya dengan nelayan dari Padang tikar, Kalimantan Barat, wajahnya terlihat riang karena telah bisa mengelola hutan secara legal, ujarnya.
Pengelolaan hutan oleh masyarakat pun dinilainya lebih lestari dibandingkan jika dikelola oleh perusahaan.
Hingga akhir 2018, baru ada sekitar 2,5 juta hektare yang telah dibagikan, sementara pemerintah telah menargetkan 12,7 juta hektare yang dapat dikelola oleh masyarakat.
Sebenarnya, lanjut dia, program Perhutanan Sosial telah didengungkan sejak 1999, namun situasi politik saat itu membuat program ini kurang diperhatikan. Kemudian pada 2007 program tersebut mulai dilaksanakan namun tersendat.
Kini di tangan Kabinet Kerja pemerintah kembali melakukan percepatan, meski hasil 2,5 juta hektare belumlah sesuai dengan target, ujarnya.
Tosca berpendapat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar Perhutanan Sosial dapat segera memenuhi target.
Pertama pendampingan masyarakat hingga mereka mendapatkan izin. "Pendampingan tak boleh berhenti sampai di perizinan, mereka juga harus memikirkan hasil bumi apa yang dapat digunakan untuk menyejahterakan para petani," katanya.
Pendamping harus konsisten dan mau memikirkan produk yang bagus dan punya potensi besar untuk masyarakat, kata dia.
Selain itu, perlu ada skema pendanaan yang lebih sederhana bagi masyarakat.
Karena saat ini Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari bank dinilai agak sulit bagi masyarakat. Sebab masyarakat yang ingin mengelola hutan tidak terbiasa dengan sistem administrasi yang disyaratkan oleh bank tersebut, ujarnya.
"Banyak administrasi yang dibutuhkan bank dan mereka tidak bisa penuhi," kata Tosca yang juga Pendiri Aliansi Jurnalis Independen itu.
Sistem KUR yang mengharuskan pinjaman lunas dalam 48 bulan juga tidak sesuai dengan pengelolaan hutan sosial, karena beberapa tanaman seperti kopi butuh waktu produksi yang lebih panjang dibandingkan dengan waktu tenggat KUR.
"Kopi butuh waktu tiga tahun baru bisa menghasilkan, itu pun pada awal hanya bisa menghasilkan setengah kilo per pohon. Jadi bagaimana petani bisa melunasi pinjaman dalam waktu 48 bulan," kata dia.
Tosca mengatakan program Perhutanan Sosial sudah membantu mengurangi ketimpangan dalam hal penguasaan lahan.
Namun masih dibutuhkan pendampingan jangka panjang, dukungan modal serta akses pasar bagi petani.
"Banyak pihak yang diharapkan dapat terlibat dalam program ini, baik relawan, pasar untuk mereka, serta bank yang dapat memberikan permodalan bagi mereka," kata dia.
Baca juga: Petani hutan sosial Cianjur dapat kemudahan dengan keluarnya SK Presiden
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019