Bandung (Antaranews Jabar) - Anak-anak usia remaja rentan mengalami depresi hingga berujung pada gangguan kejiwaan akibat berbagai faktor, kata Psikiater Universitas Padjadjaran Bandung, Teddy Hidayat.
"Remaja rentan untuk mengalami perubahan perilaku. Kita lihat akibatnya ada gangguan jiwa, depresi, gangguan jiwa berat, ada HIV, narkotik, kekerasan, dan radikalisme. Semua awalnya dari sana," ujar dia saat diskusi peringatan Hari Kesehatan Jiwa di Kebun Binatang Bandung, Rabu.
Para remaja yang mengalami gangguan kejiwaan terutama telah sampai pada titik terberat, cenderung menjadi "gelandangan psikotik" atau dibuang keluar dari lingkungannya.
Beberapa hal yang membuat remaja bisa terserang gangguan kejiwaan, kata dia, akibat faktor lingkungan, konsumsi obat-obatan terlarang, kekerasan yang pernah dialami, hingga kecemasan tidak bisa bersaing.
Teddy tidak menyebut secara rinci jumlah remaja yang mengalami gangguan kejiwaan. Namun berdasarkan data pada 2013 dari Riskesdas Kemenkes RI terdapat 72.000 orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
"1.007 itu pernah mengalami pemasungan dan menjadi gelandangan psikotik," kata dia.
Menurut dia, setiap harinya 7.200 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memerlukan perawatan intensif atau rawat inap, namun di sisi lain fasilitas layanan kesehatan jiwa yang ada jumlahnya terbatas.
Hal itu, kata dia. membuat sebagian besar ODGJ tidak terdeteksi, tidak diobati, menjadi kronik, mengalami kecacatan, menjadi korban kekerasan, dipasung, dan menggelandang.
"Saya kira kita harus punya program, kepedulian dari pemerintah, legal aspeknya, seperti pergub, perwal agar ada anggarannya nanti disiapkan. Kemudian disusun program yang berbasis komunitas, itu bisa dilakukan asal tinggal niatnya," kata dia.
Menurut dia, penanggulangan gelandangan psikotik sampai saat ini masih mendapat banyak kendala. Namun yang terpenting adalah pemahaman aparatur pemerintah dan masyarakat tentang gelandangan psikotik terbatas.
Selain itu, kata dia, belum ada koordinasi dan pedoman yang disepakati sehingga belum ada pola penatalaksanaan yang jelas, termasuk pascarehabilitasi.
Ia mengatakan belum ada data tentang jumlah gelandangan psikotik yang ada dan berapa banyak yang telah dijangkau.
"Penanganan yang komprehensif dengan medis dengan obat-obatan, kemudian dengan konseling dengan psikoterapi, perubahan lingkungan jadi holistik menyeluruh jadi secara biopsikososial," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018
"Remaja rentan untuk mengalami perubahan perilaku. Kita lihat akibatnya ada gangguan jiwa, depresi, gangguan jiwa berat, ada HIV, narkotik, kekerasan, dan radikalisme. Semua awalnya dari sana," ujar dia saat diskusi peringatan Hari Kesehatan Jiwa di Kebun Binatang Bandung, Rabu.
Para remaja yang mengalami gangguan kejiwaan terutama telah sampai pada titik terberat, cenderung menjadi "gelandangan psikotik" atau dibuang keluar dari lingkungannya.
Beberapa hal yang membuat remaja bisa terserang gangguan kejiwaan, kata dia, akibat faktor lingkungan, konsumsi obat-obatan terlarang, kekerasan yang pernah dialami, hingga kecemasan tidak bisa bersaing.
Teddy tidak menyebut secara rinci jumlah remaja yang mengalami gangguan kejiwaan. Namun berdasarkan data pada 2013 dari Riskesdas Kemenkes RI terdapat 72.000 orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
"1.007 itu pernah mengalami pemasungan dan menjadi gelandangan psikotik," kata dia.
Menurut dia, setiap harinya 7.200 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memerlukan perawatan intensif atau rawat inap, namun di sisi lain fasilitas layanan kesehatan jiwa yang ada jumlahnya terbatas.
Hal itu, kata dia. membuat sebagian besar ODGJ tidak terdeteksi, tidak diobati, menjadi kronik, mengalami kecacatan, menjadi korban kekerasan, dipasung, dan menggelandang.
"Saya kira kita harus punya program, kepedulian dari pemerintah, legal aspeknya, seperti pergub, perwal agar ada anggarannya nanti disiapkan. Kemudian disusun program yang berbasis komunitas, itu bisa dilakukan asal tinggal niatnya," kata dia.
Menurut dia, penanggulangan gelandangan psikotik sampai saat ini masih mendapat banyak kendala. Namun yang terpenting adalah pemahaman aparatur pemerintah dan masyarakat tentang gelandangan psikotik terbatas.
Selain itu, kata dia, belum ada koordinasi dan pedoman yang disepakati sehingga belum ada pola penatalaksanaan yang jelas, termasuk pascarehabilitasi.
Ia mengatakan belum ada data tentang jumlah gelandangan psikotik yang ada dan berapa banyak yang telah dijangkau.
"Penanganan yang komprehensif dengan medis dengan obat-obatan, kemudian dengan konseling dengan psikoterapi, perubahan lingkungan jadi holistik menyeluruh jadi secara biopsikososial," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2018