Antarajawabarat.com - Banjir menjadi pelajaran berharga bagi manusia bagaimana menjaga ekosistem alam. Jika pohon-pohon besar di bukit ditebangi dan diganti dengan tanaman lain yang mempunyai kemampuan lebih rendah menjaga air maka ancaman banjir menjadi semakin nyata. 

Inilah yang terjadi di Garut, Jawa Barat, saat hujan besar terus mengguyur dan limpahan air Sungai Cimanuk dan Sungai Cikamuri menjadi banjir bandang yang menerjang kawasanTarogong Kidul, tepatnya ke arah Rumah Sakit Umum Daerah Garut dan pemukiman yang ada sepanjang Sungai Cimanuk.

Gelombang besar mirip tsunami menutup jembatan dan jalan menuju RSUD Garut yang posisinya di bawah jalan. Tinggi jembatan Cimanuk sampai ke dasar sungai sekitar 15 meter dan muka air banjir sempat melimpas di atas jembatan, jadi bisa dibayangkan volume air bercampur lumpur itu. Air itu terus menerjang kawasan padat penduduk di bantaran sungai yang dihuni ribuan warga.

Ketinggian air di Sungai Cimanuk saat banjir bandang sampai 10 meter lebih, padahal tinggi normalnya hanya enam meter. Wajar dengan tinggi itu maka ribuan rumah terkena terjangan banjir dan sebagian ikut hanyut terbawa arus air.

Tak ada peringatan dini kemunculan air bah setinggi dua meter itu menerjang pemukiman, sehingga penduduk pada malam hari sekitar pukul 23. 00 WIB itu terkaget-kaget dan berusaha mencapai lokasi yang lebih tinggi di tengah derasnya arus. Hingga Jumat (23/9) jumlah korban tewas menjadi 26 orang, empat orang mengalami luka berat, 27 orang luka ringan, dan 23 orang dinyatakan hilang.

Banyaknya korban diakibatkan penduduk tidak segera meninggalkan rumah karena mereka beranggapan tidak mungkin terjadi banjir bandang, apalagi daerah itu memang tidak pernah dilanda banjir besar.

Akibatnya, ketika air bah benar-benar datang, sebagian penduduk lari ke atap rumah dan sebagian nekat keluar.

Seperti yang dialami keluarga Hilman (49) yang akhrinya terjebak di dalam rumah dan terus menyelamatkan diri dengan naik ke atap rumah. Sayang atap rumah yang berada di pinggir Sungai Cimanuk itu ambruk sehingga dia, istri dan anaknya terseret arus banjir. 

Beruntung ketiganya berhasil selamat karena tersangkut benda lain, namun nasib buruk menimpa warga lain yang tinggal di bantaran sungai itu. Masih ada 23 orang yang hilang terbawa arus.

Peringatan

Sebenarnya peringatan alam untuk penduduk Garut sudah muncul saat bencana longsor bukit Mandalawangi pada 29 Januari 2003. Bencana tersebut menewaskan tidak kurang dari 20 orang dan puluhan rumah rusak berat. Evaluasi bencana tahun 2003 menyimpulkan banyaknya hutan dan bukit yang gundul menjadi menyebab longsor disertai banjir lumpur.

Rusaknya ekosistem hutan dan daerah aliran sungai juga menjadi penyebab bencana banjir bandang kali ini.

Air hujan yang jatuh di daerah tangkapan air tidak mampu ditahan dengan baik oleh akar pepohonan sehingga meluncur dengan deras ke sungai dan mengakibatkan gelombang air yang begitu besar melebihi daya tampung sungai. Akibat derasnya aliran air, tanggul sepanjang 250 meter di Desa Paminggir, Kabupaten Garut jebol, itulah yang membuat air melimpas lebih banyak ke arah jalan dan pemukiman warga dengan membawa lumpur hasil pengikisan air di permukaan tanah yang dilaluinya.

Air berlumpur itulah yang membuat daya rusak lebih besar dan mampu merobohkan bangunan permanen termasuk jembatan dan rumah tinggal. Bahkan lumpur itu menyulitkan upaya evakuasi warga.

Mitigasi bencana rupanya belum melekat pada penduduk yang bermukim di bantaran Sungai Cimanuk, sehingga lupa untuk mengevakuasi diri sebelum banjir bandang datang.

Ekosistem Buruk

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, banjir bandang yang melanda Kabupaten Garut, Jawa Barat itu merupakan imbas dari buruknya kondisi ekosistem di aliran hulu Sungai Cimanuk, yang melintasi lima kabupaten di Jawa Barat. 

Saat kejadian hujan lebat merata menimpa di lima kabupaten, yakni Garut, Sumedang, Kuningan, Cianjur, dan Tasikmalaya. Dampak terparah melanda Garut karena memunculkan banjir bandang.

Sutopo menegaskan kejadian bencana bandang tidak pernah terjadi di daerah Tarogong, namun akibat debit hujan yang di atas normal muncul watak asli dari Sungai Cimanuk yang mempunyai angka Koefisien Regim Sungai (KRS) atau angka kritis tertinggi dibanding sungai lain di Pulau Jawa. Makin tinggi angka KRS itu maka makin berpotensi menyebabkan banjir dan longsor.

Koefisien Regim Sungai/KRS adalah bilangan yang menunjukkan perbandingan antara nilai debit maksimum (Qmaks) dengan nilai debit minimum (Qmin) pada suatu DAS/sub DAS. Dan Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Cimanuk telah masuk kritis dan tidak sehat sejak 1980 an. 

Ambang batas kritis berada di angka KRS 80, namun saat ini DAS Cimanuk mempunyai angka 713 atau ada perbedaan debit yang tajam sampai 713 kali antara debit terendah dan debit tertinggi. Angka tinggi KSR tinggi menunjukkan hujan yang turun tidak mampu ditahan vegetasi di gunung dan bukit akibatnya meluncur ke sungai-sungai yang menyebabkan debit air melimpah dalam waktu singkat.

Daerah lain perlu meningkatkan kewaspadaan karena sungai mereka mempunyai angka KRS melebihi 80 yaitu Sungai Citarum, Bandung (92), Sungai Citanduy, Tasikmalaya (111), Sungai Cisadane, Tangerang (143), Sungai Serayu, Wonosobo (165), Sungai Ciujung, Banten (189,5), Sungai Brantas, Malang (205) dan Sungai Bengawan Solo, Solo (541). 


Kembalikan Ekosistem

Pengembalian ekosistem DAS menjadi sebuah keniscayaan dan harus melibatkan semua pemangku kepentingan karena menyangkut tata ruang sungai, kehutanan, pertanian, pemukiman dan wilayah sosial lainnya.

DAS atau "catchment area" adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 

Perlu kearifan masyarakat dalam mengelolanya, artinya tidak serakah untuk memanfaatkan semua lahan yang ada untuk kepentingan ekonomi, namun ada bagian lahan yang disisakan untuk menanam pohon besar guna menyimpan air atau memberi jalan air untuk masuk ke dalam tanah melalui sumur resapan dan biopori.

Selama kawasan resapan aliran air berkurang, kawasan hutan semakin tergerus perluasan areal pertanian, akhirnya bencana banjir serta longsor hanya menunggu waktu saja.

Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air adalah dengan mengubah vegetasi tanaman pangan menjadi tanaman hutan di sekitar DAS khususnya di bukit-bukit yang kritis. 

Tanaman hutan seperti sengon atau albasia, mahoni, jabon, jati, dan , akasia, memang mempunyai waktu tanam yang lebih panjang tetapi secara ekonomis layak untuk untuk dibudidayakan. Apalagi saat ini banyak skema kredit yang ditawarkan melalui perhutanan sosial.

Pemda harus berani membuat perda yang mengatur vegetasi mana yang wajib dibudidayakan sebagai bagian menjaga wilayah DAS. Kemudian disertai bimbingan agar petani mau beralih menanam tanaman hutan.

Pada Rapat Terbatas tentang perhutanan sosial, Rabu (21/9), Presiden Joko Widodo mengingatkan tentang realisasi perhutanan sosial melalui berbagai skema yang ada belumlah optimal. 

Ia menunjuk skema hutan tanaman rakyat misalnya, dari yang semula ditargetkan seluas 5,4 juta hektare, pada tahun 2014 lalu ternyata baru terealisasi sekira 702 ribu hektare atau sekitar 13% dari target semula. 

Izin Hutan Tanaman Rakyat yang diterbitkan oleh sejumlah bupati pun hanya mencapai 188 ribu hektare. Demikian juga skema hutan desa dan hutan kemasyarakatan pun disebutnya tak jauh berbeda. Dari yang semula ditargetkan seluas 2,5 juta hektare, baru terealisasi sebesar 610 ribu hektare.

Walaupun arahnya Presiden lebih kepada pemberdayaan masyarakat, tetapi secara ekologis dengan semakin banyak kawasan hutan rakyat akan membantu pemulihan lahan kritis terutama wilayah DAS di Pulau Jawa.

Penggelorakan kembali budi daya tanaman hutan di setiap daerah mungkin menjadi solusi bagaimana melestarikan kembali wilayah DAS di Pulau Jawa untuk mencegah bencana banjir yang kerugian ekonomi dan sosialnya cukup besar.  (*)

Pewarta: Budi Santoso

Editor : Isyati Putri


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016