Antarajabar.com - Bumi Parahyangan tidak hanya terkenal karena kekayaan dan keindahan alamnya, namun juga tersohor akan kecerdikan masyarakatnya dalam mengoptimalkan kreativitas ke dalam pakaian dan seni.

Wisatawan-wisatawan domestik dan mancanegara banyak yang tertarik mengunjungi "factory outlet" yang berada di jalan Cihampelas dan RE Martadinata atau sejumlah distribution outlet (distro) yang tersebar di Jalan Sulanjana, Bandung.

Selalu ada saja wisatawan yang mengunjungi dua lokasi wisata belanja itu pada akhir pekan yang memang menawarkan pakaian-pakaian bermerk kelas atas dan aksesoris yang "necis".

Dua kawasan tersebut dapat dibilang menjadi ikon Kota Bandung bagi para wisatawan yang gemar berburu pakaian dan aksesoris untuk menghias tubuh.

Kendati merk-merk dengan "brand" internasional banyak diperjualbelikan di Bandung, namun ada juga merk dengan semangat kebangsaan yang mencoba menggeliat di tengah kepadatan persaingan di Kota Kembang, atau mungkin Indonesia.

Beruntungnya Kota Bandung yang memiliki kawasan penjualan tekstil bahan baku untuk pakaian di kawasan Cigondewah memudahkan masyarakat mendapat tambahan "suku cadang" industri "apparel".


Terdapat beberapa merk produk pakaian "lahiran" Bandung yang tersohor maupun sedang mencoba membangun nama di pasaran, salah satunya Mahameru.

Dibentuk pada 2012, Mahameru memilih sektor pakaian untuk kegiatan luar ruangan (outdoor) atau olahraga ekstrim.

Dalam perhelatan PON XIX di Jawa Barat, Mahameru berpartisipasi dengan memberikan dukungan kostum kepada salah satu cabang olahraga yaitu panjat tebing.

"Hal itu menjadi kontribusi terhadap kegiatan yang positif, terhadap olahraga di Indonesia," ujar Direktur Pengelola Mahameru Survival Soul Rahmat Trihartadhi kepada Antara di Bandung pada Selasa (21/9).

Perhelatan PON XIX yang mengundang ribuan kontingen dari seluruh daerah di Indonesia juga mendatangkan tambahan penjualan bagi industri kreatif di Bandung.

Menurut Rahmat, terdapat peningkatan pembelian di sejumlah gerai Mahameru dalam beberapa hari perhelatan PON XIX yang telah dibuka oleh Presiden Joko Widodo pada Sabtu lalu (17/9).

Kendati demikian, di tengah persaingan usaha yang ketat dari pakaian impor, Mahameru tetap percaya diri menggunakan bahan baku dari produk lokal dengan memberdayakan masyarakat atau makloon.

Rahmat mengaku perusahaannya tetap menggunakan pengrajin di dalam negeri untuk melakukan penjahitan produk-produknya.

"Kalau kita tidak menyertakan sisi spiritual ke bisnis, maka kita kalah," kata Rahmat menjelaskan tentang semangat kebangsaan produk lokal dibanding pakaian impor.

Rahmat mengatakan produk lokal tidak kalah kualitasnya dibandingkan produk impor. Hanya saja, pemikiran konsumen di Indonesia cenderung lebih tertarik kepada merk terkenal dibanding merk lokal yang berkualitas hampir serupa.

Berbicara tentang produk lokal, Bandung juga memiliki sejumlah distro yang menjual konten-konten lokal khas tatar parahyangan.

Salah satu distro yang sedang bergelut dengan pakaian berkonten universal yaitu Moveon. Kendati memiliki nama "kebarat-baratan", namun distro tersebut memiliki semangat tetap memasarkan produk yang memamerkan nilai budaya Sunda.

Mulai dari desain sablonan motif kujang, dawala, semar, hingga aksara Sunda diperkenalkan oleh Moveon dalam produk kaos oblongnya yang dipasarkan dengan harga sekitar Rp100.000.

"Targetnya memang konsep ini lebih ke edukasi kepada masyarakat tentang nilai budaya Sunda. Bukan kaos banyolan, tapi nilai edukasi tradisi Sunda," ujar salah satu pendiri Moveon berjuluk Evotz (30).

Pada awalnya, Evotz mendirikan usaha kecil menengah di bidang kaos bernama "Sundanese clothes" yang memasarkan kaos oblong ke sejumlah sahabatnya di kumpulan masyarakat yang menjaga tradisi Sunda bernama Komunitas Iket Bandung Raya (Ki Baraya).

Semakin lama usahanya berkembang dan diminati kalangan tidak hanya masyarakat Sunda, tetapi juga turis-turis asing yang berkunjung ke Bandung.

"Potensi bisnis di `clothing` tradisi Sunda masih terbuka. Tradisi Sunda banyak yang minat, namun kalau corak yang universal sudah banyak yang lebih besar," ujar Evotz terkait peluang bisnisnya.



Butuh keleluasaan

Naik turun investasi di sektor UMKM atau industri kreatif di Bandung menjadi tantangan yang dirasa perlu diperhatikan.

Pemerintah yang terus menggiatkan ekonomi kerakyatan perlu lebih memperkuat pundi-pundi modal yang mudah didapat dan tidak mempersulit neraca keuangan usaha kecil.

Seperti yang diakui oleh Erik Aris, pengelola industri kecil sepatu di Cibaduyut, Bandung, bahwa perbankan perlu memberikan kredit usaha rakyat dengan waktu cicilan bunga yang lebih memberikan keleluasaan.

Untuk usaha sepatu rumahan, Erik mengatakan, pembayaran baru dilunasi jika stok di pasar atau pedagang sudah habis.

Modal upah bagi buruh pembuat sepatu yang dibayarkan setiap pekan juga menuntut industri sepatu untuk menambah dana segar jika pembayaran dari distributor belum dilakukan.

"Pertama kami butuh yang bunganya tidak terlalu tinggi dan diberi jeda untuk waktu angsuran pembayaran bunga, empat bulan lah," kata Erik yang memiliki usaha sepatu etnik bernama Nakerschu.

Usaha sepatu di Cibaduyut kian mendapat tantangan dengan masuknya produk alas kaki impor asal Tiongkok yang ditawarkan dengan sangat terjangkau.

Kendati demikian, Erik mengaku industri sepatu di Cibaduyut tidak gentar menghadapi serangan asing yang merambah pasar di Indonesia.

"Kami tidak takut karena kami `custom`. Kita bisa kerjakan apa saja yang eksklusif. Tapi kalau Cina kan `mass product`, makanya bisa murah tapi dengan kualitas ya yang begitu," ujar Erik sambil tersenyum getir.

Usaha sepatu Erik telah "menyabet" juara pertama dalam ajang pameran sepatu International Footwear Design Competition 2014 di Ghuangzou, Tiongkok dengan mengandalkan produk sepatu elang berwarna pink berbahan tikar pandan.


Sementara sepatu berbahan kulit ikan nila berhasil meraih gelar juara kedua dalam kompetisi yang sama pada 2015.

Cerita lainnya mengenai industri kreatif dari Parahyangan adalah pengembangan alat musik Sunda Buhun atau Sunda lama.

Keunikan alat musik Sunda Buhun adalah bahan bakunya yang banyak menggunakan bambu.

"Saya dari 2007 dan awal yang pertama dibuat yaitu `kokol buncis` atau kentongan. Lalu yang kedua karinding dan celempung," ujar seniman alat musik Sunda Buhun Wawan Yoga pada Selasa.

Bunyi "towelan" dari karinding yang diperagakan oleh Wawan terdengar seperti suara per yang bergetar menghasilkan resonansi suara.

Saat ini, ketertarikan masyarakat terhadap alat musik Sunda Buhun semakin meningkat dibanding lima tahun lalu.

Banyaknya jenis alat musik modern yang masuk ke Indonesia menjadi penyebab tersingkirnya karinding dan celempung dari minat generasi muda.

Kendati demikian, Wawan mengatakan kolaborasi yang dilakukan bagi alat musik modern dan Sunda Buhun menghasilkan karya seni yang semakin menarik.

Memang karinding tidak seterkenal "saudara sebambunya", angklung, yang telah mendunia. Namun generasi muda di tanah Sunda mulai kembali menggemari permainan alat musik ini, bahkan ada yang menamainya sebagai "karinding attack".

"Karinding pada perayaan ulang tahun Purwakarta menjadi kebanggaan kita karena dapat ditunjukkan ke sepuluh negara sebagai cenderamata saat acara `dinner` bersama pak Bupati Purwakarta," kata Wawan menjelaskan promosi karindingnya.

Kesulitan dalam membuat alat musik Sunda Buhun yaitu bahan baku yang semakin sulit didapat.

Bambu untuk karinding atau alat musik lainnya perlu dipilih untuk menjaga kualitas suara yang dihasilkan.

Karinding yang terbaik suaranya biasanya dibuat dari batang bambu bekas penyangga genteng atap rumah yang sudah puluhan tahun dan tidak keropos.

Selain itu, bambu yang pernah dijadikan batang pancingan atau "joran" juga merupakan bahan baku karinding yang terbaik.

"Kalau bambu biasa dijemur yang bambunya sudah tua. Semakin kering semakin bagus," tambah Wawan yang turut mendirikan Komunitas tradisi dan seni Ki Purwa di Kota Purwakarta.

Pemberdayaaan ekonomi masyarakat dan upaya menjaga kelestarian tradisi menjadi beberapa hal yang perlu terus didukung baik oleh pemerintah maupun swasta melalui program CSR-nya.

Pemeliharaan kearifan lokal dapat menjadi penggerak roda ekonomi masyarakat terutama masyarakat di daerah pinggiran kota yang dengan rela menjaga tradisi dan seni budaya asli Indonesia agar tidak punah menjadi sekedar cerita dalam buku sejarah atau gambar dalam ilustrasi gawai.  (*)

Pewarta: Bayu Prasetyo

Editor : Isyati Putri


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2016