Siang itu, kaki saya cukup ringan melangkah menerjang panasnya Jakarta, menuju lantai 4 Gedung Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat.
Saya langsung menuju Ruang Pameran tempat digelarnya acara Peringatan 100 Tahun A.A. Navis yang digagas oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atau Badan Bahasa, Kemendikbud.
Sebuah foto hitam putih besar menyambut kedatangan setiap pengunjung memasuki ruang pameran. Foto yang terletak di pojok kiri ruangan itu membuat saya bergidik, jantung mendadak berdegup lebih kencang, bahkan air mata tiba-tiba merebak, menggenang di pelupuk mata.
Foto itu begitu kuat berbicara kepada saya. Ekspresi tokoh dalam foto sebesar poster tanpa bingkai itu, seolah menyambut dengan beragam rasa. Saya tak bisa menggambarkannya, selain hanya menatap dan membayangkan masa kecil yang saya habiskan bersama sosok di dalam foto itu.
Ya, itu foto ayah saya Ali Akbar Navis atau A.A. Navis yang biasa saya panggil Papi.
Cukup lama saya berdiam di depan foto itu, melupakan suara-suara yang bersumber dari forum dialog yang digelar serangkaian dengan pameran. Bahkan melupakan orang-orang di sebelah saya yang juga sedang menikmati suasana pameran.
Tak ingin air mata ini tumpah, saya pun bergerak ke kanan. Meninggalkan foto hitam putih besar itu dan membaca tulisan-tulisan serta angka-angka yang tertera dalam dinding sepanjang lebih kurang 3 meter.
Dinding itu memuat tahun-tahun bersejarah dalam hidup seorang A.A. Navis. Mulai dari 17 November 1924 atau tanggal kelahiran yang dilengkapi dengan foto rumah nenek kami di Padang Panjang, tempat Papi menghabiskan masa kecilnya.
Lalu tahun-tahun Papi sekolah di INS Kayu Tanam, tahun Papi bekerja di pabrik porselen, terlibat perang kemerdekaan, lalu mulai jadi seniman di Bukittinggi, dan seterusnya.
Pandangan saya agak lama tertuju pada angka 1955 yang dilengkapi dengan sebuah foto sampul majalah dan keterangan yang bertuliskan “Cerpen Robohnya Surau Kami memenangkan hadiah II sayembara majalah Kisah Edisi No. 5, Mei 1955 Th.III”.
Dari sinilah A.A. Navis mulai mendapatkan titel sebagai pengarang dan dari karyanya ini nama beliau tertera dalam banyak ulasan, bahkan tercantum dalam buku pelajaran Bahasa Indoensia yang saya pelajari ketika SMP dulu.
Di dalam pameran itu, tahun-tahun berikutnya dalam perjalanan dan kegiatan A.A. Navis pun tersusun dengan sangat runut. Papi menikah tahun 1957 dengan Aksari Yasin, lalu kami lahir satu per satu dalam kurun waktu 10 tahun.
Tahun 1968, sebuah novel berjudul “Saraswati, Si Gadis Dalam Sunyi” memenangkan Novel Remaja Terbaik dalam Sayembara Menulis Novel yang diselenggarakan oleh UNESCO dan IKAPI.
Inilah momen nama Papi untuk pertama kali bersinggungan dengan UNESCO atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, yaitu badan dunia di bawah PBB yang mengurus masalah Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan.
Angka-angka yang merujuk pada tahun tertera dengan jelas, baik saat ayah saya menekuni kesenian, terjun ke politik dan menjadi anggota DPRD Sumatera Barat (1971-1982), berkarir di media, menekuni dunia pendidikan dan kebudayaan, mendapatkan beberapa penghargaan dari karya tulisnya, hingga akhirnya wafat di Padang, 22 Maret 2003.
Saya tertunduk lemas di sini. Ada kliping sebuah surat kabar yang memuat foto Papi berbingkai bunga berkelopak putih.
Air mata kembali tergenang di kelopak mata saya. Namun dua tulisan di bawah foto itu segera mengobati rasa duka yang melintas.
Tulisan itu memuat tahun 2003, ketika almarhum mendapat tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI. Dan tahun 2023, ketika UNESCO menetapkan tanggal lahir A.A. Navis sebagai hari perayaan internasional, yang dilanjutkan dengan Perayaan 100 tahun A.A. Navis di Markas Besar UNESCO di Paris, Prancis pada 13 dan 14 November 2024.
Saya mulai senyum tipis dan melanjutkan langkah menyusuri dinding dan bidang-bidang lain di ruang pameran Perpusnas ini. Hati saya sungguh bangga dan terasa sangat lapang memandang sajian yang bertema Sumbangsih Karya dan Pemikiran A.A. Navis.
Di dinding ini termuat tulisan-tulisan Papi dalam bentuk buku dan artikel, yang pernah disajikan dalam berbagai kegiatan pendidikan dan kebudayaan, maupun tulisan-tulisan yang pernah termuat dalam berbagai macam surat kabar.
Maafkan saya, si anak nomor enam ini, yang hanya bisa berbesar hati dan bangga dengan karya-karya ayahnya. Tak hanya memenuhi dinding, karya-karya A.A. Navis juga disajikan dalam beberapa buku di tengah arena pameran.
Maafkan juga bila saya mulai banyak tersenyum melihat beberapa foto Papi hadir dalam ruang pameran itu. Bahkan senyuman ini menjadi agak lebih lebar, karena satu dua foto ada wajah saya terpampang di sana. Namun saya senyum tidak lama. Selain saya malu karena belum berkarya apa-apa, tiba-tiba saja ada yang mencolek lengan saya.
Rupanya, dalam forum dialog yang menghadirkan dua pembicara wanita muda, yang digelar di salah satu area pameran, hadir kakak saya yang nomor dua, Lusi Bebasari sebagai penonton.
Uni Lusi menginformasikan kehadiran saya kepada Suharyanto, seorang Pustakawan Perpusnas yang menjadi petinggi dalam hajatan tersebut.
Saya dicolek oleh panitia dari Perpusnas dan dipersilakan duduk di kursi baris kedua, persis di belakang Bapak Suharyanto. Saya pun ikut menyimak dialog yang membahas proses kreatif dan dampak karya-karya A.A Navis terhadap kehidupan masyarakat saat ini.
Saat sesi tanya jawab tiba, tiba-tiba saya disodori mikrofon dan disuruh bicara tentang A.A. Navis di mata anaknya. Awalnya saya menolak dan berkata,”Uni Lusi saja, beliau anak nomor dua.” Tapi si Uni malah bilang,”Uni udah tadi di pembukaan. Rinto tadi belum datang.”
Teringat ajaran Papi, jika mikrofon sudah di tangan, pantang surut dan mundur lagi. Hadapi! Lalu, sesuai permintaan, saya bicara tentang kebiasaan-kebiasaan Papi di rumah kepada anak-anaknya. Di kepala saya berputar sebuah serial panjang yang sangat menarik untuk dikisahkan balik.
Tapi saya harus sadar diri, waktu tidak panjang sehingga saya hanya mengisahkan bahwa Papi adalah ayah yang suka bercanda. Jika di tulisan-tulisannya sarat kritik dan cemooh, maka dalam keseharian Papi pandai melucu.
Salah satunya, yang saya ceritakan di hadapan puluhan peserta forum dialog di Perpusnas, adalah ketika kami di rumah saling ukur tinggi badan. Ternyata yang paling pendek di rumah adalah ayah kami. Bahkan dibanding anak-anak perempuannya, beliau lebih rendah badannya.
Tapi Papi tidak pernah minder atau rendah diri dengan fisiknya. Sambil berseloroh beliau bilang,”Coba kalau diukur dari langit, pasti Papi paling tinggi.”
Dan sekarang Papi ada di langit, di tempat yang maha tinggi, agung, dan mulia. Semoga Papi senang di sana, bertemu Mami, dan menyaksikan segala tingkah polah kami, anak, menantu, cucu, dan cicit, yang tidak akan pernah berhenti bangga dan merindu.
*) Rinto A.Navis, anak almarhum A.A. Navis
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dinding pameran 100 Tahun A.A. Navis menghadirkan senyum dan airmata
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024