Antarajabar.com - Riset tentang rehabilitasi, konservasi, dan advokasi orangutan Indonesia diminati oleh mahasiswa asal Australia yang bersekolah di Indonesia selama setahun lewat program ACICIS (The Australian Consortium for 'In-Country' Indonesian Studies).

Dalam sebuah diskusi yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) Divisi Akademik dan Kajian di kampus Universitas Australia Barat (UWA) di Perth, Kamis, David Scholefield memaparkan pengalamannya berkuliah di dua universitas bergengsi di Indonesia sembari meneliti tentang orangutan.

"Tahun lalu saya belajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung. Untuk skripsi, saya melakukan riset tentang rehabilitasi, advokasi, dan konservasi orangutan di Borneo," kata David yang fasih berbicara berbahasa Indonesia itu.

Menurut dia, bila Australia dikenal sebagai negeri Kangguru, Indonesia sangat patut mendapat julukan sebagai negeri Orangutan.

David yang berlatar belakang Skotlandia mengaku tidak mengetahui apa-apa tentang Indonesia sebelum dirinya pindah ke Australia.

"Dan saya sangat tertarik dengan topik orangutan karena orangutan memiliki kemiripan hingga 97 persen dengan DNA manusia. Peran mereka di hutan juga sangat penting, tapi sayangnya jumlah mereka semakin sedikit dan memprihatinkan," ujar dia.

Dalam risetnya, David mendapati pengrusakan habitat orangutan telah secara drastis mengurangi populasi binatang itu di Indonesia.

Pembukaan lahan untuk berbagai kepentingan seperti ladang kelapa sawit, kedelai, pertambangan, dan eksplorasi minyak, telah membuat habitat orangutan terkikis luasnya.

Sebagai orang asing yang meneliti orangutan, David mengaku tidak mendapat halangan yang berarti saat melakukan riset. Semua pihak yang dia wawancarai menerima dengan tangan terbuka dan ketika kembali ke Australia, David memiliki perspektif yang lebih luas tentang Indonesia dan persoalan orangutan.

Dengan pengalaman meneliti orangutan di Indonesia, David tidak hanya menjadi lebih paham dengan isu lingkungan di Indonesia, ia juga menjadi terlibat dalam upaya menguatkan diplomasi "people-to-people" Australia dan Indonesia.

"Saya jadi memahami besarnya tantangan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia bila dibandingkan dengan Australia. Dengan penduduk 11 kali lebih banyak dari Australia, tentu tantangannya tidak bisa disamakan," ujarnya.

Sementara itu terkait dengan kurangnya perhatian publik Indonesia terhadap isu orangutan, ujar David, sangat dipengaruhi oleh kesalah pahaman persepsi tentang peran orangutan di lingkungan hidup dan juga minimnya materi pendidikan membahas isu orangutan.

Salah seorang peserta diskusi, Ezmieralda Melissa, membandingkan nasib orangutan di Indonesia dengan masifnya pemasaran "eco-tourism" pemerintah Malaysia yang mengedepankan konservasi orangutan di Sabah.

"Ya, saya sangat setuju bila Indonesia menerapkan pola advokasi sekaligus konservasi orangutan dengan cara itu. Dan saya rasa Australia adalah salah satu pasar yang sangat potensial untuk membuat orang semakin paham isu orangutan," kata David menimpali.

Sementara itu, Dwiko Permadi, dosen Fakultas Kehutanan UGM yang tengah menempuh studi doktoral di UWA menyebutkan bahwa kesadaraan masyarakat tentang isu orangutan mulai bergeliat dengan indikasi pemanfaatan media sosial.

Menurut Dwiko, beberapa kali orang mengunggah foto "selfie" dengan orangutan yang mereka bunuh, dan tindakan itu mendulang protes keras sekaligus advokasi di komunitas siber sehingga dalam hitungan beberapa hari atau pekan si pelaku ditanggap oleh polisi.

Ketika kembali ke Australia, David mencoba menjembatani pemahaman rekan-rekannya yang di Australia tentang kompleksitas persoalan orangutan di Indonesia.

"Mereka kebanyakan berpikir solusi buat masalah orangutan di Indonesia adalah dengan memberikan banyak uang, maka masalah pun bisa selesai. Tapi pada kenyataannya persoalannya tidak sesederhana itu," ujar mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Murdoch tersebut.

Dalam ajang diskusi itu muncul pula ide untuk meningkatkan pemahaman pentingnya menjaga habitat orangutan Indonesia lewat produk-produk budaya populer seperti buku dan film layar lebar.

Ezmieralda Melissa, yang juga sedang meniti pendidikan S3 di UWA, melihat budaya populer seperti buku dan film "Laskar Pelangi" berhasil memantik minat masyarakat luas sehingga banyak orang Indonesia ingin pergi ke Bangka Belitung setelah menonton filmnya.

Strategi serupa mungkin bisa membuat orang lebih peduli terhadap orangutan, sebab diakui atau tidak, nasib orangutan di mata mayoritas orang Indonesia belum mendapat perhatian yang memadai.

Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2015