Kawasan wisata Puncak Bogor kerap menjadi magnet bagi pelancong domestik dan mancanegara. Daya pikatnya ada pada hawa sejuk dengan nuansa pegunungan dan jaraknya pun hanya sekitar 70 km dari Jakarta.
Wilayah yang terletak di antara kaki dan lereng Pegunungan Gede-Pangrango serta Pegunungan Jonggol atau sering disebut Hutan Prabu Siliwangi ini selalu padat kendaraan pada akhir pekan, terlebih ketika libur panjang.
Berdasarkan catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan RI, jalur Puncak yang memiliki panjang sekitar 22,7 km dan lebar rata-rata 7 meter idealnya hanya diisi 8.800 kendaraan roda empat pada kedua lajur.
Namun, realitasnya pada masa libur akhir pekan, sekitar 15.000-19.000 kendaraan yang didominasi mobil pribadi, tumpah ruah di jalur ini.
Kepadatan lalu lintas bahkan tak jarang berubah menjadi kemacetan parah yang juga diakibatkan dari menjamurnya parkir liar, pedagang kaki lima (PKL), hingga bangunan ilegal.
Segudang permasalahan di wilayah selatan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini membuat Kementerian Pariwisata RI mencoret destinasi wisata Puncak dari daftar Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) pada tahun 2015.
Kebijakan tersebut menjadikan Pemerintah Kabupaten Bogor saat itu buru-buru mengambil tindakan. Pada medio 2016, Camat Cisarua Bayu Ramawanto--saat ini Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bogor-- mulai melakukan upaya penertiban.
Upaya yang didukung Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) itu berhasil membongkar
200 bangunan tanpa izin di Kampung Arab Cisarua, terdiri atas lapak agen travel, penukaran uang atau money changer, salon, dan toko perlengkapan khusus warga Timur Tengah.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bogor juga merelokasi PKL di sepanjang Jalur Puncak, mulai dari Gadog hingga Simpang Taman Safari Indonesia. Para pedagang dipindahkan ke kantong-kantong parkir, termasuk ke areal parkir Taman Wisata Matahari (TWM).
Upaya mengembalikan wisata Puncak sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ini berlanjut pada era kepemimpinan Bupati Ade Yasin pada tahun 2019.
Pemerintah Kabupaten Bogor saat itu bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) membentuk tim gabungan untuk menertibkan bangunan liar hingga memberantas aktivitas kawin kontrak yang dinilai memberikan citra buruk pada destinasi wisata Puncak.
Tak sampai di situ, Pemkab Bogor berkolaborasi dengan BPTJ Kementerian Perhubungan RI meramu rekayasa lalu lintas baru sebagai pengganti sistem satu arah atau one way di Jalur Puncak, yakni sistem kanalisasi 2-1.
Sistem Kanalisasi 2-1 merupakan bagian dari program "Save Puncak" yang disuarakan masyarakat setempat, yaitu membagi arus lalu lintas Jalur Puncak menjadi tiga lajur. Dua lajur ke arah yang sama, dan satu lajur ke arah sebaliknya sesuai dengan ketentuan waktu yang berlaku.
Namun, sistem rekayasa lalu lintas ini urung dilanjutkan karena dinilai tidak lebih efektif dibandingkan sistem satu arah yang sudah lebih dari 30 tahun diterapkan di Jalur Puncak.
Masih pada era Ade Yasin, Pemkab Bogor mengupayakan pembangunan Jalur Puncak II atau biasa disebut Jalur Poros Tengah Timur (PTT) untuk mengurangi beban kendaraan di Puncak Cisarua.
Rancangan jalur PTT ini memiliki panjang 49,7 kilometer, menghubungkan Sentul Kabupaten Bogor dengan Cipanas Kabupaten Cianjur, dan sepanjang 18,5 kilometer menghubungkan Tanjungsari Kabupaten Bogor dengan Green Canyon, Kabupaten Karawang.
Namun, cita-cita itu belum terwujud mengingat anggaran pembangunannya tak cukup hanya dari APBD Kabupaten Bogor ataupun APBD Provinsi Jawa Barat.
Rest area
Pada tahun 2018 Pemkab Bogor, kala itu, merencanakan penyiapan tempat relokasi untuk memindahkan PKL secara massal berupa rempat rehat atau rest area di jalur Puncak, menggunakan APBD Kabupaten Bogor senilai Rp10 miliar.
Namun, anggarannya batal terserap karena adanya revisi detail engineering design (DED) dari rencana bangunan yang bakal berdiri di lahan milik PT Perkebunan Nusantara VIII tersebut. DED direvisi lantaran luas lahannya ditambah, dari sebelumnya 5 hektare menjadi 7 hektare.
Penambahan luas ini menjadikan jumlah kapasitas kios meningkat, dari rancangan semula terdiri dari 400-an kios, bertambah menjadi 516 kios.
Pada tahun 2019, Bupati Ade Yasin kembali menganggarkan pembangunan rest area menggunakan APBD Kabupaten Bogor senilai Rp15 miliar, tapi kali ini dilakukan dengan menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) sehingga total anggarannya menjadi Rp116 miliar.
Pembangunan rest area dimulai tahun 2020 dengan kapasitas 516 kios terdiri atas 100 kios untuk pedagang makanan basah, seperti sayur dan buah, serta 416 kios untuk pedagang kering seperti oleh-oleh dan camilan. Masing-masing kios memiliki luas 11 meter persegi, baik basah maupun kering.
Pembangunan dilakukan menjadi dua tahap. Tahap kedua dilakukan pada tahun 2021 berupa pemagaran areal dan pembangunan monumen rest area. Setelah rampung, pada tahun 2023 sebagian pedagang sempat menempatinya, namun tak lama meninggalkan kiosnya dengan alasan sepi.
Penataan Puncak
Pada 10 Juni 2024, Pemerintah Kabupaten Bogor, dipimpin Penjabat Bupati Asmawa Tosepu, menggelar rapat koordinasi pemanfaatan Rest Area Gunung Mas. Asmawa ingin menjadikan relokasi PKL ini sebagai momentum penataan Kawasan Puncak secara komprehensif.
Asmawa memimpin langsung penertiban PKL di kawasan Puncak pada 24 Juni meski mendapat penolakan dari sebagian pedagang kaki lima.
Asmawa mendatangi sekelompok pedagang yang melakukan aksi demo tepat di depan rest area hingga menutup jalan raya.
Meski sempat berdialog dengan pedagang, Asmawa menginstruksikan petugas Satpol PP membubarkan aksi demo dan melanjutkan pembongkaran lapak-lapak PKL di sepanjang Jalur Puncak.
Pada penertiban lapak pedagang ini, Pemkab Bogor meratakan 331 bangunan di sepanjang Jalur Puncak, terdiri atas 181 bangunan dari Gantole hingga Rest Area Gunung Mas, dan 131 bangunan dari Simpang Taman Safari Indonesia hingga Rest Area Gunung Mas.
Tersisa sekitar 160 lapak pedagang yang lolos penertiban karena pemiliknya mengaku mengantongi izin. Akan tetapi, Pemkab Bogor menargetkan dapat membongkar ratusan bangunan tersebut pada penertiban tahap dua yang paling lambat dilakukan Agustus 2024 atau sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Saat ini, Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor sedang meninjau kembali legalitas sekitar 160 lapak itu, termasuk Warpat dan Liwet Asep Stroberi eks Rindu Alam.
Asmawa memastikan perekonomian pedagang kaki lima atau PKL di kawasan wisata Puncak akan menjadi lebih baik setelah pindah ke Rest Area Gunung Mas.
Pemkab Bogor telah menyediakan berbagai fasilitas untuk para pedagang, termasuk menggratiskan biaya retribusi selama 6 bulan ke depan hingga Desember 2024.
Pengelola Rest Area Gunung Mas PT Sayaga Wisata bahkan mengintegrasikan pintu keluar masuk Agro Wisata Gunung Mas dengan rest area, agar para pedagang ramai dikunjungi wisatawan.
Selain itu, Pemkab Bogor juga menggratiskan biaya parkir bagi kendaraan wisatawan yang keluar masuk Rest Area Gunung Mas karena sistem parkir berbayar dinilai menjadi penyebab sepi pengunjung.
Geberakan Asmawa Tosepu itu sampai ke Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono kepada Asmawa saat bertemu pada peresmian Jalan Tol Cimanggis-Cibitung, Selasa (9/7).
Dukungan tersebut meringankan beban Pemkab Bogor, sebab eksekusi penataan Kawasan Puncak tidak perlu menunggu tahun depan melalui proses penganggaran di daerah. Karena, anggarannya telah tersedia di KemenPUPR tahun ini.
Asmawa telah merumuskan berbagai program penataan kawasan Puncak secara komprehensif dengan mengumpulkan para pimpinan OPD.
Salah satu program penataan pasca-penertiban pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Puncak, yaitu mempercantik dengan pembangunan taman, pelebaran jalan, pembangunan pedestrian, pemasangan lampu hias, hingga pagar di sepanjang Jalur Puncak.
Penataan Kawasan Puncak ini juga mendapat apresiasi dari pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Ia ingin momentum penataan ini juga digunakan Pemkab Bogor dalam menata transportasi di jalur Puncak.
Pembangunan rute angkutan umum dari Terminal Baranangsiang Kota Bogor ke Rest Area Gunung Mas, perlu menggandeng BPTJ dan Pemerintah Kota Bogor untuk merealisasikan rute ini.
Karena, rute angkutan umum ini bakal mengurangi volume kendaraan pribadi yang masuk ke Jalur Puncak, terlebih pada saat akhir pekan.
Ketika angkutan umum tersedia, Pemkab Bogor bisa menyediakan angkutan pengumpan atau feeder ke kawasan perdesaan maupun ke berbagai destinasi wisata di kawasan wisata Puncak.
Namun, butuh komitmen dan tekad kuat para pemangku kepentingan, baik Pemerintah Kabupaten Bogor maupun Pemerintah Pusat untuk mewujudkan kawasan wisata Puncak yang berwawasan lingkungan dan nyaman bagi pengunjung.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengembalikan Puncak sebagai Kawasan Strategis Wisata Nasional
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024
Wilayah yang terletak di antara kaki dan lereng Pegunungan Gede-Pangrango serta Pegunungan Jonggol atau sering disebut Hutan Prabu Siliwangi ini selalu padat kendaraan pada akhir pekan, terlebih ketika libur panjang.
Berdasarkan catatan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan RI, jalur Puncak yang memiliki panjang sekitar 22,7 km dan lebar rata-rata 7 meter idealnya hanya diisi 8.800 kendaraan roda empat pada kedua lajur.
Namun, realitasnya pada masa libur akhir pekan, sekitar 15.000-19.000 kendaraan yang didominasi mobil pribadi, tumpah ruah di jalur ini.
Kepadatan lalu lintas bahkan tak jarang berubah menjadi kemacetan parah yang juga diakibatkan dari menjamurnya parkir liar, pedagang kaki lima (PKL), hingga bangunan ilegal.
Segudang permasalahan di wilayah selatan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini membuat Kementerian Pariwisata RI mencoret destinasi wisata Puncak dari daftar Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) pada tahun 2015.
Kebijakan tersebut menjadikan Pemerintah Kabupaten Bogor saat itu buru-buru mengambil tindakan. Pada medio 2016, Camat Cisarua Bayu Ramawanto--saat ini Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Bogor-- mulai melakukan upaya penertiban.
Upaya yang didukung Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) itu berhasil membongkar
200 bangunan tanpa izin di Kampung Arab Cisarua, terdiri atas lapak agen travel, penukaran uang atau money changer, salon, dan toko perlengkapan khusus warga Timur Tengah.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bogor juga merelokasi PKL di sepanjang Jalur Puncak, mulai dari Gadog hingga Simpang Taman Safari Indonesia. Para pedagang dipindahkan ke kantong-kantong parkir, termasuk ke areal parkir Taman Wisata Matahari (TWM).
Upaya mengembalikan wisata Puncak sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional ini berlanjut pada era kepemimpinan Bupati Ade Yasin pada tahun 2019.
Pemerintah Kabupaten Bogor saat itu bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) membentuk tim gabungan untuk menertibkan bangunan liar hingga memberantas aktivitas kawin kontrak yang dinilai memberikan citra buruk pada destinasi wisata Puncak.
Tak sampai di situ, Pemkab Bogor berkolaborasi dengan BPTJ Kementerian Perhubungan RI meramu rekayasa lalu lintas baru sebagai pengganti sistem satu arah atau one way di Jalur Puncak, yakni sistem kanalisasi 2-1.
Sistem Kanalisasi 2-1 merupakan bagian dari program "Save Puncak" yang disuarakan masyarakat setempat, yaitu membagi arus lalu lintas Jalur Puncak menjadi tiga lajur. Dua lajur ke arah yang sama, dan satu lajur ke arah sebaliknya sesuai dengan ketentuan waktu yang berlaku.
Namun, sistem rekayasa lalu lintas ini urung dilanjutkan karena dinilai tidak lebih efektif dibandingkan sistem satu arah yang sudah lebih dari 30 tahun diterapkan di Jalur Puncak.
Masih pada era Ade Yasin, Pemkab Bogor mengupayakan pembangunan Jalur Puncak II atau biasa disebut Jalur Poros Tengah Timur (PTT) untuk mengurangi beban kendaraan di Puncak Cisarua.
Rancangan jalur PTT ini memiliki panjang 49,7 kilometer, menghubungkan Sentul Kabupaten Bogor dengan Cipanas Kabupaten Cianjur, dan sepanjang 18,5 kilometer menghubungkan Tanjungsari Kabupaten Bogor dengan Green Canyon, Kabupaten Karawang.
Namun, cita-cita itu belum terwujud mengingat anggaran pembangunannya tak cukup hanya dari APBD Kabupaten Bogor ataupun APBD Provinsi Jawa Barat.
Rest area
Pada tahun 2018 Pemkab Bogor, kala itu, merencanakan penyiapan tempat relokasi untuk memindahkan PKL secara massal berupa rempat rehat atau rest area di jalur Puncak, menggunakan APBD Kabupaten Bogor senilai Rp10 miliar.
Namun, anggarannya batal terserap karena adanya revisi detail engineering design (DED) dari rencana bangunan yang bakal berdiri di lahan milik PT Perkebunan Nusantara VIII tersebut. DED direvisi lantaran luas lahannya ditambah, dari sebelumnya 5 hektare menjadi 7 hektare.
Penambahan luas ini menjadikan jumlah kapasitas kios meningkat, dari rancangan semula terdiri dari 400-an kios, bertambah menjadi 516 kios.
Pada tahun 2019, Bupati Ade Yasin kembali menganggarkan pembangunan rest area menggunakan APBD Kabupaten Bogor senilai Rp15 miliar, tapi kali ini dilakukan dengan menggandeng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) sehingga total anggarannya menjadi Rp116 miliar.
Pembangunan rest area dimulai tahun 2020 dengan kapasitas 516 kios terdiri atas 100 kios untuk pedagang makanan basah, seperti sayur dan buah, serta 416 kios untuk pedagang kering seperti oleh-oleh dan camilan. Masing-masing kios memiliki luas 11 meter persegi, baik basah maupun kering.
Pembangunan dilakukan menjadi dua tahap. Tahap kedua dilakukan pada tahun 2021 berupa pemagaran areal dan pembangunan monumen rest area. Setelah rampung, pada tahun 2023 sebagian pedagang sempat menempatinya, namun tak lama meninggalkan kiosnya dengan alasan sepi.
Penataan Puncak
Pada 10 Juni 2024, Pemerintah Kabupaten Bogor, dipimpin Penjabat Bupati Asmawa Tosepu, menggelar rapat koordinasi pemanfaatan Rest Area Gunung Mas. Asmawa ingin menjadikan relokasi PKL ini sebagai momentum penataan Kawasan Puncak secara komprehensif.
Asmawa memimpin langsung penertiban PKL di kawasan Puncak pada 24 Juni meski mendapat penolakan dari sebagian pedagang kaki lima.
Asmawa mendatangi sekelompok pedagang yang melakukan aksi demo tepat di depan rest area hingga menutup jalan raya.
Meski sempat berdialog dengan pedagang, Asmawa menginstruksikan petugas Satpol PP membubarkan aksi demo dan melanjutkan pembongkaran lapak-lapak PKL di sepanjang Jalur Puncak.
Pada penertiban lapak pedagang ini, Pemkab Bogor meratakan 331 bangunan di sepanjang Jalur Puncak, terdiri atas 181 bangunan dari Gantole hingga Rest Area Gunung Mas, dan 131 bangunan dari Simpang Taman Safari Indonesia hingga Rest Area Gunung Mas.
Tersisa sekitar 160 lapak pedagang yang lolos penertiban karena pemiliknya mengaku mengantongi izin. Akan tetapi, Pemkab Bogor menargetkan dapat membongkar ratusan bangunan tersebut pada penertiban tahap dua yang paling lambat dilakukan Agustus 2024 atau sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Saat ini, Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor sedang meninjau kembali legalitas sekitar 160 lapak itu, termasuk Warpat dan Liwet Asep Stroberi eks Rindu Alam.
Asmawa memastikan perekonomian pedagang kaki lima atau PKL di kawasan wisata Puncak akan menjadi lebih baik setelah pindah ke Rest Area Gunung Mas.
Pemkab Bogor telah menyediakan berbagai fasilitas untuk para pedagang, termasuk menggratiskan biaya retribusi selama 6 bulan ke depan hingga Desember 2024.
Pengelola Rest Area Gunung Mas PT Sayaga Wisata bahkan mengintegrasikan pintu keluar masuk Agro Wisata Gunung Mas dengan rest area, agar para pedagang ramai dikunjungi wisatawan.
Selain itu, Pemkab Bogor juga menggratiskan biaya parkir bagi kendaraan wisatawan yang keluar masuk Rest Area Gunung Mas karena sistem parkir berbayar dinilai menjadi penyebab sepi pengunjung.
Geberakan Asmawa Tosepu itu sampai ke Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono kepada Asmawa saat bertemu pada peresmian Jalan Tol Cimanggis-Cibitung, Selasa (9/7).
Dukungan tersebut meringankan beban Pemkab Bogor, sebab eksekusi penataan Kawasan Puncak tidak perlu menunggu tahun depan melalui proses penganggaran di daerah. Karena, anggarannya telah tersedia di KemenPUPR tahun ini.
Asmawa telah merumuskan berbagai program penataan kawasan Puncak secara komprehensif dengan mengumpulkan para pimpinan OPD.
Salah satu program penataan pasca-penertiban pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Puncak, yaitu mempercantik dengan pembangunan taman, pelebaran jalan, pembangunan pedestrian, pemasangan lampu hias, hingga pagar di sepanjang Jalur Puncak.
Penataan Kawasan Puncak ini juga mendapat apresiasi dari pengamat transportasi Djoko Setijowarno. Ia ingin momentum penataan ini juga digunakan Pemkab Bogor dalam menata transportasi di jalur Puncak.
Pembangunan rute angkutan umum dari Terminal Baranangsiang Kota Bogor ke Rest Area Gunung Mas, perlu menggandeng BPTJ dan Pemerintah Kota Bogor untuk merealisasikan rute ini.
Karena, rute angkutan umum ini bakal mengurangi volume kendaraan pribadi yang masuk ke Jalur Puncak, terlebih pada saat akhir pekan.
Ketika angkutan umum tersedia, Pemkab Bogor bisa menyediakan angkutan pengumpan atau feeder ke kawasan perdesaan maupun ke berbagai destinasi wisata di kawasan wisata Puncak.
Namun, butuh komitmen dan tekad kuat para pemangku kepentingan, baik Pemerintah Kabupaten Bogor maupun Pemerintah Pusat untuk mewujudkan kawasan wisata Puncak yang berwawasan lingkungan dan nyaman bagi pengunjung.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengembalikan Puncak sebagai Kawasan Strategis Wisata Nasional
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024