Lelaki berusia 57 tahun itu menikmati betul kegiatan menyiram tanaman singkong di kebun sebelah timur rumahnya di Desa Tajug, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo. Sesekali ia juga mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar pohon singkong.
Dengan hanya mengenakan celana pendek, kaus, dan caping (topi) lusuh, siapa sangka bahwa lelaki pekebun itu adalah seorang doktor, dosen, dan sastrawan yang namanya terkenal tidak hanya di Ponorogo dan Jawa Timur.
Doktor H Sutejo, penulis puluhan buku dan pegiat literasi itu kini lebih sering menikmati hidup di areal kebun berukuran 20 x 27 meter di samping rumahnya, setelah tidak lagi menjabat sebagai rektor di satu perguruan tinggi swasta di Kota Reog.
Sebagaimana menjadi perhatiannya selama ini untuk menggerakkan budaya literasi, di kebun pun ia juga terjun total. Bapak dari tiga anak ini yang menanam, menyiangi gulma, termasuk merawat tanaman, serta menyiram lahan ketika musim kemarau.
Beberapa anak asuhannya juga selalu diajak untuk mengerjakan sesuatu di kebun, dengan tujuan mendekatkan mereka kepada dunia pertanian. Mereka juga diajak untuk lebih dekat dengan alam yang membawa pikiran pada rasa damai.
Sebagai pelaku seni, ia menikmati suasana kebun dengan penuh penghayatan, termasuk berinteraksi dengan tanah dan tanaman. Ia masuk ke area itu dengan melepas sandal sehingga kakinya bersentuhan langsung dengan tanah, yang bagi budaya Jawa lebih dikenal sebagai Ibu Bumi.
Sebelum bibit ditanam, ia telah menyiapkan bahan-bahan penggembur tanah dari stok alami, seperti sampah daun, jerami yang dibakar, kemudian kotoran sapi. Ia menikmati betul persentuhan tangannya dengan sampah dan kotoran sapi. Ia tidak lagi terikat dengan gelar akademik tinggi dan status sebagai dosen, serta tenar di dunia sastra dan pendidikan.
"Apalah arti gelar dan jabatan itu? Semua hanya sampiran yang nanti akan tidak bermakna apa-apa jika diri kita pribadi tidak bermakna bagi orang banyak," kata lelaki yang akrab disapa Kang Tejo, yang juga memiliki kepedulian tinggi pada nasib pendidikan dari anak-anak tidak mampu itu.
Ia mempratikkan totalitas dalam berkebun dan memperlakukan tanaman dengan penuh cinta, tidak sekadar menggunakan pupuk organik, tapi penyikapan secara spiritual.
Kang Tejo terbiasa membaca Al Fatihah dan selawat, mulai dari saat menanam bibit hingga perawatan selanjutnya.
Dengan seperti itu, ia tidak hendak memistikkan nilai agama dan mengamankan perkebunan. Ia hanya ingin memperlakukan tanaman sebagai sesuatu yang hidup dan merindukan perhatian. Perhatian itu dari jiwa, tidak ada salahnya di momen tertentuq sambil memanfaatkan waktu untuk ingat kepada Tuhan.
"Jadi, mohon maaf, saya tidak sok agamis, tapi hanya ingin memberikan sesuatu pada alam atau bentuk terima kasih pada alam yang telah membawa pikiran dan hati pada rasa damai saat berinteraksi dengan tanaman itu," katanya, saat berbincang dengan ANTARA.
Karena COVID-19
Awalnya, Kang Tejo berkebun adalah dampak dari pandemi COVID-19, yang mengharuskan semua orang tinggal di dalam rumah. Kala itu, ia mencoba memanfaatkan areal tanah kosong di sebelah rumahnya untuk ditanami singkong.
Pada masa COVID-19 kita disarankan untuk sering berjemur. Kang Tejo mencoba berjemur, tapi lama-lama bosan. Akhirnya dicoba menanam singkong di kebun sambil berjemur.
Diperolehnya bibit singkong merupakan kebetulan dari temannya yang membawa bibit itu. Kang Tejo kaget ketika tahu bibit yang ditanamnya tumbuh dengan subur.
Selain itu, areal yang kini lebih dikenal sebagai kebun literasi itu sering dikunjungi orang untuk sekadar menikmati hijaunya daun atau berkonsultasi mengenai berbagai persoalan kehidupan dengan Kang Tejo.
Pada akhir masa pandemi COVID-19, berita tentang Kang Tejo pernah meramaikan media massa dan media sosial, karena membawa ujian skripsi mahasiswa dari kampus ke kebunnya.
Karena berada di kebun, maka sang dosen hanya mengenakan pakaian petani saat menguji mahasiswanya. Para mahasiswa sangat menikmati suasana dan tempat ujian yang tidak lazim itu, namun memberikan suasana nyaman dan rileks.
Setelah beberapa tahun melakoni kegiatan berkebun, kini Kang Tejo mulai menanam umbi-umbian jenis lain, selain singkong dan ketela rambat.
Kang Tejo mendapatkan bibit uwi manalagi dari temannya, dan setelah ditanam sekitar 9 bulan, kini panen dengan hasil uwi seberat 55-60 kilogram per batang.
Banyak orang yang lewat, kemudian mampir ke kebun dan bertanya apakah Kang Tejo menerapkan ilmu teknis pertanian sehingga hasilnya sangat bagus.
Kang Tejo mengaku hanya mengandalkan rasa bahwa tanah harus gembur dan subur. Maka dipilihlah sarana sampah sebagai kompos dan sekam bakar untuk menjaga kegemburan tanah, ditambah dengan perawatan yang melibatkan rasa dan cinta kasih.
Semua hasil dari perkebunan itu tidak dijual, tetapi dibagi-bagi kepada para tetangga dan koleganya. Beberapa orang datang untuk membeli uwi, namun ditolak dan diberi gratis.
Kebun literasi dan relaksasi
Sebelumnya, Kang Tejo sering menyelenggarakan kegiatan terkait budaya literasi yang diadakan di kampus tempatnya mengajar atau di "rumah buku", salah satu rumahnya yang dijadikan tempat puluhan ribu buku atau perpustakaan pribadi.
Kini, kegiatan itu banyak memanfaatkan areal kebun. Karena itu, areal tersebut lebih dikenal sebagai "kebun literasi". Di bagian utara kebun ada panggung untuk tampil para seniman atau sastrawan yang dihadirkan untuk berdiskusi atau sekadar pentas.
Para sastrawan yang pernah hadir di kebun literasi adalah Prof Dr Setya Yuwono Sudikan (guru besar Unesa), J. Sumardianta (penulis), Yuditeha (novelis dan cerpenis), Sapta Arif (cerpenis), Sinta Yusinda (novelis/FLP) Arafat Nur, Hans Gagas, Ruli Riantiarno (cerpenis novelis), Beri Hanna (novelis), Panji Kusuma (novelis), Felix K. Nesi, Deni Mishar (Pelangi Sastra, Malang), Aning Aminuddin (penyair), Widodo Basuki (penyair Bahasa Jawa), dan lainnya.
Mereka merasa nyaman berekspresi kesenian di areal kebun itu karena bisa menikmati suasana sejuk di bawah rimbun dedaunan.
Tren
Kabid Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Ponorogo Muhtamar Mahara, STP, MMA mengatakan bahwa pertanian organik kini menjadi tren di masyarakat sehingga apa yang dilakukan oleh Kang Tejo juga bisa ditularkan kepada masyarakat lainnya.
Dinas Pertanian juga giat menyosialisasikan pertanian ramah lingkungan itu. Pihaknya sudah memberikan perhatian, seperti memberi pelatihan kepada beberapa kelompok tani untuk membuat bokasi , yakni fermentasi bahan-bahan organik untuk dijadikan pupuk.
Selain itu, pemerintah daerah juga memanfaatkan kotoran sapi perah untuk diolah menjadi pupuk organik. Umumnya, kelompok tani hanya menggunakan produk pupuk organik itu untuk dipakai sendiri di kelompoknya dan belum mengarah ke industri yang bisa dijual ke luar kelompok.
Baik secara teknis pertanian maupun dampak psikologis dari berkebun sangat bagus. Secara teknis, kegiatan berkebun itu dapat membantu penyediaan pangan alternatif atau ketahanan pangan dan bagi pelaku dapat menjaga kesehatan mental serta fisik.
Berkebunlah, pasti sehat. Begitu pesan Kang Tejo untuk masyarakat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Berkebun dengan cinta, Fatihah, dan selawat
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024
Dengan hanya mengenakan celana pendek, kaus, dan caping (topi) lusuh, siapa sangka bahwa lelaki pekebun itu adalah seorang doktor, dosen, dan sastrawan yang namanya terkenal tidak hanya di Ponorogo dan Jawa Timur.
Doktor H Sutejo, penulis puluhan buku dan pegiat literasi itu kini lebih sering menikmati hidup di areal kebun berukuran 20 x 27 meter di samping rumahnya, setelah tidak lagi menjabat sebagai rektor di satu perguruan tinggi swasta di Kota Reog.
Sebagaimana menjadi perhatiannya selama ini untuk menggerakkan budaya literasi, di kebun pun ia juga terjun total. Bapak dari tiga anak ini yang menanam, menyiangi gulma, termasuk merawat tanaman, serta menyiram lahan ketika musim kemarau.
Beberapa anak asuhannya juga selalu diajak untuk mengerjakan sesuatu di kebun, dengan tujuan mendekatkan mereka kepada dunia pertanian. Mereka juga diajak untuk lebih dekat dengan alam yang membawa pikiran pada rasa damai.
Sebagai pelaku seni, ia menikmati suasana kebun dengan penuh penghayatan, termasuk berinteraksi dengan tanah dan tanaman. Ia masuk ke area itu dengan melepas sandal sehingga kakinya bersentuhan langsung dengan tanah, yang bagi budaya Jawa lebih dikenal sebagai Ibu Bumi.
Sebelum bibit ditanam, ia telah menyiapkan bahan-bahan penggembur tanah dari stok alami, seperti sampah daun, jerami yang dibakar, kemudian kotoran sapi. Ia menikmati betul persentuhan tangannya dengan sampah dan kotoran sapi. Ia tidak lagi terikat dengan gelar akademik tinggi dan status sebagai dosen, serta tenar di dunia sastra dan pendidikan.
"Apalah arti gelar dan jabatan itu? Semua hanya sampiran yang nanti akan tidak bermakna apa-apa jika diri kita pribadi tidak bermakna bagi orang banyak," kata lelaki yang akrab disapa Kang Tejo, yang juga memiliki kepedulian tinggi pada nasib pendidikan dari anak-anak tidak mampu itu.
Ia mempratikkan totalitas dalam berkebun dan memperlakukan tanaman dengan penuh cinta, tidak sekadar menggunakan pupuk organik, tapi penyikapan secara spiritual.
Kang Tejo terbiasa membaca Al Fatihah dan selawat, mulai dari saat menanam bibit hingga perawatan selanjutnya.
Dengan seperti itu, ia tidak hendak memistikkan nilai agama dan mengamankan perkebunan. Ia hanya ingin memperlakukan tanaman sebagai sesuatu yang hidup dan merindukan perhatian. Perhatian itu dari jiwa, tidak ada salahnya di momen tertentuq sambil memanfaatkan waktu untuk ingat kepada Tuhan.
"Jadi, mohon maaf, saya tidak sok agamis, tapi hanya ingin memberikan sesuatu pada alam atau bentuk terima kasih pada alam yang telah membawa pikiran dan hati pada rasa damai saat berinteraksi dengan tanaman itu," katanya, saat berbincang dengan ANTARA.
Karena COVID-19
Awalnya, Kang Tejo berkebun adalah dampak dari pandemi COVID-19, yang mengharuskan semua orang tinggal di dalam rumah. Kala itu, ia mencoba memanfaatkan areal tanah kosong di sebelah rumahnya untuk ditanami singkong.
Pada masa COVID-19 kita disarankan untuk sering berjemur. Kang Tejo mencoba berjemur, tapi lama-lama bosan. Akhirnya dicoba menanam singkong di kebun sambil berjemur.
Diperolehnya bibit singkong merupakan kebetulan dari temannya yang membawa bibit itu. Kang Tejo kaget ketika tahu bibit yang ditanamnya tumbuh dengan subur.
Selain itu, areal yang kini lebih dikenal sebagai kebun literasi itu sering dikunjungi orang untuk sekadar menikmati hijaunya daun atau berkonsultasi mengenai berbagai persoalan kehidupan dengan Kang Tejo.
Pada akhir masa pandemi COVID-19, berita tentang Kang Tejo pernah meramaikan media massa dan media sosial, karena membawa ujian skripsi mahasiswa dari kampus ke kebunnya.
Karena berada di kebun, maka sang dosen hanya mengenakan pakaian petani saat menguji mahasiswanya. Para mahasiswa sangat menikmati suasana dan tempat ujian yang tidak lazim itu, namun memberikan suasana nyaman dan rileks.
Setelah beberapa tahun melakoni kegiatan berkebun, kini Kang Tejo mulai menanam umbi-umbian jenis lain, selain singkong dan ketela rambat.
Kang Tejo mendapatkan bibit uwi manalagi dari temannya, dan setelah ditanam sekitar 9 bulan, kini panen dengan hasil uwi seberat 55-60 kilogram per batang.
Banyak orang yang lewat, kemudian mampir ke kebun dan bertanya apakah Kang Tejo menerapkan ilmu teknis pertanian sehingga hasilnya sangat bagus.
Kang Tejo mengaku hanya mengandalkan rasa bahwa tanah harus gembur dan subur. Maka dipilihlah sarana sampah sebagai kompos dan sekam bakar untuk menjaga kegemburan tanah, ditambah dengan perawatan yang melibatkan rasa dan cinta kasih.
Semua hasil dari perkebunan itu tidak dijual, tetapi dibagi-bagi kepada para tetangga dan koleganya. Beberapa orang datang untuk membeli uwi, namun ditolak dan diberi gratis.
Kebun literasi dan relaksasi
Sebelumnya, Kang Tejo sering menyelenggarakan kegiatan terkait budaya literasi yang diadakan di kampus tempatnya mengajar atau di "rumah buku", salah satu rumahnya yang dijadikan tempat puluhan ribu buku atau perpustakaan pribadi.
Kini, kegiatan itu banyak memanfaatkan areal kebun. Karena itu, areal tersebut lebih dikenal sebagai "kebun literasi". Di bagian utara kebun ada panggung untuk tampil para seniman atau sastrawan yang dihadirkan untuk berdiskusi atau sekadar pentas.
Para sastrawan yang pernah hadir di kebun literasi adalah Prof Dr Setya Yuwono Sudikan (guru besar Unesa), J. Sumardianta (penulis), Yuditeha (novelis dan cerpenis), Sapta Arif (cerpenis), Sinta Yusinda (novelis/FLP) Arafat Nur, Hans Gagas, Ruli Riantiarno (cerpenis novelis), Beri Hanna (novelis), Panji Kusuma (novelis), Felix K. Nesi, Deni Mishar (Pelangi Sastra, Malang), Aning Aminuddin (penyair), Widodo Basuki (penyair Bahasa Jawa), dan lainnya.
Mereka merasa nyaman berekspresi kesenian di areal kebun itu karena bisa menikmati suasana sejuk di bawah rimbun dedaunan.
Tren
Kabid Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Ponorogo Muhtamar Mahara, STP, MMA mengatakan bahwa pertanian organik kini menjadi tren di masyarakat sehingga apa yang dilakukan oleh Kang Tejo juga bisa ditularkan kepada masyarakat lainnya.
Dinas Pertanian juga giat menyosialisasikan pertanian ramah lingkungan itu. Pihaknya sudah memberikan perhatian, seperti memberi pelatihan kepada beberapa kelompok tani untuk membuat bokasi , yakni fermentasi bahan-bahan organik untuk dijadikan pupuk.
Selain itu, pemerintah daerah juga memanfaatkan kotoran sapi perah untuk diolah menjadi pupuk organik. Umumnya, kelompok tani hanya menggunakan produk pupuk organik itu untuk dipakai sendiri di kelompoknya dan belum mengarah ke industri yang bisa dijual ke luar kelompok.
Baik secara teknis pertanian maupun dampak psikologis dari berkebun sangat bagus. Secara teknis, kegiatan berkebun itu dapat membantu penyediaan pangan alternatif atau ketahanan pangan dan bagi pelaku dapat menjaga kesehatan mental serta fisik.
Berkebunlah, pasti sehat. Begitu pesan Kang Tejo untuk masyarakat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Berkebun dengan cinta, Fatihah, dan selawat
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024