Temuan survei Data Riset Analitika menunjukkan 81,7 persen publik merasa puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sebanyak 9,3 persen di antaranya merasa sangat puas dipimpin oleh Jokowi.
Hanya 14,5 persen yang menyatakan tidak puas, termasuk 2,3 persen yang merasa tidak puas sama sekali, dan sisanya 3,8 persen tidak tahu/tidak jawab.
Tingginya tingkat kepuasan memperlihatkan aspirasi publik yang lebih mendukung wacana keberlanjutan. Publik cenderung akan memilih pasangan capres-cawapres yang dinilai paling mampu melanjutkan program-program Jokowi.
Keberpihakan Jokowi berpotensi mempengaruhi keputusan publik dalam memilih pasangan calon tersebut, meskipun akhirnya Jokowi tidak terang-terangan mendukung, publik bisa menangkap pesan yang disampaikan secara tersirat.
"Tingginya approval rating yang mencapai 81,7 persen membuat sikap keberpihakan Jokowi dapat mempengaruhi pilihan dalam Pilpres," kata Direktur Eksekutif Data Riset Analitika Nana Kardina dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut Nana, keberpihakan dari presiden atau pejabat publik atau bahkan ikut dalam kampanye semestinya bukan hal yang patut dipersoalkan.
“Selama tidak dilarang oleh regulasi, hak politik setiap individu itu bisa digunakan maupun tidak,” ujarnya.
Para pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif yang dipilih secara langsung oleh rakyat lahir dari proses-proses politik. Selain itu ada pula jabatan yang tidak dipilih, hanya ditunjuk seperti menteri, juga diisi oleh para politisi.
“Lain halnya dengan posisi-posisi dalam birokrasi, mencakup PNS/ASN dan TNI/Polri ataupun jabatan-jabatan kenegaraan lain, yang memang dilarang untuk terlibat dalam politik praktis, sehingga diharuskan bersikap netral dalam pemilu,” tegas Nana.
Walaupun dalam praktiknya jajaran birokrasi kerap kali dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari politik, tetapi ada aturan yang jelas untuk membatasinya.
“Yang harus dipastikan para pejabat publik tersebut tidak menggunakan fasilitas negara untuk kampanye,” tuturnya.
Publik bisa turut mengawasi potensi pelanggaran dalam netralitas pejabat maupun adanya penyalahgunaan wewenang. Bawaslu dan pihak-pihak terkait yang berhak memeriksa dan menindak jika ditemukan bukti-buktinya secara hukum.
“Keberpihakan Jokowi adalah sikap politik, sementara pilihan publik akan sepenuhnya ditentukan di dalam bilik suara,” kata dia.
Survei Data Riset Analitika dilakukan pada 20-25 Januari 2024, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili 38 provinsi. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Gerindra Tertinggi Elektabilitas
Survei terbaru Data Riset Analitika menunjukkan Gerindra sebagai partai politik dengan elektabilitas paling tinggi dengan dukungan mencapai 20,6 persen.
Sementara itu pada jajaran papan tengah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diperkirakan bakal melenggang ke Senayan. PSI yang digawangi putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, berhasil menembus ambang batas parlemen dengan meraih elektabilitas 4,3 persen.
"Elektabilitas Gerindra teratas dalam konstelasi pemilu legislatif, dan di jajaran papan tengah PSI diprediksi lolos menuju Senayan," kata Direktur Eksekutif Data Riset Analitika Nana Kardina dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Nana mengatakan Gerindra yang merupakan partai utama pengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengalami lonjakan elektabilitas berkat coattail effect dari pasangan capres-cawapres nomor urut 2 tersebut.
Menurutnya, pemilu kali ini yang didominasi oleh kontestasi Pilpres, hal itu membuat partai-partai yang kurang memiliki asosiasi dengan capres-cawapres harus bekerja lebih keras lagi.
Di antara tiga pasangan capres-cawapres, hanya sedikit yang berkaitan dengan partai pengusungnya.
Selain Gerindra dengan figur ketua umumnya Prabowo Subianto, hanya PDIP dan PKB yang cukup memiliki kaitan dengan kandidat Pilpres.
PDIP adalah partai utama pengusung Ganjar-Mahfud, sedangkan PKB menjadi anggota koalisi pengusung Anies-Muhaimin.
PDIP yang berasosiasi kuat dengan figur Ganjar Pranowo masih meraih elektabilitas tinggi, menduduki peringkat kedua sebesar 17,8 persen.
PKB dengan ketua umumnya Muhaimin Iskandar meraih 7,8 persen, bersaing dengan Golkar yang elektabilitasnya 8,5 persen.
“Meskipun tidak ada figur Golkar yang maju dalam Pilpres, tetapi mesin politik partai yang selalu menjadi bagian dari pemerintahan itu masih mampu menjaga posisinya bertahan pada peringkat tiga besar,” ujarnya.
Hanya saja, harus diakui keunggulan PKB yang mampu mendekati elektabilitas Golkar.
“Di antara anggota Koalisi Perubahan, hanya Cak Imin yang diasosiasikan dengan partai pengusungnya, sedangkan Anies Baswedan tampak lebih independen,” kata Nana.
Nasdem dan PKS juga memperebutkan efek elektoral Anies, di mana Nasdem merupakan partai yang pertama kali mengusung, sedangkan basis pemilih PKS lebih kuat dalam mendukung Anies. Elektabilitas PKS sedikit lebih baik, mencapai 5,1 persen, sedangkan Nasdem 4,7 persen.
Sementara itu Demokrat yang berpindah koalisi dari semula mendukung Anies menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) pengusung Prabowo-Gibran harus puas dengan elektabilitas 5,0 persen.
“PKS dan Demokrat semula sama-sama menempatkan diri sebagai oposisi dan berada di luar pemerintahan Jokowi, di mana sebelumnya Demokrat cukup pintar memimpin gerbong oposisi dalam melancarkan kritik terhadap berbagai kebijakan Jokowi,” ujarnya.
Posisi itu kini diambil PKS, bahkan oleh Nasdem dan PKB yang merupakan dua partai pemerintah pengusung Anies-Muhaimin.
Selain itu ada PAN dengan elektabilitas 4,6 persen, atau sedikit di atas PSI. Peluang PSI lolos ke Senayan disumbang oleh asosiasi partai dengan Presiden Jokowi, terutama sejak masuknya Kaesang, serta dukungan terhadap Prabowo-Gibran.
Perpecahan Jokowi dengan PDIP memberi peluang bagi PSI untuk berkembang menjadi kendaraan politik bagi Jokowi.
“Masuknya PSI ke Senayan bisa menjadi saluran kepentingan Jokowi di arena legislatif, sedangkan Prabowo-Gibran menguasai eksekutif,” tutur Nana.
Nasib kurang baik dihadapi oleh PPP yang memiliki kursi paling sedikit di Senayan. PPP terancam tergeser keluar dari parlemen dengan elektabilitas hanya 2,5 persen.
Di antaranya ada Perindo (1,3 persen), Gelora (0,6 persen), PBB (0,4 persen), dan Hanura (0,3 persen). Lalu ada Ummat dan Garuda yang sama-sama 0,1 persen, serta PKN dan Buruh yang nihil dukungan, sedangkan sisanya 16,2 persen tidak tahu/tidak jawab.
Survei Data Riset Analitika dilakukan pada 20-25 Januari 2024, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili 38 provinsi. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Data Riset Analitika: Approval rating Jokowi 81,7 persen
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024
Hanya 14,5 persen yang menyatakan tidak puas, termasuk 2,3 persen yang merasa tidak puas sama sekali, dan sisanya 3,8 persen tidak tahu/tidak jawab.
Tingginya tingkat kepuasan memperlihatkan aspirasi publik yang lebih mendukung wacana keberlanjutan. Publik cenderung akan memilih pasangan capres-cawapres yang dinilai paling mampu melanjutkan program-program Jokowi.
Keberpihakan Jokowi berpotensi mempengaruhi keputusan publik dalam memilih pasangan calon tersebut, meskipun akhirnya Jokowi tidak terang-terangan mendukung, publik bisa menangkap pesan yang disampaikan secara tersirat.
"Tingginya approval rating yang mencapai 81,7 persen membuat sikap keberpihakan Jokowi dapat mempengaruhi pilihan dalam Pilpres," kata Direktur Eksekutif Data Riset Analitika Nana Kardina dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut Nana, keberpihakan dari presiden atau pejabat publik atau bahkan ikut dalam kampanye semestinya bukan hal yang patut dipersoalkan.
“Selama tidak dilarang oleh regulasi, hak politik setiap individu itu bisa digunakan maupun tidak,” ujarnya.
Para pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif yang dipilih secara langsung oleh rakyat lahir dari proses-proses politik. Selain itu ada pula jabatan yang tidak dipilih, hanya ditunjuk seperti menteri, juga diisi oleh para politisi.
“Lain halnya dengan posisi-posisi dalam birokrasi, mencakup PNS/ASN dan TNI/Polri ataupun jabatan-jabatan kenegaraan lain, yang memang dilarang untuk terlibat dalam politik praktis, sehingga diharuskan bersikap netral dalam pemilu,” tegas Nana.
Walaupun dalam praktiknya jajaran birokrasi kerap kali dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari politik, tetapi ada aturan yang jelas untuk membatasinya.
“Yang harus dipastikan para pejabat publik tersebut tidak menggunakan fasilitas negara untuk kampanye,” tuturnya.
Publik bisa turut mengawasi potensi pelanggaran dalam netralitas pejabat maupun adanya penyalahgunaan wewenang. Bawaslu dan pihak-pihak terkait yang berhak memeriksa dan menindak jika ditemukan bukti-buktinya secara hukum.
“Keberpihakan Jokowi adalah sikap politik, sementara pilihan publik akan sepenuhnya ditentukan di dalam bilik suara,” kata dia.
Survei Data Riset Analitika dilakukan pada 20-25 Januari 2024, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili 38 provinsi. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Gerindra Tertinggi Elektabilitas
Survei terbaru Data Riset Analitika menunjukkan Gerindra sebagai partai politik dengan elektabilitas paling tinggi dengan dukungan mencapai 20,6 persen.
Sementara itu pada jajaran papan tengah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diperkirakan bakal melenggang ke Senayan. PSI yang digawangi putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, berhasil menembus ambang batas parlemen dengan meraih elektabilitas 4,3 persen.
"Elektabilitas Gerindra teratas dalam konstelasi pemilu legislatif, dan di jajaran papan tengah PSI diprediksi lolos menuju Senayan," kata Direktur Eksekutif Data Riset Analitika Nana Kardina dalam keterangan tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.
Nana mengatakan Gerindra yang merupakan partai utama pengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengalami lonjakan elektabilitas berkat coattail effect dari pasangan capres-cawapres nomor urut 2 tersebut.
Menurutnya, pemilu kali ini yang didominasi oleh kontestasi Pilpres, hal itu membuat partai-partai yang kurang memiliki asosiasi dengan capres-cawapres harus bekerja lebih keras lagi.
Di antara tiga pasangan capres-cawapres, hanya sedikit yang berkaitan dengan partai pengusungnya.
Selain Gerindra dengan figur ketua umumnya Prabowo Subianto, hanya PDIP dan PKB yang cukup memiliki kaitan dengan kandidat Pilpres.
PDIP adalah partai utama pengusung Ganjar-Mahfud, sedangkan PKB menjadi anggota koalisi pengusung Anies-Muhaimin.
PDIP yang berasosiasi kuat dengan figur Ganjar Pranowo masih meraih elektabilitas tinggi, menduduki peringkat kedua sebesar 17,8 persen.
PKB dengan ketua umumnya Muhaimin Iskandar meraih 7,8 persen, bersaing dengan Golkar yang elektabilitasnya 8,5 persen.
“Meskipun tidak ada figur Golkar yang maju dalam Pilpres, tetapi mesin politik partai yang selalu menjadi bagian dari pemerintahan itu masih mampu menjaga posisinya bertahan pada peringkat tiga besar,” ujarnya.
Hanya saja, harus diakui keunggulan PKB yang mampu mendekati elektabilitas Golkar.
“Di antara anggota Koalisi Perubahan, hanya Cak Imin yang diasosiasikan dengan partai pengusungnya, sedangkan Anies Baswedan tampak lebih independen,” kata Nana.
Nasdem dan PKS juga memperebutkan efek elektoral Anies, di mana Nasdem merupakan partai yang pertama kali mengusung, sedangkan basis pemilih PKS lebih kuat dalam mendukung Anies. Elektabilitas PKS sedikit lebih baik, mencapai 5,1 persen, sedangkan Nasdem 4,7 persen.
Sementara itu Demokrat yang berpindah koalisi dari semula mendukung Anies menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) pengusung Prabowo-Gibran harus puas dengan elektabilitas 5,0 persen.
“PKS dan Demokrat semula sama-sama menempatkan diri sebagai oposisi dan berada di luar pemerintahan Jokowi, di mana sebelumnya Demokrat cukup pintar memimpin gerbong oposisi dalam melancarkan kritik terhadap berbagai kebijakan Jokowi,” ujarnya.
Posisi itu kini diambil PKS, bahkan oleh Nasdem dan PKB yang merupakan dua partai pemerintah pengusung Anies-Muhaimin.
Selain itu ada PAN dengan elektabilitas 4,6 persen, atau sedikit di atas PSI. Peluang PSI lolos ke Senayan disumbang oleh asosiasi partai dengan Presiden Jokowi, terutama sejak masuknya Kaesang, serta dukungan terhadap Prabowo-Gibran.
Perpecahan Jokowi dengan PDIP memberi peluang bagi PSI untuk berkembang menjadi kendaraan politik bagi Jokowi.
“Masuknya PSI ke Senayan bisa menjadi saluran kepentingan Jokowi di arena legislatif, sedangkan Prabowo-Gibran menguasai eksekutif,” tutur Nana.
Nasib kurang baik dihadapi oleh PPP yang memiliki kursi paling sedikit di Senayan. PPP terancam tergeser keluar dari parlemen dengan elektabilitas hanya 2,5 persen.
Di antaranya ada Perindo (1,3 persen), Gelora (0,6 persen), PBB (0,4 persen), dan Hanura (0,3 persen). Lalu ada Ummat dan Garuda yang sama-sama 0,1 persen, serta PKN dan Buruh yang nihil dukungan, sedangkan sisanya 16,2 persen tidak tahu/tidak jawab.
Survei Data Riset Analitika dilakukan pada 20-25 Januari 2024, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili 38 provinsi. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error sekitar 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Data Riset Analitika: Approval rating Jokowi 81,7 persen
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2024