Peneliti riset nyamuk ber-Wolbachia dari Universitas Gadjah Mada Dr Riris Andono Ahmad, BMedSc, MPH, PhD mengatakan tak ada yang berubah dari nyamuk dengan bakteri Wolbachia dengan tanpa bakteri sehingga dampak gigitannya sama saja.
"Tidak ada yang berubah dari nyamuknya. Nyamuknya tidak menjadi nyamuk bionik, nyamuk transgenik. Yang terjadi adalah semacam blocking mekanik sehingga memang pada akhirnya dampak dari gigitan nyamuk ya sama saja," jelas dia dalam diskusi yang digelar daring, Senin.
Menurut Riris yang biasa disapa Doni itu, walau efek gatal akibat gigitan nyamuk ber-Wolbachia masih sama dengan nyamuk Aedes aegypti umumnya, namun dia tak menularkan lagi virus dengue.
Kemudian, terkait bisa atau bakteri dalam tubuh nyamuk berpindah ke serangga lain, hewan atau manusia, Doni membantahnya. Menurut dia, bakteri Wolbachia hanya bisa tinggal di dalam sel tubuh serangga sehingga begitu keluar dari sel tubuh serangga maka bakteri tersebut akan mati.
"Misalnya ludah, ludah bukan sel jadi dia (bakteri) tidak akan bisa ada di ludah nyamuk. Ada mungkin di sel kelenjar ludahnya tetapi bakteri tidak bisa keluar dari sel sehingga ketika nyamuk menggigit manusia dia tidak bisa ditularkan ke manusia atau tempat lain," jelas Doni yang mengatakan penularan bakteri Wolbachia melalui perkawinan nyamuk.
Masih berbicara efek gigitan, senada dengan Doni, peneliti bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah dari Universitas Gadjah Mada Prof DR Adi Utarini, M.Sc, MPH, PhD menuturkan sama hal seperti gigitan nyamuk lainnya, efeknya bisa bentol atau tidak.
"Saat menggigit manusia, maka efek sampingnya merupakan efek gigitan nyamuknya (bukan Wolbachia-nya) dan ini bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. Ada yang bentol-bentol dan ada yang juga tidak," tutur dia.
Lalu, mengenai karakteristik nyamuk Aedes aegypti dengan Wolbachia, ini sama dengan nyamuk Aedes di alam termasuk dari sisi resistensi terhadap insektisida. Dia berpendapat nyamuk memiliki tingkat resistensi terhadap insektisida yang sama seperti nyamuk di alam.
Sebelumnya, Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI R.A. Adaninggar Primadia Nariswari menyatakan bahwa bakteri Wolbachia yang ada pada tubuh nyamuk Aedes aegypti tidak menyebabkan penyakit radang otak yang disebabkan oleh virus Japanese encephalitis (JE).
"Japanese encephalitis adalah penyakit lama yang ditularkan oleh nyamuk, tapi nyamuknya itu beda, bukan Aedes aegypti yang ber-wolbachia. Ini yang menularkan adalah nyamuk Culex dan tidak sedang dilakukan penelitian teknologi Wolbachia, jadi tidak ada hubungannya," katanya dalam akun instagram pribadinya @drningz di Jakarta, Senin.
Hal tersebut diungkapkan Adaninggar setelah terdapat sejumlah isu miring mengenai bakteri Wolbachia, yang sedang diimplementasikan oleh Kemenkes dan Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk membuktikan efektivitas bakteri Wolbachia terhadap penurunan kasus dengue di Indonesia.
Baca juga: Peneliti UGM: Tidak ada kaitan Japanese Encephalitis dengan Wolbachia
Selain itu, juga terdapat isu yang menyebutkan bakteri wolbachia menciptakan kompetisi antara nyamuk Aedes aegypti dan Culex, sehingga menyebabkan nyamuk Culex menjadi berkembang pesat dan lebih berpotensi untuk menggigit manusia dan menyebabkan radang otak pada manusia.
"Jadi, itu pernyataan yang tidak berbasis bukti ya, karena metode pelepasan nyamuk Aedes aegyptiyang dianut Indonesia itu metode pelepasan replacement atau penggantian, jadi tidak mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti tapi menggantikan," ujar Ningz, sapaan akrabnya.
Dia menjelaskan metode replacement merupakan metode yang dilakukan dengan menyebarkan nyamuk yang berbakteri Wolbachia agar di kemudian hari nyamuk-nyamuk tersebut dapat berkembang biak dan memiliki keturunan nyamuk yang berbakteri Wolbachia.
"Nanti kalau sudah mencapai 60 persen nyamuk itu ber-Wolbachia, sudah dihentikan. Mereka akan berkembang dengan sendirinya, jadi tidak mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti. Tidak ada itu kompetisi dengan nyamuk Culex," paparnya.
Ningz juga menanggapi isu bakteri Wolbachia dapat menyebabkan filariasis atau kaki gajah. Dia menjelaskan bakteri Wolbachia yang dapat menyebabkan kaki gajah adalah bakteri yang hidup di inang yang berbeda, yakni pada cacing Filaria.
Wolbachia, sambungnya, juga tidak dapat berpindah-pindah dari jenis inang yang berbeda. Bakteri Wolbachia pada nyamuk tidak dapat berpindah ke manusia, sehingga menyebabkan bakteri Wolbachia tersebut tidak dapat menyebabkan penyakit kaki gajah pada manusia.
Baca juga: UGM: Wolbachia hanya dapat hidup di serangga
Baca juga: Kemenkes: Masyarakat tak perlu khawatir soal nyamuk ber-Wolbachia
Secara terpisah, peneliti dari UGM, Prof Adi Utarini juga menegaskan hal yang sama terkait sejumlah isu miring atas bakteri Wolbachia tersebut.
"Ternyata Japanese encephalitis, ini nyamuknya berbeda (Culex) dan penyakitnya juga berbeda. Tidak ada kaitannya dengan teknologi Wolbachia. Begitu pula kalau ada yang mengaitkan dengan filariasis, Wolbachia yang ada pada cacing yang menyebabkan filariasis, itu berbeda jenisnya dengan Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Jadi, Wolbachia ini bukan hanya satu jenis, tetapi ada ribuan jenis," tutur Adi Utarini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bentol akibat gigitan nyamuk ber-Wolbachia beda dari nyamuk lain?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023
"Tidak ada yang berubah dari nyamuknya. Nyamuknya tidak menjadi nyamuk bionik, nyamuk transgenik. Yang terjadi adalah semacam blocking mekanik sehingga memang pada akhirnya dampak dari gigitan nyamuk ya sama saja," jelas dia dalam diskusi yang digelar daring, Senin.
Menurut Riris yang biasa disapa Doni itu, walau efek gatal akibat gigitan nyamuk ber-Wolbachia masih sama dengan nyamuk Aedes aegypti umumnya, namun dia tak menularkan lagi virus dengue.
Kemudian, terkait bisa atau bakteri dalam tubuh nyamuk berpindah ke serangga lain, hewan atau manusia, Doni membantahnya. Menurut dia, bakteri Wolbachia hanya bisa tinggal di dalam sel tubuh serangga sehingga begitu keluar dari sel tubuh serangga maka bakteri tersebut akan mati.
"Misalnya ludah, ludah bukan sel jadi dia (bakteri) tidak akan bisa ada di ludah nyamuk. Ada mungkin di sel kelenjar ludahnya tetapi bakteri tidak bisa keluar dari sel sehingga ketika nyamuk menggigit manusia dia tidak bisa ditularkan ke manusia atau tempat lain," jelas Doni yang mengatakan penularan bakteri Wolbachia melalui perkawinan nyamuk.
Masih berbicara efek gigitan, senada dengan Doni, peneliti bakteri Wolbachia dan Demam Berdarah dari Universitas Gadjah Mada Prof DR Adi Utarini, M.Sc, MPH, PhD menuturkan sama hal seperti gigitan nyamuk lainnya, efeknya bisa bentol atau tidak.
"Saat menggigit manusia, maka efek sampingnya merupakan efek gigitan nyamuknya (bukan Wolbachia-nya) dan ini bervariasi dari satu orang ke orang lainnya. Ada yang bentol-bentol dan ada yang juga tidak," tutur dia.
Lalu, mengenai karakteristik nyamuk Aedes aegypti dengan Wolbachia, ini sama dengan nyamuk Aedes di alam termasuk dari sisi resistensi terhadap insektisida. Dia berpendapat nyamuk memiliki tingkat resistensi terhadap insektisida yang sama seperti nyamuk di alam.
Sebelumnya, Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI R.A. Adaninggar Primadia Nariswari menyatakan bahwa bakteri Wolbachia yang ada pada tubuh nyamuk Aedes aegypti tidak menyebabkan penyakit radang otak yang disebabkan oleh virus Japanese encephalitis (JE).
"Japanese encephalitis adalah penyakit lama yang ditularkan oleh nyamuk, tapi nyamuknya itu beda, bukan Aedes aegypti yang ber-wolbachia. Ini yang menularkan adalah nyamuk Culex dan tidak sedang dilakukan penelitian teknologi Wolbachia, jadi tidak ada hubungannya," katanya dalam akun instagram pribadinya @drningz di Jakarta, Senin.
Hal tersebut diungkapkan Adaninggar setelah terdapat sejumlah isu miring mengenai bakteri Wolbachia, yang sedang diimplementasikan oleh Kemenkes dan Universitas Gadjah Mada (UGM), untuk membuktikan efektivitas bakteri Wolbachia terhadap penurunan kasus dengue di Indonesia.
Baca juga: Peneliti UGM: Tidak ada kaitan Japanese Encephalitis dengan Wolbachia
Selain itu, juga terdapat isu yang menyebutkan bakteri wolbachia menciptakan kompetisi antara nyamuk Aedes aegypti dan Culex, sehingga menyebabkan nyamuk Culex menjadi berkembang pesat dan lebih berpotensi untuk menggigit manusia dan menyebabkan radang otak pada manusia.
"Jadi, itu pernyataan yang tidak berbasis bukti ya, karena metode pelepasan nyamuk Aedes aegyptiyang dianut Indonesia itu metode pelepasan replacement atau penggantian, jadi tidak mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti tapi menggantikan," ujar Ningz, sapaan akrabnya.
Dia menjelaskan metode replacement merupakan metode yang dilakukan dengan menyebarkan nyamuk yang berbakteri Wolbachia agar di kemudian hari nyamuk-nyamuk tersebut dapat berkembang biak dan memiliki keturunan nyamuk yang berbakteri Wolbachia.
"Nanti kalau sudah mencapai 60 persen nyamuk itu ber-Wolbachia, sudah dihentikan. Mereka akan berkembang dengan sendirinya, jadi tidak mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti. Tidak ada itu kompetisi dengan nyamuk Culex," paparnya.
Ningz juga menanggapi isu bakteri Wolbachia dapat menyebabkan filariasis atau kaki gajah. Dia menjelaskan bakteri Wolbachia yang dapat menyebabkan kaki gajah adalah bakteri yang hidup di inang yang berbeda, yakni pada cacing Filaria.
Wolbachia, sambungnya, juga tidak dapat berpindah-pindah dari jenis inang yang berbeda. Bakteri Wolbachia pada nyamuk tidak dapat berpindah ke manusia, sehingga menyebabkan bakteri Wolbachia tersebut tidak dapat menyebabkan penyakit kaki gajah pada manusia.
Baca juga: UGM: Wolbachia hanya dapat hidup di serangga
Baca juga: Kemenkes: Masyarakat tak perlu khawatir soal nyamuk ber-Wolbachia
Secara terpisah, peneliti dari UGM, Prof Adi Utarini juga menegaskan hal yang sama terkait sejumlah isu miring atas bakteri Wolbachia tersebut.
"Ternyata Japanese encephalitis, ini nyamuknya berbeda (Culex) dan penyakitnya juga berbeda. Tidak ada kaitannya dengan teknologi Wolbachia. Begitu pula kalau ada yang mengaitkan dengan filariasis, Wolbachia yang ada pada cacing yang menyebabkan filariasis, itu berbeda jenisnya dengan Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Jadi, Wolbachia ini bukan hanya satu jenis, tetapi ada ribuan jenis," tutur Adi Utarini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bentol akibat gigitan nyamuk ber-Wolbachia beda dari nyamuk lain?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023