Steven Mesah sedang meyeruput kopinya. Sesekali dia berbincang-bincang seru dengan kawan-kawannya di salah satu rumah di Desa Daiama, Kecamatan Landu Tii, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah. Entah apa yang dibicarakan, namun terlihat sangat seru dan sesekali dia dan beberapa temannya tertawa.
Pria kelahiran 1976 di Desa Daiama itu dikenal sebagai orang yang bisa memotivasi, bahkan menggerakkan 300 kepala keluarga di desa itu untuk menjaga wilayah pesisir dengan cara menanam mangrove di Pantai Daiama.
“Terakhir, pada tahun lalu, kami tanam 13.000 anak pohon mangrove di pesisir pantai, salah satunya untuk menjaga pantai kami tidak abrasi,” katanya, saat memulai ceritanya, kepada ANTARA.
Dari 13.000 anak mangrove yang ditanam itu, hanya sekitar 25 persen yang bisa bertahan hingga saat ini. Usai ditanam, datang cuaca musim timur, sehingga gelombang menerjang pesisir wilayah tersebut dan tanaman itu terseret gelombang. Padahal, tanaman itu sudah diikat di kayu, namun akarnya belum kuat.
Steven yang juga ketua kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) wilayah pesisir Desa Daiama tersebut berupaya menjaga dan merawat sejumlah anakan mangrove itu agar tetap hidup dan bertahan. Setiap hari dia dan masyarakat di desa bergantian memonitor perkembangan mangrove yang sudah ditanam.
Tujuannya, agar sejumlah mangrove itu tetap bertahan hidup, apalagi di saat musim atau cuaca yang stabil seperti saat ini.
Sebagai ketua pokmaswas di desa tersebut, dia kini memiliki 12 anggota, sisanya adalah mereka yang turun membantu dan menilai bahwa keberadaan mangrove tersebut penting dan dapat memberikan banyak manfaat.
Manfaat mangrove
Mangrove merupakan fitur alami yang mampu secara signifikan meredam dan menurunkan abrasi laut dan juga magnitude bencana gelombang tsunami, sehingga eskalasi bencana dan potensi kerugian, serta korban dapat direduksi.
Mangrove juga berperan besar dalam pengendalian perubahan iklim melalui kemampuannya dalam menyimpan dan menyerap karbon 4-5 kali lebih banyak dari hutan tropis daratan.
Semua keunggulan ekosistem mangrove tersebut menjadi pertimbangan penting yang menyatu dengan upaya menjaga kestabilan tata kelola bentang alam dan perbaikan mutu lingkungan.
Tak hanya itu, perbaikan ekosistem mangrove secara paralel akan memperkuat kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta mendorong pembangunan hijau melalui ekonomi hijau.
Ekosistem mangrove memiliki multimanfaat, seperti menjadi lahan budi daya ikan, kepiting, atau udang, melalui pola silvofishery, pengolahan produk mangrove non-kayu, serta wisata alam juga memperkuat pengembangan kawasan industri yang hijau.
Oleh karena itu bagi sebagian nelayan, apalagi yang tinggal di pesisir pantai, Steven merasa bahwa keberadaan pohon magrove tidak hanya untuk mencegah abrasi suatu wilayah.
Ada manfaat lain juga yang dapat mendukung ekonomi masyarakat pesisir, yakni sebagai lokasi berkembang biaknya ikan dan juga buah dari pohon itu bisa diolah menjadi bahan yang dicampur untuk kopi.
Dia dan teman-teman juga baru paham setelah ada pelatihan dari Pemerintah pusat tentang bagaimana menjaga dan merawat lingkungan laut, seperti mangrove dan juga terumbu karang sebagai lokasi ikan bertumbuh kembang.
Pria yang tak lulus sekolah dasar (SD) tersebut, pada awalnya bersama sejumlah warga di kawasan pesisir tersebut tidak memahami betul manfaat dari pohon mangrove yang tumbuh di pesisir pantai.
Terkadang pohonnya ditebang dan bahkan tak menganggap bahwa pohon tersebut ada dan telah membantu menjaga kawasan pesisir tersebut.
Sampai akhirnya pada Agustus tahun 2022 ada sosialisasi dari Pemerintah pusat terkait manfaat dari tanaman yang tumbuh di pesisir pantai tersebut.
Tak hanya tanaman mangrove, sosialisasi juga terkait bagaimana menjaga biota langka, terumbu karang, yang menjadi lokasi bersembunyinya plankton-plankton.
Steven yang sudah melaut kurang lebih 40 tahun secara turun temurun tersebut juga mengaku cukup sulit untuk merawat dan menjaga mangrove yang sudah ditanam.
Apalagi di saat cuaca buruk atau cuaca ekstrem wilayah pesisir selalu dihantam oleh gelombang dan hal itu dapat merusak pesisir pantai tersebut jika tidak ditanami mangrove.
Baginya tak masalah jika saat ini dia dan orang tua lainnya di desa itu yang menanam, namun kelak akan dirasakan dan dinikmati oleh anak cucu mereka di tahun-tahun yang akan datang.
Dia tahu bahwa yang menanam tidak akan merasakan manfaat langsung, tetapi setidaknya jika sudah tumbuh akan dirasakan oleh anak cucu mereka, dan manfaatnya akan sangat baik.
Apalagi setelah masuknya Program The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) yang didanai Global Environment Facility (GEF) dan diimplementasi oleh United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga memberikan pencerahan kepada warga di desa tersebut terkait manfaat dari buah mangrove tersebut.
Program fase dua yang sudah berjalan sejak tahun 2019 mencakup empat negara; Australia, Indonesia, Papua New Guinea, dan Timor-Leste. Di Indonesia, ATSEA-2 berfokus di tiga wilayah kerja, yaitu Kepulauan Aru di Maluku, Merauke di Papua Selatan, dan Rote Ndao di NTT. Di Rote Ndao sendiri, ATSEA-2 berfokus pada pelatihan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola hasil laut sebagai pendorong peningkatan ekonomi, sehingga masyarakat pesisir tidak hanya fokus pada tangkapan ikan, tetapi bisa memanfaatkan potensi lain yang ada di pesisir pantai sebagai salah sumber penghidupan.
Perda
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT, merasa penting bahwa diperlukan peraturan daerah (perda) untuk mendukung perlindungan wilayah pesisir di daerah itu.
Perda tersebut saat ini masih dalam pembahasan dan menunggu sidang ke-3 dengan DPRD Kabupaten Rote Ndao. Pada dasarnya isi dari perda tersebut sudah digodok oleh Kanwil Kemenkumham NTT di Kupang.
Diharapkan pada Agustus nanti perda ini bisa segera disahkan sehingga perlindungan terhadap wilayah pesisir sudah ada dasar hukumnya.
Perda yang nantinya segera diberlakukan itu tidak hanya berisi tentang larangan atau perintah untuk tidak boleh melakukan sesuatu, tetapi juga mengatur tentang bagaimana agar hasil laut yang ada di kawasan pesisir bisa dikelola oleh masyarakat sekitar menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.
Selain itu, perda tersebut berisi tentang masalah sampah di wilayah pesisir yang sering menjadi pembicaraan wisatawan karena dapat merusak lingkungan, khususnya ekosistem dalam laut.
Sampah itu bukan hanya plastik, tetapi juga sampah yang dihasilkan dari limbah-limbah kapal, seperti minyak yang digunakan oleh para nelayan juga diharapkan tidak dibuang di sembarang tempat di laut. Salah satu solusinya digali lubang di darat lalu limbahnya dimasukkan, sehingga tidak merusak wilayah pesisir.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal Steven Mesah pencinta mangrove di selatan Negeri
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023
Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah. Entah apa yang dibicarakan, namun terlihat sangat seru dan sesekali dia dan beberapa temannya tertawa.
Pria kelahiran 1976 di Desa Daiama itu dikenal sebagai orang yang bisa memotivasi, bahkan menggerakkan 300 kepala keluarga di desa itu untuk menjaga wilayah pesisir dengan cara menanam mangrove di Pantai Daiama.
“Terakhir, pada tahun lalu, kami tanam 13.000 anak pohon mangrove di pesisir pantai, salah satunya untuk menjaga pantai kami tidak abrasi,” katanya, saat memulai ceritanya, kepada ANTARA.
Dari 13.000 anak mangrove yang ditanam itu, hanya sekitar 25 persen yang bisa bertahan hingga saat ini. Usai ditanam, datang cuaca musim timur, sehingga gelombang menerjang pesisir wilayah tersebut dan tanaman itu terseret gelombang. Padahal, tanaman itu sudah diikat di kayu, namun akarnya belum kuat.
Steven yang juga ketua kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) wilayah pesisir Desa Daiama tersebut berupaya menjaga dan merawat sejumlah anakan mangrove itu agar tetap hidup dan bertahan. Setiap hari dia dan masyarakat di desa bergantian memonitor perkembangan mangrove yang sudah ditanam.
Tujuannya, agar sejumlah mangrove itu tetap bertahan hidup, apalagi di saat musim atau cuaca yang stabil seperti saat ini.
Sebagai ketua pokmaswas di desa tersebut, dia kini memiliki 12 anggota, sisanya adalah mereka yang turun membantu dan menilai bahwa keberadaan mangrove tersebut penting dan dapat memberikan banyak manfaat.
Manfaat mangrove
Mangrove merupakan fitur alami yang mampu secara signifikan meredam dan menurunkan abrasi laut dan juga magnitude bencana gelombang tsunami, sehingga eskalasi bencana dan potensi kerugian, serta korban dapat direduksi.
Mangrove juga berperan besar dalam pengendalian perubahan iklim melalui kemampuannya dalam menyimpan dan menyerap karbon 4-5 kali lebih banyak dari hutan tropis daratan.
Semua keunggulan ekosistem mangrove tersebut menjadi pertimbangan penting yang menyatu dengan upaya menjaga kestabilan tata kelola bentang alam dan perbaikan mutu lingkungan.
Tak hanya itu, perbaikan ekosistem mangrove secara paralel akan memperkuat kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta mendorong pembangunan hijau melalui ekonomi hijau.
Ekosistem mangrove memiliki multimanfaat, seperti menjadi lahan budi daya ikan, kepiting, atau udang, melalui pola silvofishery, pengolahan produk mangrove non-kayu, serta wisata alam juga memperkuat pengembangan kawasan industri yang hijau.
Oleh karena itu bagi sebagian nelayan, apalagi yang tinggal di pesisir pantai, Steven merasa bahwa keberadaan pohon magrove tidak hanya untuk mencegah abrasi suatu wilayah.
Ada manfaat lain juga yang dapat mendukung ekonomi masyarakat pesisir, yakni sebagai lokasi berkembang biaknya ikan dan juga buah dari pohon itu bisa diolah menjadi bahan yang dicampur untuk kopi.
Dia dan teman-teman juga baru paham setelah ada pelatihan dari Pemerintah pusat tentang bagaimana menjaga dan merawat lingkungan laut, seperti mangrove dan juga terumbu karang sebagai lokasi ikan bertumbuh kembang.
Pria yang tak lulus sekolah dasar (SD) tersebut, pada awalnya bersama sejumlah warga di kawasan pesisir tersebut tidak memahami betul manfaat dari pohon mangrove yang tumbuh di pesisir pantai.
Terkadang pohonnya ditebang dan bahkan tak menganggap bahwa pohon tersebut ada dan telah membantu menjaga kawasan pesisir tersebut.
Sampai akhirnya pada Agustus tahun 2022 ada sosialisasi dari Pemerintah pusat terkait manfaat dari tanaman yang tumbuh di pesisir pantai tersebut.
Tak hanya tanaman mangrove, sosialisasi juga terkait bagaimana menjaga biota langka, terumbu karang, yang menjadi lokasi bersembunyinya plankton-plankton.
Steven yang sudah melaut kurang lebih 40 tahun secara turun temurun tersebut juga mengaku cukup sulit untuk merawat dan menjaga mangrove yang sudah ditanam.
Apalagi di saat cuaca buruk atau cuaca ekstrem wilayah pesisir selalu dihantam oleh gelombang dan hal itu dapat merusak pesisir pantai tersebut jika tidak ditanami mangrove.
Baginya tak masalah jika saat ini dia dan orang tua lainnya di desa itu yang menanam, namun kelak akan dirasakan dan dinikmati oleh anak cucu mereka di tahun-tahun yang akan datang.
Dia tahu bahwa yang menanam tidak akan merasakan manfaat langsung, tetapi setidaknya jika sudah tumbuh akan dirasakan oleh anak cucu mereka, dan manfaatnya akan sangat baik.
Apalagi setelah masuknya Program The Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Phase II (ATSEA-2) yang didanai Global Environment Facility (GEF) dan diimplementasi oleh United Nations Development Programme (UNDP) bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga memberikan pencerahan kepada warga di desa tersebut terkait manfaat dari buah mangrove tersebut.
Program fase dua yang sudah berjalan sejak tahun 2019 mencakup empat negara; Australia, Indonesia, Papua New Guinea, dan Timor-Leste. Di Indonesia, ATSEA-2 berfokus di tiga wilayah kerja, yaitu Kepulauan Aru di Maluku, Merauke di Papua Selatan, dan Rote Ndao di NTT. Di Rote Ndao sendiri, ATSEA-2 berfokus pada pelatihan kepada masyarakat pesisir untuk mengelola hasil laut sebagai pendorong peningkatan ekonomi, sehingga masyarakat pesisir tidak hanya fokus pada tangkapan ikan, tetapi bisa memanfaatkan potensi lain yang ada di pesisir pantai sebagai salah sumber penghidupan.
Perda
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT, merasa penting bahwa diperlukan peraturan daerah (perda) untuk mendukung perlindungan wilayah pesisir di daerah itu.
Perda tersebut saat ini masih dalam pembahasan dan menunggu sidang ke-3 dengan DPRD Kabupaten Rote Ndao. Pada dasarnya isi dari perda tersebut sudah digodok oleh Kanwil Kemenkumham NTT di Kupang.
Diharapkan pada Agustus nanti perda ini bisa segera disahkan sehingga perlindungan terhadap wilayah pesisir sudah ada dasar hukumnya.
Perda yang nantinya segera diberlakukan itu tidak hanya berisi tentang larangan atau perintah untuk tidak boleh melakukan sesuatu, tetapi juga mengatur tentang bagaimana agar hasil laut yang ada di kawasan pesisir bisa dikelola oleh masyarakat sekitar menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.
Selain itu, perda tersebut berisi tentang masalah sampah di wilayah pesisir yang sering menjadi pembicaraan wisatawan karena dapat merusak lingkungan, khususnya ekosistem dalam laut.
Sampah itu bukan hanya plastik, tetapi juga sampah yang dihasilkan dari limbah-limbah kapal, seperti minyak yang digunakan oleh para nelayan juga diharapkan tidak dibuang di sembarang tempat di laut. Salah satu solusinya digali lubang di darat lalu limbahnya dimasukkan, sehingga tidak merusak wilayah pesisir.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal Steven Mesah pencinta mangrove di selatan Negeri
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023