Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) nasional naik 0,29 persen menjadi 110,85 pada Maret 2023 bila dibandingkan dengan catatan bulan sebelumnya sebesar 110,53.

“Peningkatan NTP terjadi karena Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) naik 0,53 persen atau lebih tinggi dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) yang mengalami kenaikan sebesar 0,24 persen,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini di Jakarta, Senin.

Pudji menjelaskan, komoditas yang mendominasi kenaikan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) adalah kelapa sawit, jagung, cabai rawit, dan kopi. Sedangkan komoditas penyumbang Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) adalah cabai rawit, rokok kretek filter, bawang putih, dan telur ayam ras.

Peningkatan NTP tertinggi terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR) yakni sebesar 1,94 persen. Peningkatan tersebut terjadi karena kenaikan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) sebesar 2,14 persen, lebih tinggi dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,20 persen. Adapun kontributor terbesar berasal dari komoditas kelapa sawit dan kopi.

Sementara penurunan NTP terbesar terjadi pada subsektor tanaman pangan (NTPP) sebesar 1,20 persen. Penurunan terjadi karena Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) terkoreksi sebesar 0,93 persen, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) naik sebesar 0,28 persen.

Penurunan Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) pada subsektor NTPP disebabkan turunnya indeks kelompok padi sebesar 1,95 persen. Sementara kelompok palawjiaya, khususnya komoditas jagung dan ketela pohon, naik sebesar 2,75 persen.

Adapun kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) dipengaruhi oleh kenaikan Indeks Kelompok Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) sebesar 0,33 persen dan Indeks Kelompok Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) sebesar 0,14 persen.

Di sisi lain, Nilai Tukar Usaha Petani (NTUP) naik 0,40 persen menjadi 111,18 pada Maret 2023 bila dibandingkan Februari yang tercatat sebesar 110,74.

Peningkatan NTUP terjadi karena Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) naik sebesar 0,53 persen menjadi 128,79. Peningkatan tersebut ditopang oleh komoditas kelapa sawit, jagung, cabai rawit, dan kopi.


Indeks Harga yang Diterima Petani (lt) lebih tinggi dari Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) yang tercatat sebesar 115,28 atau 0,12 persen dari bulan sebelumnya.

Pudji memaparkan peningkatan NTUP tertinggi terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat (NTPR) sebesar 2,02 persen. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada subsektor tanaman pangan, yakni sebesar 1,07 persen.

Secara wilayah, lanjut Pudji, sebanyak 26 provinsi mengalami peningkatan NTP dan 8 provinsi mengalami penurunan. NTP tertinggi terjadi pada Provinsi Riau yang tercatat naik 4,35 persen. Sedangkan provinsi dengan penurunan NTP terbesar adalah Provinsi Banten, yakni sebesar 1,67 persen.

Adapun untuk NTUP, kenaikan tertinggi juga terjadi di Provinsi Riau, yakni sebesar 4,32 persen. Sementara penurunan terdalam terjadi pada Provinsi Sumatra Barat sebesar 1,52 persen.
 

Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi mencapai 0,18 persen pada Maret 2023 dibanding Februari (month-to-month/mtm) yang sebesar 0,16 persen (mtm).

Inflasi bulanan tersebut terjadi karena kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 114,16 menjadi 114,36.

Dengan demikian, inflasi bulan lalu tercatat 4,97 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) dan 0,68 persen dibanding akhir tahun sebelumnya (year-to-date/ytd).

Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini mengingatkan pemerintah untuk menjaga harga komoditas terutama bahan bakar rumah tangga dan minyak goreng yang berpotensi mendorong inflasi pada Ramadhan 2023.

“Berdasar tren tahun-tahun sebelumnya, inflasi pada Ramadhan 2023 perlu dikelola dan dengan mengendalikan harga-harga komoditas yang kemungkinan akan dominan mendorong inflasi, antara lain bahan bakar rumah tangga, minyak goreng, daging ayam ras, dan beberapa komoditas lain,” kata Pudji dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Dalam empat tahun terakhir, ia merinci, pada 2019 bulan Ramadhan jatuh pada Mei di mana inflasi pada bulan tersebut mencapai 0,68 persen yang didorong oleh kenaikan harga komoditas cabai merah, daging ayam ras, bawang putih, ikan segar, angkutan antarkota, dan telur ayam ras.

Ramadhan pada 2020 jatuh pada April yang mengalami inflasi sebesar 0,08 persen, didorong oleh komoditas bawang merah, emas perhiasan, gula pasir, bahan bakar rumah tangga, pepaya, dan rokok kretek filter.

Selanjutnya pada 2021, Ramadhan berada di bulan April dengan inflasi mencapai 0,13 persen karena kenaikan harga daging ayam ras, minyak goreng, jeruk, bahan bakar rumah tangga, emas perhiasan, dan anggur.

“Pada 2022 Ramadhan jatuh pada April di mana terjadi inflasi sebesar 0,95 persen, yang utamanya didorong oleh kenaikan harga komoditas minyak goreng, bensin, daging ayam ras, tarif angkutan udara, bahan bakar rumah tangga, dan telur ayam ras,” katanya.

Sepanjang 2022 inflasi tercatat mencapai 5,51 persen didorong oleh kenaikan harga kelompok pengeluaran transportasi dengan inflasi 15,26 persen dengan andil 1,84 persen.

Komoditas penyumbang inflasi secara tahunan tertinggi antara lain adalah bensin, bahan bakar rumah tangga, tarif angkutan udara, beras, rokok filter, telur ayam ras, dan harga kontrak rumah.
 


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: BPS: Nilai Tukar Petani naik 0,29 persen pada Maret 2023

Pewarta: Imamatul Silfia

Editor : Yuniardi Ferdinan


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2023