Antarajawabarat.com, 28/1 - Cuaca telah lama dianggap sebagai salah satu pemicu potensial migrain, namun sebuah penelitian di Amerika Serikat baru-baru ini mengaitkan langsung petir dengan terjadinya sakit kepala yang parah yang menyerang jutaan orang.
Para peneliti yang karyanya muncul di jurnal Cephalalgia menemukan bahwa, berdasarkan data sakit kepala dan data cuaca di dua negara bagian Amerika Serikat, yaitu Ohio dan Missouri, sekitar 28 persen lebih orang berpotensi mengalami migrain pada hari-hari ketika petir terjadi di jarak sekitar 40 kilometer (25 mil) dari rumah mereka.
"Kami sangat terkejut dan sangat senang dengan hasil penelitian ini yang merupakan penelitian pertama yang menghubungkan petir dengan sakit kepala, " kata penulis senior Vincent Martin, dari University ofCincinnati College of Medicine di Ohio.
Migrain adalah sakit kepala yang parah - kadang disertai dengan sensitivitas cahaya, halusinasi visual atau mual - yang dapat menonaktifkan seseorang selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari pada suatu waktu. Mayoritas dari penderita migrain adalah perempuan.
Martin mengatakan bahwa migrain dapat terjadi akibat pemicu tertentu, seperti stres, kurang tidur dan dehidrasi.
Penelitian sebelumnya juga telah menemukan hubungan antara timbulnya migrain dan tekanan barometrik yang tinggi, suhu tinggi dan kelembaban yang tinggi.
Tetapi sebagian besar penelitian sebelumnya pada cuaca dan migrain mengandalkan pengamatan individu dan tidak selalu memperhitungkan faktor yang lainnya, yang mungkin tak terlihat, seperti kondisi cuaca lokal, para peneliti itu.
Untuk penelitian baru itu, mereka menggunakan informasi yang dikumpulkan dari tiga sensor yang melacak petir di dekat Cincinnati, Ohio, dan lima sensor di dekat St Louis, Missouri. Sensor itu memungkinkan peneliti untuk mengetahui kapan dan di mana petir menyambar, dan intensitas serangan masing-masing.
Mereka juga menggunakan buku harian sakit kepala dari dua penelitian sebelumnya tentang 90 penderita migrain di daerah itu yang berusia antara 18 dan 65 tahun. Dalam buku harian itu, responden mencatat sakit kepala mereka selama tiga sampai enam bulan.
Setelah membandingkan data cuaca dengan jurnal sakit kepala, para peneliti menemukan bahwa sambaran petir dalam jarak 40 kilometer (25 mil) dari rumah seseorang berpotensi peningkatan risiko dari setiap jenis sakit kepala sebesar 31 persen, dan 28 persen peningkatan risiko sakit kepala yang lebih parah.
Martin mengatakan bahwa itu bisa berarti tambahan satu sampai tiga migrain setiap bulannya untuk setiap individu, tetapi itu tergantung pada orang dan cuacanya.
Sementara tentang cara petir mempengaruhi migrain, Martin mengatakan bisa jadi bahwa gelombang elektromagnetik dan ozon yang diciptakan oleh petir merupakan penyebabnya.
"Teori lain adalah bahwa ketika badai terjadi mereka dapat membuat spora alergi lebih di kawasan sekitarnya," katanya. Itu, tambah dia, yang bisa menciptakan masalah bagi sebagian orang.
Para peneliti tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa petir menyebabkan migrain, meskipun mereka menggunakan model komputer untuk memperhitungkan perubahan meteorologi yang lain yang terjadi selama badai.
Dalam tajuk rencana, Hayrunnisa Bolay dari Universitas Gazi di Ankara, Turki, memperingatkan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan, termasuk kegagalan untuk memperhitungkan faktor resiko bawaan responden.
"Singkatnya, seseorang hanya dapat menyimpulkan bahwa kondisi cuaca, petir, memiliki potensi untuk meningkatkan sakit kepala pada pasien migrain," tulisnya.

ANTARA/Reuters

Pewarta:

Editor : Sapto HP


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2013