-
Oleh Prof. Dr. Tatang Muhtar, M.Si.*)

Ungkapan sports build character dan mens sana in corpore sano dalam dunia olahraga bukan hanya harus terus dikuatkan tetapi juga perlu dibuktikan secara empiris bahwa hal tersebut bukanlah sebatas jargon. Kekhawatiran tersebut sejalan dengan pernyataan Ali Maksum (2017, h.1), bahwa saat ini disinyalir pemahaman mengenai karakter dalam dunia olahraga dan pendidikan jasmani hanyalah merupakan sebuah klaim tanpa bukti ilmiah yang empirik. Pernyataan Ali Maksum tersebut sejatinya dapat dimaknai bahwa optimalisasi pembangunan karakter melalui pembelajaran penjas masih belum terwujud, atau secara kasar bisa dikatakan bahwa pembelajaran penjas masih cenderung hampa nilai. 

Penekanan pendidikan karakter dalam dunia olahraga seharusnya menjadi fokus perhatian para akademisi dan praktisi. Hal tersebut mengingat banyaknya masalah moral yang sering tampak pada hampir seluruh pertandingan olahraga, misalnya,  pemukulan terhadap wasit karena ia dianggap berlaku tidak adil atau perkelahian antarpemain. Tidak hanya itu, pemalsuan umur pemain atau atlet hampir terjadi di semua cabang olahraga seperti tenis, renang, atletik, sepak bola, bulutangkis, bola voli, dan sebagainya. Suap-menyuap dalam pertandingan dan penggunaan doping, merupakan fenomena yang juga sering mewarnai dunia keolahragaan kita. Hal ini merupakan sinyalemen bahwa proses pendidikan jasmani dianggap masih gagal membangun karakter bangsa, yang semakin menguatkan dugaan bahwa proses pembelajarannya memang masih hampa nilai. 

Perkembangan keolahragaan dewasa ini sudah bergeser dari logika awalnya. Olahraga kini telah menjadi industri sehingga logikanya yang semula adalah ideologi berubah menjadi logika ekonomi: perhitungan untung-rugi dan manfaat ekonomis menjadi pertimbangan utama. Hal-hal yang dianggap sebagai penghambat untuk meraih kemenangan, seperti kejujuran dan sportivitas, acapkali sengaja diabaikan. Oleh karena itu, dalam banyak cabang olahraga, seperti sepakbola, bola basket, atletik, dan renang, sering kitadengar banyak ditemukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan dan prinsip moral yang berlaku universal. Ironisnya, kondisi yang demikian mulai dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Artinya, para atlet, pelatih, pembina, dan orang-orang yang berkecimpung dalam dunia olahraga menganggap hal yang demikian sebagai kewajaran (Ali Maksum, 2017). Solusi dan akar permasalahan dari banyaknya persoalan moral dalam dunia olahraga, sebagaimana tersebut di atas, kembali ke pintu pendidikan. Demikian pula, upaya penyelesaian persoalan moral atau karakter hanya dapat diselesaikan melalui pendidikan jasmani berbasis karakter. 

Salah satu penyebab hilangnya karakter dalam dunia pendidikan adalah paradigma pendidikan selama ini cenderung lebih menekankan  headstart  (kecerdasan IQ) daripada heartstart (kecerdasan emosi). Paradigma headstart menekankan anak “harus bisa” hingga ada kecenderungan mereka harus belajar terlalu dini (early childhood training). Dipercaya bahwa kasus-kasus seperti antisocial personality disorder, learning disability, dan lain sebagainya, lahir dari paradigma pendidikan headstart ini (Ratna, 2009, h. 37). Kenyataan tersebut didukung oleh fakta di lapangan  bahwa ada fenomena guru-guru penjas di sekolah yang masih berpikir dengan paradigma yang lama. Mereka percaya pada kecenderungan bahwa pembelajaran penjas identik dengan pengembangan aspek psikomotorik saja dan hanya sedikit menyentuh aspek kognitif, apalagi afektif.
 

Konsep pendidikan karakter adalah proses menanamkan karakter atau nilai-nilai tertentu sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalankan kehidupan (Andriany, 2016). Karena pendidikan tidak saja dipahami sebagai bentuk pengetahuan, tetapi juga dijadikan sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasarkan pada nilai -nilai etika (Ryan et al., 1999), maka untuk menumbuhkan karakter, harus melibatkan metode, teknik, dan materi agar tujuan dari pendidikan karakter itu tercapai (Licona, 1991). Dengan kata lain, untuk mencapai tujuan nilai-nilai karakter, dibutuhkan sebuah model pembelajaran yang efektif (DeBusk & Hellison, 1989; Metzler, 2017; Wortham, 2006; Yun-fei, 2004). 

Salah satu alternatif untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran INTEGRATED ( I=Introduction, N=Narative, T=Tes (pre test), E=Education, G=Growth R=Repetisi, A=Action dan Analisis, T=Training, E=Evaluasi, D = Doing) sehingga desain pembelajaran ini dapat disebut dengan model INTEGRATED. Fase tersebut mencakup konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural yang digagas oleh pemerintah untuk menumbuhkan karakter kebangsaan, yakni 1) olah hati (spiritual and emotional development), 2) olah pikir (intellectual development), 3) olah raga dan kinestetik (physical and kinaesthetic development), dan 4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Keempat proses psiko-sosial ini secara holistik dan koheren saling terkait dan saling melengkapi dalam rangka pembentukan karakter dan perwujudan nilai-nilai luhur dalam diri seseorang (Kemendiknas, 2010, pp. 9–10). Penguatan pendidikan karakter (PPK) tersebut kini dikembangkan menjadi profil Pelajar Pancasila, yang mencakup (1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, (2) Berkebinekaan global, (3) Bergotong royong, (4) Mandiri, (6) Bernalar kritis, dan (7) Kreatif.


*) Guru Besar UPI Bidang Ilmu Pedagogi Olahraga

(Artikel diambil dari pidato saat pengukuhan guru besar Universitas Pendidikan Indonesia, 24 November 2021 di Gedung Achmad Sanusi UPI Bandung)

Pewarta: --

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2021