Sumber, 22/9 (ANTARA) - Pesta laut "Nadran" masyarakat nelayan di Desa Bandengan, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berlangsung meriah, Rabu.
Upacara adat yang rutin digelar minimal satu tahun sekali ini merupakan bentuk rasa syukur para nelayan khususnya yang berada di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Bandengan kepada Sang Pencipta atas hasil laut yang diperoleh selama ini dan berharap ke depan akan memperoleh hasil yang lebih baik lagi.
Diawali dengan arak-arakan 22 replika berbagai macam bentuk mulai dari perahu, binatang buas hingga monster buatan tangan pemuda desa setempat hingga setinggi 3 meter, berjalan menyusuri jalan Pantura dan menjadi hiburan tersendiri bagi warga setempat dan para pengguna jalan meskipun harus rela berpanas-panasan dan membuat macet arus lalu lintas.
Sekitar pukul 10.30 WIB arak-arakan pun tiba di lokasi TPI tempat dilarungkannya sesajen berupa tumpeng, kepala kerbau, kepala kambing dan ayam serta beraneka macam buah-buahan yang masing-masing jumlahnya harus genap dua buah. Dengan menggunakan perahu kecil, sesajen tersebut dibawa ke tengah laut untuk selanjutnya diceburkan.
"Kerbau adalah simbol kebodohan, oleh karena itu dilakukan ritual pelarungan kepala kerbau maknanya agar para nelayan tidak selalu dalam kebodohan dan berusaha membuka wawasannya dalam mengarungi lautan luas," kata Sobali (41), salah satu nelayan Desa bandengan.
Ratusan warga ikut mengiringi pelarungan sesajen tersebut dengan menaiki kapal yang telah dihias sedemikian rupa dengan berbagai macam panganan dan minuman yang digantung di tiang pancang kapal.
Setibanya di tengah laut, sesajen kepala kerbau pun diceburkan. Tak seorang pun yang berani mengambil sesajen yang sudah ditumpahkan ke laut tersebut.
"Sesajen tersebut adalah persembahan untuk penguasa laut, jadi tidak mungkin kami mengambilnya kembali," kata Takrib (50) nelayan yang lain.
Berbarengan dengan diceburkannya sesajen, para nelayan kemudian berlomba-lomba mengambil air laut dan membasuhkannya ke perahu bahkan tak sedikit yang diguyurkan ke tubuhnya. Konon, air laut yang telah di suguhi sesajen tersebut dapat membawa berkah dan keberuntungan bagi para nelayan.
Usai melakukan upacara pelarungan sesajen kepala kerbau dan lainnya, masyarakat nelayan dihibur oleh pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pagelaran wayang kulit ini menurut ketua panitia Nadran, Sodikin merupakan kegiatan yang harus diselenggarakan dalam setiap kegiatan Nadran dan tidak dapat terpisahkan.
"Lakon yang dibawakan selalu berjudul Dewi Sri dan Budug Basu yang menceritakan tentang asal muasal munculnya padi di darat dan ikan di laut. Jadi setiap kegiatan upacara nadran, pagelaran wayang kulit dengan lakon ini tidak bisa terpisahkan. Untuk mengingatkan masyarakat agar selalu bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan alam ini dengan segala isinya," kata Sodikin.***4***
M Taufik
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010
Upacara adat yang rutin digelar minimal satu tahun sekali ini merupakan bentuk rasa syukur para nelayan khususnya yang berada di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Bandengan kepada Sang Pencipta atas hasil laut yang diperoleh selama ini dan berharap ke depan akan memperoleh hasil yang lebih baik lagi.
Diawali dengan arak-arakan 22 replika berbagai macam bentuk mulai dari perahu, binatang buas hingga monster buatan tangan pemuda desa setempat hingga setinggi 3 meter, berjalan menyusuri jalan Pantura dan menjadi hiburan tersendiri bagi warga setempat dan para pengguna jalan meskipun harus rela berpanas-panasan dan membuat macet arus lalu lintas.
Sekitar pukul 10.30 WIB arak-arakan pun tiba di lokasi TPI tempat dilarungkannya sesajen berupa tumpeng, kepala kerbau, kepala kambing dan ayam serta beraneka macam buah-buahan yang masing-masing jumlahnya harus genap dua buah. Dengan menggunakan perahu kecil, sesajen tersebut dibawa ke tengah laut untuk selanjutnya diceburkan.
"Kerbau adalah simbol kebodohan, oleh karena itu dilakukan ritual pelarungan kepala kerbau maknanya agar para nelayan tidak selalu dalam kebodohan dan berusaha membuka wawasannya dalam mengarungi lautan luas," kata Sobali (41), salah satu nelayan Desa bandengan.
Ratusan warga ikut mengiringi pelarungan sesajen tersebut dengan menaiki kapal yang telah dihias sedemikian rupa dengan berbagai macam panganan dan minuman yang digantung di tiang pancang kapal.
Setibanya di tengah laut, sesajen kepala kerbau pun diceburkan. Tak seorang pun yang berani mengambil sesajen yang sudah ditumpahkan ke laut tersebut.
"Sesajen tersebut adalah persembahan untuk penguasa laut, jadi tidak mungkin kami mengambilnya kembali," kata Takrib (50) nelayan yang lain.
Berbarengan dengan diceburkannya sesajen, para nelayan kemudian berlomba-lomba mengambil air laut dan membasuhkannya ke perahu bahkan tak sedikit yang diguyurkan ke tubuhnya. Konon, air laut yang telah di suguhi sesajen tersebut dapat membawa berkah dan keberuntungan bagi para nelayan.
Usai melakukan upacara pelarungan sesajen kepala kerbau dan lainnya, masyarakat nelayan dihibur oleh pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Pagelaran wayang kulit ini menurut ketua panitia Nadran, Sodikin merupakan kegiatan yang harus diselenggarakan dalam setiap kegiatan Nadran dan tidak dapat terpisahkan.
"Lakon yang dibawakan selalu berjudul Dewi Sri dan Budug Basu yang menceritakan tentang asal muasal munculnya padi di darat dan ikan di laut. Jadi setiap kegiatan upacara nadran, pagelaran wayang kulit dengan lakon ini tidak bisa terpisahkan. Untuk mengingatkan masyarakat agar selalu bersyukur kepada Tuhan yang telah menciptakan alam ini dengan segala isinya," kata Sodikin.***4***
M Taufik
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010