Bogor, 9/4 (ANTARA) - Pakar kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Ir Ricky Avenzora, MScF mengemukakan, suatu kolaborasi
kelembagaan antara BUMN kehutanan dengan LSM dan swasta perlu
dipertimbangan guna menyerap peluang dana International Climate
Investment Fund (CIF) sebesar 80 juta dolar AS.

"Dana CIF sebesar 80 juta dolar AS di satu sisi bisa dipandang sebagai peluang bagi proses perbaikan tegakan hutan dan kehutanan di
Indonesia, tapi di sisi lain harus dicermati dan diawasi peminjaman
dan pemakaiannya," katanya pada ANTARA di Bogor, Jumat.

Hal itu dikemukakan, terkait pernyataan Kementerian Kehutanan
melalui Staf Ahli Menhut bidang kelembagaan Hadi Susanto Pasaribu, Selasa (6/4), yang mengundang pengusaha kehutanan memanfaatkan pembiayaan program investasi kehutanan yang dilaksanakan CIF dengan bunga maksimal 0,25 persen per tahun.

"Pendanaan sebesar 80 juta dolar AS tersebut terbuka untuk semua
kegiatan bisnis kehutanan yang terkait dengan program Pengurangan
Emisi dari Degradasi dan Kerusakan Hutan (REDD plus)," katanya.

Ia mengatakan, kegiatan yang bakal dibiayai termasuk pengelolaan hutan produksi lestari, penyimpanan dan peningkatan karbon di hutan
produksi, pembangunan hutan tanaman di areal yang terdegradasi serta
pembangunan hutan rakyat.

CIF mengalokasikan dana 80 juta dolar yang diperuntukkan bagi
pengusaha sektor kehutanan dengan bunga maksimum 0,25 persen per tahun
untuk mengembangkan proyek pengurangan emisi karbon.

"Pembiayaan yang disalurkan dikenakan bunga sangat rendah, maksimum 0,25 persen per tahun. Pembiayaan yang sudah dikucurkan juga bisa dihapus dari beban bunga seandainya kegiatan yang dijalankan dinilai berhasil dalam pengurangan emisi, namun tidak secara bisnis," katanya.

Ia menjelaskan, dana program tersebut berasal dari sejumlah negara
donor dan lembaga perbankan multilateral di antaranya Bank Dunia dan
Bank Pembangunan Asia (ADB).

"Bulan (April) ini, tim dari
CIF akan datang untuk bersama-sama menyusun strategi investasi yang
akan dijalankan. Untuk itu kami mengundang para pelaku bisnis bisa
ikut terlibat," katanya.

CIF merupakan kolaborasi antara bank-bank pembangunan multilateral
dan negara-negara donor yang bertujuan menjembatani kurangnya
pembiayaan pada kegiatan pencegahan perubahan iklim yang belum
tertangani pada skema-skema yang saat ini sudah ada, seperti Global Environment Facility (GEF), Forest Carbon Partnership Facility (FGPF) dan dan skema yang dikembangkan UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim).


Harus diawasi
Menurut Ricky Avenzora, dana CIF tersebut tetap harus dicermati, karena meski berbunga relatif murah tapi harus diingat bahwa dana itu berupa pinjaman yang harus dikembalikan, kata doktor lulusan "George August Universitaet" Gottingen Jerman itu.

Perlunya pengawasan itu, juga disampaikan Ir Taufiq Alimi dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN).

"Dana (CIF) ini agak memiliki keleluasaan dalam tata cara penggunaannya, sehingga Indonesia harus berinisiatif masuk dengan agenda yang jelas, apalagi Indonesia menjadi proyek percontohan," katanya.

Senada dengan Ricky Avenzora, ia melihat bahwa dana CIF di satu sisi akan menguntungkan bagi upaya pembangunan sektor kehutanan, namun di sisi lain pengalaman untuk negara berkembang, keleluasaan tata cara
penggunaannya selalu tersirat syarat-syarat yang diinginkan seperti
transparansi dan bebas konflik kepentingan.

"Padahal akhir-akhir ini Indonesia juga sedang disorot dengan kasus seperti Gayus Tambunan (mafia pajak), sehingga ada pekerjaan rumah (PR) berat lainnya," kata mantan Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) itu.

Hanya saja, diakuinya bahwa ada situasi bahwa pemerintah --dalam hal ini Kemenhut--disebutnya sudah "lumayan" dalam mengawal pembangunan sektor kehutanan. "Namun, (dalam kaitan dana CIF) itu tetap harus dikawal," kata Taufiq Alimi.

Ricky Avenzora menambahkan, jika selama ini dana berupa investasi murni yang sudah dilokasikan oleh Korsel sejak lima tahun lalu untuk membangun 500 ribu hektare hutan saja belum bisa terealisasi, wajar kalau masyarakat meragukan kemampuan sektor kehutanan Indonesia untuk memanfaatkan dana CIF tersebut secara baik dan benar.

Perlu diingat pula bahwa dana dari CIF tersebut --di mana
80 juta dolar dialokasikan untuk Indonesia--bukanlah hanya untuk
Indonesia, tetapi termasuk untuk beberapa negara lain yang dimasukkan
ke dalam lokasi proyek percontohan.

"Untuk itu tugas utama kita saat ini adalah mengelaborasi suatu
program terbaik agar setidaknya kita bisa dipercaya menyerap sekurang-kurangnya 50 persen dari dana tersebut," katanya.

Jika program yang disiapkan tidak mampu untuk menyerap setidaknya 50 persen, dipastikan pemakaian dana tersebut nantinya hanya akan memperpanjang daftar kegagalan program kehutanan di Indonesia.

"Jika itu terjadi, maka tidak hanya memalukan bangsa, tetapi juga akan menggagalkan proyek percontohan itu sendiri dan menutup peluang lebih lanjut bagi program serupa."
Penting juga untuk diingat bahwa untuk menghasilkan pembangunan sektor kehutanan yang baik, tidak hanya dibutuhkan pendekatan padat karya --sebagai salah satu indikator pembangunan partisipatif--, tapi juga sangat bersifat padat modal dan teknologi.

Andi Jauhari

Pewarta:

Editor : Teguh Handoko


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2010