Nama Pratiwi Pudjilestari Sudarmono selamanya terukir sebagai astronaut perempuan pertama di Indonesia, meski nasib membuatnya batal berangkat ke luar angkasa pada 1986 karena program pesawat ulang-alik Amerika dihentikan sementara akibat meledaknya pesawat ulang-alik Challenger.
Ilmuwan yang mewakili Indonesia dalam kerjasama dengan National Aeronautics and Space Administration (NASA), lembaga antariksa Amerika Serikat, ini rencananya pergi ke luar angkasa dengan pesawat ulang-alik Columbia pada 24 Juni 1986.
Namun misi itu dibatalkan karena pesawat Challenger meledak pada 28 Januari 1986, dalam waktu 73 detik setelah diluncurkan saat pesawat berada di ketinggian 15 kilometer.
Meski misi wahana antariksa Columbia dibatalkan oleh NASA, Pratiwi yang diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2008 ini tetap menjalani pelatihan.
Salah satu pelatihan astronaut yang harus dijalani adalah mempelajari struktur kendaraan luar angkasa yang akan dinaiki.
"Yang berat itu mempelajari sistem kerja pesawat ulang-alik. Bagi saya, seorang dokter dan ahli laboratorium, cukup sulit," tutur Pratiwi di webinar bersama Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu.
Peraih gelar doktor bidang biologi molekuler dari Universitas Osaka ini menuturkan, kesempatan untuk melihat bumi dari kejauhan menarik minat banyak kalangan di Indonesia kala itu.
Ketika Indonesia dapat kesempatan mengirim wakil untuk naik pesawat ulang-alik bersamaan dengan peluncuran satelit Palapa, Kementerian Riset dan Teknologi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendiskusikan siapa orang yang tepat.
"Banyak calon para tentara, sebagian besar diantaranya para pilot pesawat pemburu, ada yang dari penerbangan Angkatan Laut. Banyak juga remaja, mahasiswa sampai ibu rumah tangga," ujar ilmuwan kelahiran Bandung, 31 Juli 1952.
Ketika Indonesia diizinkan melakukan riset ilmiah berkenaan dengan misi luar angkasa tersebut, para ilmuwan dilirik sebagai kandidat yang bakal diberangkatkan.
Jadi, bukan cuma kemampuan fisik dan mental yang dipertimbangkan, melainkan juga kemampuan mengenai riset ilmiah. Penelitian itu bernama Indonesian Space Experiment.
"Maka dibuka kesempatan untuk ilmuwan lebih dulu, untuk mengajukan penelitian luar angkasa," beber Pratiwi yang menjadi Spesialis Muatan di misi wahana antariksa STS-61-H.
Universitas Indonesia meminta Pratiwi turut serta memasukkan proposal penelitian.
"Waktu itu diminta, kalau tidak diminta, siapa yang mau mengerjakan?" seloroh Pratiwi.
Penelitian yang diusulkan oleh Pratiwi adalah riset untuk melihat ketahanan fisik manusia di luar angkasa. Riset itu dilatarbelakangi cita-cita NASA menempatkan koloni manusia di luar angkasa.
Butuh riset percobaan demi memahami bagaimana cara makhluk bisa hidup di luar angkasa. Ilmuwan ingin memahami apa saja yang dibutuhkan kalau kelak ada kebutuhan untuk memindahkan sebagian makhluk bumi ke luar angkasa.
Salah satu nilai tambah yang membuat penelitian Pratiwi disetujui adalah karena penelitiannya tidak membutuhkan alat besar yang bisa memakan ruangan di pesawat ulang-alik.
Dengan sendirinya, penelitian yang pakai alat besar dan berat tidak bisa (di)ikut(kan)."
Setelah penelitiannya disetujui, Pratiwi pun didorong untuk mendaftarkan diri. Tanpa dorongan itu, mungkin Pratiwi tidak jadi astronaut perempuan pertama dari Tanah Air.
"(Ke luar angkasa) sesuatu yang sangat menantang waktu itu. Namun demikian, atas dorongan dari banyak pihak dan izin keluarga, saya ikut daftar."
Meski misi ke luar angkasa batal, Pratiwi tetap menjalani penelitian di Amerika Serikat. Sejak Challenger meledak, fokus Pratiwi bergeser untuk penelitian yang dilakukan di kompleks NASA, Amerika Serikat.
"Semua penelitian di luar angkasa ada ground reserach untuk jadi perbandingan. Ada yang dilanjutkan, tapi tentu saja data yang terkait penerbangan tidak bisa diperoleh.
"Tapi pada misi berikutnya yang sekarang terus berlangsung, beberapa hal banyak dieksplorasi lagi."
Baca juga: Batal ke antariksa, alasan astronaut Indonesia tidak ikut misi lainnya?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020
Ilmuwan yang mewakili Indonesia dalam kerjasama dengan National Aeronautics and Space Administration (NASA), lembaga antariksa Amerika Serikat, ini rencananya pergi ke luar angkasa dengan pesawat ulang-alik Columbia pada 24 Juni 1986.
Namun misi itu dibatalkan karena pesawat Challenger meledak pada 28 Januari 1986, dalam waktu 73 detik setelah diluncurkan saat pesawat berada di ketinggian 15 kilometer.
Meski misi wahana antariksa Columbia dibatalkan oleh NASA, Pratiwi yang diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 2008 ini tetap menjalani pelatihan.
Salah satu pelatihan astronaut yang harus dijalani adalah mempelajari struktur kendaraan luar angkasa yang akan dinaiki.
"Yang berat itu mempelajari sistem kerja pesawat ulang-alik. Bagi saya, seorang dokter dan ahli laboratorium, cukup sulit," tutur Pratiwi di webinar bersama Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu.
Peraih gelar doktor bidang biologi molekuler dari Universitas Osaka ini menuturkan, kesempatan untuk melihat bumi dari kejauhan menarik minat banyak kalangan di Indonesia kala itu.
Ketika Indonesia dapat kesempatan mengirim wakil untuk naik pesawat ulang-alik bersamaan dengan peluncuran satelit Palapa, Kementerian Riset dan Teknologi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mendiskusikan siapa orang yang tepat.
"Banyak calon para tentara, sebagian besar diantaranya para pilot pesawat pemburu, ada yang dari penerbangan Angkatan Laut. Banyak juga remaja, mahasiswa sampai ibu rumah tangga," ujar ilmuwan kelahiran Bandung, 31 Juli 1952.
Ketika Indonesia diizinkan melakukan riset ilmiah berkenaan dengan misi luar angkasa tersebut, para ilmuwan dilirik sebagai kandidat yang bakal diberangkatkan.
Jadi, bukan cuma kemampuan fisik dan mental yang dipertimbangkan, melainkan juga kemampuan mengenai riset ilmiah. Penelitian itu bernama Indonesian Space Experiment.
"Maka dibuka kesempatan untuk ilmuwan lebih dulu, untuk mengajukan penelitian luar angkasa," beber Pratiwi yang menjadi Spesialis Muatan di misi wahana antariksa STS-61-H.
Universitas Indonesia meminta Pratiwi turut serta memasukkan proposal penelitian.
"Waktu itu diminta, kalau tidak diminta, siapa yang mau mengerjakan?" seloroh Pratiwi.
Penelitian yang diusulkan oleh Pratiwi adalah riset untuk melihat ketahanan fisik manusia di luar angkasa. Riset itu dilatarbelakangi cita-cita NASA menempatkan koloni manusia di luar angkasa.
Butuh riset percobaan demi memahami bagaimana cara makhluk bisa hidup di luar angkasa. Ilmuwan ingin memahami apa saja yang dibutuhkan kalau kelak ada kebutuhan untuk memindahkan sebagian makhluk bumi ke luar angkasa.
Salah satu nilai tambah yang membuat penelitian Pratiwi disetujui adalah karena penelitiannya tidak membutuhkan alat besar yang bisa memakan ruangan di pesawat ulang-alik.
Dengan sendirinya, penelitian yang pakai alat besar dan berat tidak bisa (di)ikut(kan)."
Setelah penelitiannya disetujui, Pratiwi pun didorong untuk mendaftarkan diri. Tanpa dorongan itu, mungkin Pratiwi tidak jadi astronaut perempuan pertama dari Tanah Air.
"(Ke luar angkasa) sesuatu yang sangat menantang waktu itu. Namun demikian, atas dorongan dari banyak pihak dan izin keluarga, saya ikut daftar."
Meski misi ke luar angkasa batal, Pratiwi tetap menjalani penelitian di Amerika Serikat. Sejak Challenger meledak, fokus Pratiwi bergeser untuk penelitian yang dilakukan di kompleks NASA, Amerika Serikat.
"Semua penelitian di luar angkasa ada ground reserach untuk jadi perbandingan. Ada yang dilanjutkan, tapi tentu saja data yang terkait penerbangan tidak bisa diperoleh.
"Tapi pada misi berikutnya yang sekarang terus berlangsung, beberapa hal banyak dieksplorasi lagi."
Baca juga: Batal ke antariksa, alasan astronaut Indonesia tidak ikut misi lainnya?
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2020