Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengaku perusahaan otomotif asal Korea Selatan Hyundai masih bernegosiasi terkait paket insentif dengan pemerintah untuk bisa membangun pabrik mobil di Indonesia.
"Soal Hyundai, kita masih di tengah-tengah negosiasi sengit mengenai paket insentif yang bisa kita berikan," katanya dalam paparan realisasi investasi di Jakarta, Selasa.
Thomas menuturkan secara informal pemerintah Indonesia, melalui BKPM memasang tenggat waktu rampungnya negosiasi bisa dilakukan sebelum ASEAN-Korea Summit yang akan digelar di Busan, November mendatang.
Menurut mantan Menteri Perdagangan itu, wajar jika Hyundai masih sengit bernegosiasi dengan Indonesia terkait insentif. Pasalnya, industri otomotif saat ini tengah dilanda guncangan dan penurunan pasar.
Hal itu bisa dilihat dari maraknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan otomotif dunia. Misalnya Nissan yang mem-PHK 12.000 karyawannya hingga Ford yang juga melakukan hal serupa kepada karyawan di Eropa.
"Tahun lalu, tahun pertama dalam sejarah China, volume penjualan mobil turun dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam sejarah China ini tidak pernah terjadi. Jadi secara siklus ekonomi dan siklus otomotif, ini sedang dalam down term, dalam proses diselerasi, bukan akselerasi," katanya.
Thomas menjelaskan industri otomotif juga diguncang revolusi teknologi yang membuatnya harus berusaha keras bertahan. Guncangan teknologi itu antara lain tren ride hailing dan ride sharing seperti Uber atau Grab yang mengurangi kebutuhan kendaraan.
Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan elektrifikasi mobil, terutama di pasar Eropa dan AS.
"Industri otomotif ditimpa biaya untuk merekonfigurasi pabrik mereka yang tadinya memproduksi kendaraan berbahan bakar BBM menjadi pabrik yang memproduksi mobil listrik. Ini yang menyebabkan PHK puluhan, bahkan ratusan ribu karyawan," jelasnya.
Thomas menambahkan ekspektasi konsumen akan kendaraan otonom (kendaraan tanpa pengemudi) juga menjadi tekanan bagi industri otomotif. Maka, pabrikan otomotif juga harus mengeluarkan biaya untuk mengadopsi teknologi tersebut.
"Jadi untuk meng-goal-kan investasi Hyundai KIA membutuhkan investasi cukup 'nendang'. Kita butuh kerja keras untuk meyakinkan mereka bangun pabrik di sini," pungkasnya.
Baca juga: Presiden Jokowi terima Hyundai Motors bahas investasi teknologi masa depan
Baca juga: Hyundai akan jadikan Indonesia basis produksi, kata Menperin
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019
"Soal Hyundai, kita masih di tengah-tengah negosiasi sengit mengenai paket insentif yang bisa kita berikan," katanya dalam paparan realisasi investasi di Jakarta, Selasa.
Thomas menuturkan secara informal pemerintah Indonesia, melalui BKPM memasang tenggat waktu rampungnya negosiasi bisa dilakukan sebelum ASEAN-Korea Summit yang akan digelar di Busan, November mendatang.
Menurut mantan Menteri Perdagangan itu, wajar jika Hyundai masih sengit bernegosiasi dengan Indonesia terkait insentif. Pasalnya, industri otomotif saat ini tengah dilanda guncangan dan penurunan pasar.
Hal itu bisa dilihat dari maraknya aksi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan perusahaan otomotif dunia. Misalnya Nissan yang mem-PHK 12.000 karyawannya hingga Ford yang juga melakukan hal serupa kepada karyawan di Eropa.
"Tahun lalu, tahun pertama dalam sejarah China, volume penjualan mobil turun dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam sejarah China ini tidak pernah terjadi. Jadi secara siklus ekonomi dan siklus otomotif, ini sedang dalam down term, dalam proses diselerasi, bukan akselerasi," katanya.
Thomas menjelaskan industri otomotif juga diguncang revolusi teknologi yang membuatnya harus berusaha keras bertahan. Guncangan teknologi itu antara lain tren ride hailing dan ride sharing seperti Uber atau Grab yang mengurangi kebutuhan kendaraan.
Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan elektrifikasi mobil, terutama di pasar Eropa dan AS.
"Industri otomotif ditimpa biaya untuk merekonfigurasi pabrik mereka yang tadinya memproduksi kendaraan berbahan bakar BBM menjadi pabrik yang memproduksi mobil listrik. Ini yang menyebabkan PHK puluhan, bahkan ratusan ribu karyawan," jelasnya.
Thomas menambahkan ekspektasi konsumen akan kendaraan otonom (kendaraan tanpa pengemudi) juga menjadi tekanan bagi industri otomotif. Maka, pabrikan otomotif juga harus mengeluarkan biaya untuk mengadopsi teknologi tersebut.
"Jadi untuk meng-goal-kan investasi Hyundai KIA membutuhkan investasi cukup 'nendang'. Kita butuh kerja keras untuk meyakinkan mereka bangun pabrik di sini," pungkasnya.
Baca juga: Presiden Jokowi terima Hyundai Motors bahas investasi teknologi masa depan
Baca juga: Hyundai akan jadikan Indonesia basis produksi, kata Menperin
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Barat 2019