Jakarta (ANTARA) - Vietnam dan China, dua negara yang bertetangga, masih harus melakukan pendekatan-pendekatan melalui jalur diplomasi untuk mengatasi perselisihan wilayah yang mereka klaim di Laut China Selatan (LCS) agar tidak menimbulkan ketegangan di antara keduanya atau di kawasan.

Sebagai anggotanya, Vietnam juga berharap banyak pada ASEAN untuk memainkan perannya karena dalam enam bulan pertama tahun 2019, China melakukan kegiatan-kegiatan yang tak sesuai dengan semangat untuk menciptakan LCS sebagai kawasan damai dan stabil.

Langkah lain untuk meningkatkan hubungan, Ketua Majelis Nasional Vietnam Nguyen Thi Kim Ngan mengadakan lawatan resmi ke China pada 8-12 Juli lalu. Hanoi memandang lawatan tersebut sukses besar dengan sejumlah hasil penting. Lawatan itu juga dinilainya sebagai pertanda para pemimpin kedua partai dan negara memperlihatkan kepercayaan politik dan terus melaksanakan konsensus strategis.

Bejing seirama dengan seruan Hanoi bagi peningkatan hubungan kooperatif, bersahabat dan tradisional. Presiden China Xi Jinping menyerukan perlindungan perdamaian dan stabilitas di laut dengan aksi-aksi kongkrit.

Tak bisa disangkal bahwa China merupakan kekuatan besar di kawasan Asia-Pasifik, anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan anggota Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982. Dengan demikian China harus memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menyumbang bagi pelestarian lingkungan yang damai dan stabil, mempromosikan kerja sama dan persahabatan di seluruh dunia dan juga di kawasan LCS.

Di lingkup Asia Tenggara, China tidak hanya menjalin hubungan dengan Vietnam tetapi juga dengan negara-negara anggota lainnya yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Perhimpunan ini beranggota Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Setidaknya tiga negara anggota ASEAN yaitu Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam menghadapi masalah yang sama dengan Vietnam karena mereka memiliki wilayah di LCS. Sebagai salah satu mitra ASEAN, China terikat dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Dalam jangka pendek China dengan kekuatan finansial, ekonomi dan militer yang dimilikinya dapat memperoleh keuntungan tapi dalam jangka panjang negara itu akan menghadapi risiko akibat aksi-aksinya dari negara-negara tetangganya dan tanggapan kolektif dari masyarakat internasional.

Negara-negara di kawasan berusaha sabar dan menahan diri atas kegiatan-kegiatan China yang dinilai tak berdasar hukum di LCS. Apa yang ditunjukkan oleh Vietnam dan negara-negara lain bukan sebagai bentuk kelemahan dan sikap akomodatif mereka, melainkan isyarat kemauan baik.

Dalam pernyataan Ketua Konferensi Tingkat Tinggi ke-34 ASEAN Juni 2019, perhatian dan peran ASEAN di LCS disinggung, termasuk kemajuan positif dalam perundingan-perundingan antara ASEAN dan China mengenai Tata Perilaku (Code of Conduct) dan adopsi “ASEAN Outlook on the Indo-Pacific” yang menyebutkan sentralitas ASEAN, inklusif, komplementer, promosi kerja sama ekonomi regional berdasarkan aturan yang berlaku.

Kritik terhadap ASEAN

Namun, ASEAN dikritik karena berulang-ulang mengeluarkan pernyataan yang terkesan hati-hati menyangkut reklamasi dan kegiatan-kegiatan oleh China di kawasan LCS. Hal tersebut bisa melunturkan kepercayaan, meningkatkan ketegangan dan bisa mengganggu perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan itu.

Pernyataan ASEAN terkait isu LCS tak mencerminkan apa yang terjadi di kawasan maritim dalam enam bulan pertama tahun 2019. Pada Juni, misalnya sebuah kapal China menenggelamkan satu kapal ikan Filipina dekat Reed Bank dan meninggalkan 22 awaknya. Setelah konstruksi pulau buatan dan pembangunan fasilitas militer di pulau-pulau di LCS, China melakukan uji-uji peluru kendali balistik anti-kapal awal Juli.

The Asian Maritime Transparency Initiative (AMTI) melaporkan pada Mei bahwa kapal Pengawal Pantai China (CCG) Haijing 35111 melarang operasi rig minyak Malaysia dekat Luconia Shoals di lepas pantai Serawak, negara bagian Malaysia. Pada Juli China secara illegal mengerahkan Haiyang Dizhi 8 untuk melakukan survei hidrografik di wilayah yang diklaim masuk Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam.

Kapal survei itu dilindungi oleh sedikitnya empat kapal CCG. Sebagai tanggapan, Vietnam, yang menyadari kemampuan kekuatan maritimnya dibandingkan China, mengerahkan sekelompok kapal penjaga pantai dan mengubah cara diplomasinya karena melihat sikap China yang melanggar hukum internasional memasuki wilayah kedaulatannya yang sah. Amerika Serikat mengecam aksi provokatif China itu di LCS dan menyebutnya sebagai ancaman atas keamanan maritim regional dan Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas.

Para pakar mengatakan operasi Haiyang Dizhi 8 dapat mengganggu usaha-usaha kolektif terhadap negosiasi COC dan juga bertentangan dengan narasi untuk menciptakan LCS yang damai dan stabil sebagaimana China suarakan guna menafikan kehadiran kapal-kapal Angkatan Laut AS dan kekuatan-kekuatan AL Barat di kawasan itu.

Professor Carlyle Thayer dari Australia berpendapat sikap China bisa mengundang campur tangan dari kekuatan-kekuatan besar seperti AS, Inggris atau Jepang baik sendiri-sendiri dan dalam institusi-institusi multilateral regional seperti ARF, EAS dan ADMM Plus.

Menurut dia, para pemangku kepentingan di Beijing hendaknya memahami bahwa Vietnam akan bertindak sebagai ketua ASEAN dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tahun 2020. Jika membuat LCS tak stabil, Vietnam akan melobi agar ASEAN bersatu dan membawa isu-isu terkait untuk dibahas di forum-forum multilateral.

Sejarah menunjukkan bahwa Vietnam akan menempuh berbagai cara damai sedapat mungkin guna membela kepentingan sahnya. Vietnam dan beberapa negara regional lainnya tampak frustrasi dengan aksi-aksi agresif dan sombong China. Jika tren it terus berlanjut, China akan kehilangan Vietnam sebagai tetangga yang bersahabat dan membantu.

Baca juga: Amerika Serikat minta Korea Utara contoh Vietnam
 Baca juga: AS-Vietnam selesaikan dialog tentang isu maritim

Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019