Jenewa (ANTARA) - Menteri Kehakiman Filipina, Menardo Guevarra pada Jumat mengatakan pemerintah tak perlu diberitahu oleh siapapun untuk menghentikan eksekusi di luar hukum, karena membunuh tersangka yang tidak melakukan perlawanan tidak pernah menjadi kebijakan.

Pernyataan itu ia keluarkan setelah puluhan negara secara resmi menyeru penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus dugaan ribuan pembunuhan di Filipina saat Presiden Filipina Rodrigo Duterte melakukan perang terhadap peredaran narkoba.

Islandia mengajukan rancangan resolusi yang didukung mayoritas negara Eropa, menurut para pegiat. Rancangan tersebut mendesak pemerintah untuk mencegah eksekusi di luar hukum sekaligus menandai pertama kalinya Dewan HAM diminta untuk membahas krisis tersebut.

Pemerintah Duterte bersikeras bahwa lebih dari 5.000 tersangka pengedar narkoba yang mati di tangan polisi dalam operasi antinarkoba semuanya melakukan perlawanan.

Namun para pegiat mengatakan sedikitnya 27.000 orang tewas sejak Duterte terpilih pada 2016 berdasarkan program penumpasan kejahatan dan bahwa Myka, bocah berusia tiga tahun yang ditembak saat penggerebekan pekan lalu, merupakan korban terbaru.

"Kami tiga tahun kemudian melihat 27.000 orang terbunuh, di antara yang paling miskin dalam penindakan keras secara masif. Itu adalah estimasi konservatif," kata Ellecer "Budit" Carlos dari kelompok iDefend yang berbasis di Manila kepada Reuters.

"Dalam konflik tanpa senjata, ini merupakan kasus pembunuhan di luar proses hukum paling buruk," kata dia setelah mendesak dewan untuk bertindak.

Baca juga: Wali kota di Filipina penyelenggara "Walk of Shame" pengedar narkotika ditembak mati

Forum Jenewa akan melakukan pemungutan suara tentang resolusi tersebut sebelum mengakhiri sidang mereka pada 12 Juli. Filipina termasuk 47 anggota saat ini.

Carlos menambahkan bahwa negara-negara Asia sepertinya tidak menggelar pemungutan suara untuk mendukung rancangan tersebut, menambahkan: "Saya rasa itu akan berbahaya."

Salah satu duta besar Asia, yang identitasnya dirahasiakan, mengindikasikan bahwa negaranya tidak akan mendukung itu, mengatakan kepada Reuters: "Ada hal-hal buruk terjadi di dunia."

Namun pegiat mengatakan Dewan dan kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet harus menjelaskan situasi ini.

Baca juga: Duterte perintahkan polisi untuk kembali terlibat dalam perang narkoba

"Bagi kami prioritas utama di sidang ini adalah situasi di Filipina," kata Laila Matar dari Human Rights Watch.

"Banyak jasad menumpuk di Manila dan sejumlah daerah perkotaan lainnya, lagi-lagi dalam konteks perang terhadap narkoba yang kami lihat adalah perang melawan masyarakat miskin, melarat dan terpingggirkan, yang menjadi korban paling banyak," ungkap dia.

Itu terjadi dalam konteks yang lebih luas dalam "serangan terhadap pembela HAM, aktivis media, wartawan, dan siapapun yang benar-benar lantang berbicara melawan pembunuhan," tambahnya.


Baca juga: Survei: 90 persen warga Filipina dukung perang narkoba Duterte

Sumber: Reuters
 

Penerjemah: Asri Mayang Sari
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019