Jakarta (ANTARA) - Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Hafidz Arfandi mengatakan pemerintah perlu mendorong banyak insentif agar sektor industri bisa tumbuh sehingga berdampak pada naiknya kapasitas ekspor nasional.

"Tanpa itu kita akan dihadapkan pada cadangan devisa yang minim dan selalu bergantung pada faktor eksternal," kata Hafidz Arfandi saat dihubungi ANTARA, di Jakarta, Minggu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada April 2019 defisit neraca dagang Indonesia tercatat sebesar 2,5 miliar dolar AS akibat memburuknya kinerja ekspor.

Baca juga: Pelemahan ekspor dorong defisit April 2019

Hafidz menambahkan ke depan pemerintah juga perlu memperbaiki fundamental dalam struktur perekonomian nasional, terutama di sektor migas karena selama ini masih bergantung dari impor.

"Pada Q1 2019 kita defisit perdagangan migas sampai 2,7 miliar dolar AS," katanya.

Ketegangan yang terjadi di Timur Tengah, menurut dia, mengakibatkan harga minyak terus terkerek naik yang akan memperlebar defisit neraca perdagangan Indonesia.

Selain itu, Hafidz juga menyarankan pemerintah memperhatikan sektor non migas yang pertumbuhan impornya jauh lebih cepat dibandingkan ekspor.

"Ini juga perlu perhatian khusus untuk membenahi industri," imbuhnya.
Baca juga: Menkeu upayakan defisit anggaran terjaga 1,84 persen terhadap PDB
Baca juga: Agresifitas FTA dinilai bukan solusi memperbaiki neraca perdagangan

 

Pewarta: Yogi Rachman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019