Ajaran ini sudah kami ikuti puluhan tahun dan ada dasar yang menjadi acuannya. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi mengklaim pihak lain sebagai aliran sesat,
Tulungagung, Jatim (ANTARA) - Jamaah Al Muhdlor mayoritas enggan diliput media saat menggelar shalat id awal karena masih trauma dengan pemberitaan yang berpotensi memicu kontroversi dan polemik di tengah masyarakat.

"Dari dulu kami tidak mau diberitakan. Pernah suatu kali diliput namun kemudian memicu polemik di masyarakat," ujar Habib Hamid Bin Ahmad Al Muhdlor, pengasuh pondok modern Al Khoiriyah di Desa Wates, Kecamatan Sumbergempol, Tulungagung, Senin.

Sekitar tahun 2008, pemberitaan akan aktivitas shalat Id yang dilakukan tiga hari lebih cepat dari umat Islam pada umumnya saat itu telah mendorong MUI Tulungagung bereaksi.

Ajaran Al Muhdlor dinilai sesat. Acuan pelaksanaan awal puasa dan awal Lebaran yang lebih cepat dianggap tidak berpatokan ilmu Falaq yang benar.

Melainkan disebut MUI hanya berdasar wahyu yang diterima dari imam besar mereka, yakni Habib Ahmad.

"Ajaran ini sudah kami ikuti puluhan tahun dan ada dasar yang menjadi acuannya. Tidak perlu diperdebatkan, apalagi mengklaim pihak lain sebagai aliran sesat," tegasnya.

Pernyataan MUI saat itu dan juga beberapa ormas yang menyudutkan penganut ajaran Al Muhdlor kala itu membuat situasi para jamaah yang menimba ilmu ataupun menjadi pengikut setia merasakan situasi tidak nyaman.

Hubungan dengan lingkungan sekitar yang mayoritas warga Nahdliyyin tegang. Kegiatan mereka juga terus diawasi, oleh MUI, warga dan juga aparat keamanan.

Sampai-sampai, dan beberapa pelaksanaan shalat taraweh hari pertama Ramadhan dan shalat Id, aparat keamanan harus berjaga.

Hal itu untuk mengantisipasi gesekan ataupun benturan antarumat di Desa Wates atau Tulungagung dalam skala luas.

"Oleh sebab itu tidak perlulah diberitakan diberitakan segala. Kalau ibadah (shalat id) tidak usah, tapi kalau ada kegiatan lain terkait yayasan yang tidak berhubungan dengan ritual jamaah Monggo (diliput)," ucap Habib Hamid menolak permintaan peliputan oleh Antara dengan bahasa halus.

Kendati berbeda keyakinan soal waktu awal Ramadan dan Lebaran, ia memastikan pondoknya sangat Pancasila. Di tugu pintu masuk area pondok bahkan terpasang bendera NKRI dan perlambang Garuda Pancasila.

Dalam melakukan rutinitas ibadah, penganut ajaran Al Muhdor sebenarnya melakukan ritual ibadah seperti umat Islam pada umumnya. Khususnya tradisi Nahdliyyin.

Hal itu tak lepas dari latar belakang pendiri pondok pesantren kuno yang didirikan Habib Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdlor yang dibesarkan di lingkungan NU.

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko
Editor: Hendra Agusta
Copyright © ANTARA 2019