Karena hal itu akan berisiko membuat masyarakat memercayai hoaks (kabar bohong) dan tidak percaya pada lembaga resmi yang kredibel
Denpasar (ANTARA) - Ya, media massa mengajari publik untuk mengkritisi (kritis terhadap kebijakan eksekutif/legislatif yang merugikan publik), namun media sosial justru mengajari publik untuk mengolok-olok (caci maki/hujatan) yang menabrak konstitusi dan bahkan mengoyak kebhinnekaan.

Untuk itu, Dewan Pers melontarkan "peringatan" kepada media massa agar tidak terbawa arus "olok-olok" itu. Caranya, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo meminta media massa terkemuka (mainstream) untuk tidak menjadikan media sosial sebagai rujukan.

"Karena hal itu akan berisiko membuat masyarakat memercayai hoaks (kabar bohong) dan tidak percaya pada lembaga resmi yang kredibel," katanya dalam 'workshop' "Peliputan Pasca-Pemilu oleh Media" yang diselenggarakan Dewan Pers di Denpasar, 9 Mei 2019.

Dalam acara yang melibatkan Ketua KPU Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan serta dihadiri organisasi media dan puluhan pimpinan redaksi media massa se-Bali itu, ia menjelaskan bahwa informasi tidak benar dari medsos akan dipercaya masyarakat bila dimuat media massa.

"Indikasi media massa terbawa 'arus' medsos sudah ada. Kasus jutaan tenaga kerja asal Cina dan pernyataan Pak Wiranto akan menutup media massa merupakan bukti dari indikasi itu, padahal informasinya hanya berbasis 'talking news' dan bukan presisi (berbasis data/akurasi)," ucapnya.

Sejatinya, pernyataan Presiden Jokowi adalah "Pemerintah akan mendatangkan 10 juta wisatawan Cina", namun dipelintir medsos menjadi "Pemerintah akan mendatangkan 10 juta tenaga kerja Cina" dan celakanya pelintiran itu diambil media massa tanpa verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi.

Akhirnya, pemerintah melalui Jubir Johan Budi pun kelabakan untuk meluruskan dengan waktu yang cukup lama hingga lebih dari 2,5 bulan, termasuk pihak Imigrasi yang perlu menegaskan bahwa keluar-masuknya WNA itu selalu memakai perizinan Imigrasi dan kedatangan 10 juta tenaga kerja Cina itu tidak ada.

"Yang mengkhawatirkan informasi bantahan itu masih dipelintir oleh medsos bahwa Imigrasi ada di pihak pemerintah sehingga informasinya bisa bias. Kalau lembaga resmi yang kompeten seperti Imigrasi saja tidak dipercaya, maka semuanya bisa kacau. Itulah akibat dari informasi medsos yang dipelintir, tetapi justru dipakai media massa hingga bergulir ke mana-mana," tuturnya.

Hal yang sama juga terjadi pada pernyataan Menkopolhukam tentang rencana menutup media massa. "Informasinya sesungguhnya adalah 'Pemerintah akan menutup akun abal-abal yang menghina pejabat'," ungkapnya.

Namun, informasi "talking news" itu dipelintir medsos menjadi "Pemerintah akan menutup media massa yang menghina pejabat" sehingga menjadi ramai. "Padahal, media massa itu urusan Dewan Pers. Kalau akun abal-abal, memang menjadi ranah Kemkominfo," ujarnya.

Pola yang kurang lebih sama juga dikhawatirkan Dewan Pers akan terjadi menjelang "final" Pemilu 2019, karena itu Dewan Pers mengingatkan media massa untuk bersikap hati-hati dan tidak merujuk medsos, karena dampaknya bisa lebih parah daripada pernyataan kedua pejabat negara yang dipelintir itu yakni bisa merobohkan tatanan kenegaraan yang sudah berdasarkan Konstitusi.

"Pemilu itu mirip tinju. Kalau lawannya KO, akan selesai. Akan tetapi, kalau lawannya tidak KO, semua petinju akan merasa menang dan terkadang pelatih juga membenarkan petinju yang dilatihnya, padahal hasilnya bukan ditentukan pelatih atau wasit, melainkan juri. Juri dalam tinju itu ada tiga orang yang menilai angka-angka dalam pertandingan," jelasnya.

Dalam Pemilu 2019, dia meminta media massa untuk menyelamatkan demokrasi dengan mendorong "hasil akhir" kepada juri, yakni KPU. "Bukan kepada 'quick count' dari lembaga survei, tim internal, atau pihak lain. Pihak yang berhak mengumumkan siapa pemenang dalam tinju adalah juri, dan siapa yang menang dalam pemilu adalah KPU. Kalau yang lain berarti inkonstitusional," katanya.

Untuk menyelamatkan demokrasi dan konstitusi itu, ia meminta media massa untuk berhati-hati dalam urusan tatanan kenegaraan agar tidak terjebak pada "inkonstitusionalisme" (sikap menentang konstitusi bersama), karena saat ini hanya media massa mainstream yang masih dapat menjadi acuan masyarakat untuk menyelamatkan bangsa dan negara.

"Kita masih bisa optimistis karena masih ada media massa yang berpihak pada publik dan publik juga masih lebih memercayainya," kata Yosep yang sempat menyampaikan saran perlunya pimred diganti bila media massa menggunakan medsos tanpa verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi, seperti yang terjadi pada kedua pejabat negara diatas.

"Inkonstitusionalisme Online"

Dampak dari adanya media massa yang "merujuk" medsos yang terbukti memantik perdebatan liar di medsos itu justru menjadi alasan penting bagi media massa untuk menyelamatkan demokrasi dari tindakan inkonstitusional yang memanfaatkan daring/online atau "inkonstitusionalisme online".

Untuk penyelamatan demokrasi itulah, media massa harus menyelamatkan konstitusi dengan menjaga KPU dari tindakan inkostitusional yang menyerang "juri" (penyelenggara) secara daring/online, baik yang dilakukan pelatih (tim internal) maupun wasit (tim eksternal) yang tidak memiliki kewenangan konstitusional terkait "hasil akhir" Pemilu, apalagi "suporter" (massa).

Sejumlah pakar hukum tata negara, seperti Prof Yusril Ihza Mahendra, sudah menegaskan bahwa konstitusi sudah mengatur kewenangan untuk mengumumkan "hasil akhir" Pemilu ada pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bila ada keberatan pun sudah ada mekanisme secara konstitusional. "Kalau tidak ada keberatan berarti selesai, karena mekanisme hanya itu," kata Prof Mahfud MD.

Jika dinilai ada kekurangan dalam proses pemilihan, maka keberatan bisa diselesaikan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk adanya pernyataan dari capres Prabowo Subianto yang siap menolak "hasil" yang belum diumumkan KPU, karena dinilai adanya kecurangan.

"Kami masih menaruh harapan kepada KPU, tapi sikap saya jelas saya akan menolak hasil penghitungan yang curang. Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran dalam penyelenggaraan Pemilu ini," kata capres 02 Prabowo Subianto dalam orasinya pada acara "Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pemilu 2019", di Jakarta, 14 Mei 2019.

Prabowo mengingatkan kepada insan-insan anggota KPU bahwa masa depan bangsa Indonesia ada di pundak komisioner KPU. "Kau (KPU) yang harus memutuskan. Kau yang harus memilih menegakkan kebenaran dan keadilan atau meneruskan kebohongan dan ketidakadilan. Kalau ketidakadilan, maka kau mengizinkan penjajahan rakyat Indonesia," kata Prabowo.

Dalam pemaparan fakta-fakta kecurangan, tim teknis BPN menyampaikan pemaparan mengenai berbagai kecurangan yang terjadi sebelum, saat pemungutan suara, dan sesudahnya, di antaranya daftar pemilih tetap (DPT) fiktif, politik uang, penggunaan aparat, surat suara tercoblos hingga salah hitung di "website" atau laman KPU.

Selain menolak proses penghitungan suara KPU, BPN Prabowo-Sandi juga menilai kecurangan Pemilu 2019 bersifat terstruktur, sistematif, dan masif atau biasa disingkat TSM, karena itu BPN mendesak Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dihentikan. Permintaan penghentian Situng dan penghitungan suara Pemilu telah disampaikan lewat surat ke KPU.

"Ini bukti bahwa kami memang menyampaikan secara apa adanya, komprehensif, holistik, dan terbuka. Kami juga telah melaporkan temuan itu ke Bawaslu, namun Bawaslu tidak berdiri sendiri, karena ada Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang di dalamnya ada Kejaksaan dan Kepolisian," kata anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ahmad Riza Patria, di Jakarta (13/5/2019).

Senada dengan itu, Tim pakar BPN Prabowo-Sandi, Laode Kamaluddin, di Jakarta (15/5), mengatakan Prabowo-Sandi mengungguli pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin jika berdasarkan penghitungan formuli C1 hingga Selasa (14/5) pukul 00.00 WIB.

"Jokowi-Ma'ruf memperoleh 44,14 persen atau 39.599. 832 suara, sementara pasangan Prabowo-Sandi 54,24 persen atau 48.657.483 suara. Hasil perolehan suara tersebut berdasarkan penghitungan dari 444.976 TPS atau 54,91 persen," klaimnya.

Oleh karena itu, dia pun bersedia jika ada pihak yang ingin mengadu data dengan BPN terkait dengan perolehan data suara ini. "Kalau ada yang mau menantang ini, silakan, mari adu data saja. Inilah angka-angkanya yang kami miliki. Data ini bisa dipertanggungjawabkan," kata Laode.

Agaknya, adu data itu harus diproses melalui konstitusi yakni dilaporkan ke Bawaslu atau MK. Dalam kaitan itu, KPU pun sudah memberi kesempatan untuk menolak sejak ada pengumuman pada 22 Mei 2019 hingga 27 Mei 2019. Bila tidak ada keberatan, maka KPU akan menetapkan hasilnya pada 28 Mei 2019.

Itulah konstitusi. Siapapun tidak boleh menabrak konstitusi itu, karena KPU merupakan lembaga resmi yang dipilih berdasarkan "pemilihan" di DPR yang didalamnya juga melibatkan tokoh Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS, bahkan komisioner KPU juga didominasi kelompok mereka, lalu proses pemilihan di tingkat TPS pun melibatkan saksi-saksi dari para capres dan parpol. Jadi, semuanya harus dikembalikan kepada KPU sebagai "juri" Pemilu 2019.

"Penyebabnya adalah rumitnya penghitungan perolehan suara pileg DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten, sehingga banyak petugas penyelenggara (KPPS) meninggal dunia. Yang paling berat itu sebenarnya tiga sistem yang tergabung itu (presiden, DPD, DPR/DPRD), apalagi sistemnya terbuka, jadi banyak, nama pun harus dicatat, sehingga rumit, karena itu yang terpenting adalah evaluasi, bukan mundur lagi. Evaluasinya, pemisahan jenis pemilu dan sistem proporsional tertutup untuk pileg," papar politisi senior yang juga Wapres Jusuf Kalla di Jakarta (13/5/2019).

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019