Jakarta (ANTARA) - Raksasa internet Google khawatir undang-undang anti-berita palsu yang dikeluarkan parlemen Singapura akan memperlambat inovasi.

Parlemen Singapura, seperti diberitakan Reuters, mengesahkan Undang-undang Perlindungan dari Pemalsuan dan Manipulasi, sebuah peraturan yang dikritik oleh kelompok sayap kanan, jurnalis dan perusahaan teknologi karena dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan berekspresi.

Undang-undang tersebut muncul saat Singapura berusaha menjadi pusat inovasi digital di kawasan Asia Tenggara.

"Kami tetap khawatir undang-undang ini akan melukai inovasi dan pertumbuhan ekosistem informasi digital," kata Google kepada Reuters.

"Merupakan hal penting bagaimana undang-undang ini diterapkan dan kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan pembuat kebijakan dalam proses ini," kata Google.

Undang-undang ini mengharuskan platform media online untuk memberikan koreksi atau menghapus konten yang dinilai pemerintah salah. Pelanggaran terhadap aturan ini akan dikenakan hukuman penjara paling lama 10 tahun atau denda hingga 1 juta dolar Singapura.

Singapura khawatir berita palsu akan mengganggu posisi mereka sebagai penghubung finansial global dan populasi mereka yang terdiri dari berbagai etnis dan agama.

Menteri hukum Singapura menyatakan undang-undang ini tidak akan mengganggu kebebasan berekspresi.

Wakil Direktur Kebijakan Publik Facebook Asia Pasifik, Simon Milner, menyatakan khawatir undang-undang tersebut akan memaksa mereka menghapus konten yang dinilai palsu dan mendorong agenda pemerintah ke pengguna mereka.

Hubungan Facebook dengan Singapura menegang tahun lalu karena platform jejaring sosial tersebut menolak menghapus artikel mengenai bank milik negara dan skandal 1MDB Malaysia. Artikel tersebut dinilai pemerintah Singapura "palsu dan berbahaya".


Baca juga: WhatsApp siapkan fitur kenali spam

Penerjemah: Natisha Andarningtyas
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019