Jakarta (ANTARA) - Beberapa bulan silam, ketika berkunjung ke Jakarta, indonesianis Prof R. William Liddle menyaksikan sekaligus mengapresiasi pembangunan infrastruktur transportasi modern, baik MRT (moda raya terpadu) maupun LRT (lintas rel terpadu) di era Presiden Joko Widodo.

“Saya nanti naik kereta MRT juga LRT di sini,” kata guru besar ilmu politik dari Ohio University, Columbus, AS itu kepada para sahabatnya di Jakarta.

Pernyataan mengenai komitmen pengamat politik Indonesia itu untuk menjadi penikmat MRT dan LRT tentu memiliki nilai promotif tersendiri.

Kini MRT itu sudah dioperasikan dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Peresmian itu menandai era baru bagi jagat transportasi massal modern di Ibu Kota, yang perencanaannya digulirkan sejak sekitar empat dasawarsa silam itu.

Betapa jauhnya jarak waktu antara perencanaan dan perwujudan atau realisasi pembangunan MRT itu. Di rentang waktu yang mencakup masa enam presiden RI itu, momen 2013 adalah yang paling menentukan.

Siapa penentu utama pengambil keputusan politik untuk memulai MRT? Bukan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang tinggal kurang lebih satu tahun menduduki jabatan kepresidenannya. Tapi Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama, yang menerobos keengganan pejabat publik untuk memulai membangun transportasi massal cepat berbasis rel di Jakarta.

Berlarut-larutnya pembangunan MRT sejak direncanakan itu antara lain akibat terfokusnya pemikiran para pejabat publik pada aspek ketidakekonomisan membangun MRT. Mereka selalu berpandangan bahwa membangun MRT itu tak ekonomis, pasti merugi.

Argumen lain, yang mengakibatkan MRT tak dibangun segera, adalah masuknya politik transportasi yang dipengaruhi oleh kuatnya lobi pengusaha otomotif non-rel.

Pembangunan MRT yang masif dan sukses dikhawatirkan mematikan para pengusaha otomotif. Itu sebabnya mereka yang berkepentingan dengan pertumbuhan industri otomotif, khususnya kendaraan pribadi, diduga ikut ambil bagian dalam pelambatan pembangunan MRT.

Semua rintangan itu disingkirkan lewat keputusan politik Jokowi dan wakilnya saat menjadi pengambil keputusan urusan publik di Ibu Kota. Jokowi berargumen bahwa transportasi publik memang tak menguntungkan buat negara, setidaknya dalam perspektif hitungan ekonomi jangka pendek.

Namun, dengan semakin parahnya kemacetan di Jakarta dan sekitarnya, pemborosan akibat kemacetan parah itu bernilai triliunan rupiah setiap tahun. Daripada uang terbuang percuma di jalan akibat kemacetan, mending penghematan uang itu untuk membangun MRT, kata Jokowi.

Pengoperasian MPR tahap pertama di Jakarta adalah batu pijakan untuk membangun sistem transportasi umum yang efisien dan terjangkau oleh rakyat, terutama oleh golongan masyarakat bawah.

Itu sebabnya, tarif yang akan diberlakukan mau tak mau harus terjangkau oleh kantung saku orang banyak. Bagaimana menghitung tarif yang ideal buat naik MRT Jakarta itu? Tentu pihak pengoperasi MRT punya rumusan ekonomi tersendiri.

Namun, jangan sampai dalam merumuskan tarif tiket naik MRT itu memasukkan unsur kapitalistik, dengan memperhitungkan faktor kapan modal harus balik alias impas. Negaralah yang harus membiayai, mensubsidi tarif MRT sehingga tujuan utama pembangunan MRT bisa terwujud.

Jika mengambil perbandingan tarif tiket transportasi umum antara bus umum (bukan yang premium) dan kereta bawah tanah yang diberlakukan oleh Wali Kota London, rasionya secara umum harga tiket kereta bawah tanah (untuk zona1 atau jarak pendek) tak lebih dua kali lipat dari tiket bus umum.

Dengan perbandingan kasar itu, cukup layak dan terjangkaulah buat warga Jabodetabek jika harga tiket MRT Jakarta kelak paling mahal Rp7.000,- atau setara dengan harga 2X tarif bus Transjakarta yang sekali masuk senilai Rp3.500.

London yang memulai transportasi massal kereta bawah tanah sejak 1960-an berhasil membuat lalu lintas di kota itu bebas dari kemacetan parah. Kultur berjalan kaki dari rumah menuju stasiun kereta atau halte bus lalu dilanjutkan lagi jalan kaki ke kantor bukan saja membuat warga hidup sehat tapi juga mengurangi polusi asap kendaraan pribadi yang membludak.

Jakarta tentu perlu waktu sekian puluh tahun lagi untuk sampai pada situasi seperti kota-kota di negara maju yang sistem transportasinya relatif murah, nyaman dan bebas dari kemacetan yang membuat warga stres dan tua di jalan.

Sekalipun demikian, tonggak baru dunia transportasi umum modern di Jakarta telah dimulai. Fase pertama yang menghubungkan stasiun MRT Lebak Bulus- Bundaran HI sepanjang 16 kilometer dan akan dilanjutkan ke fase kedua yang menghubungan antara stasiun Bundaran HI-Kampung Bandan sejauh 8,3 kilometer.

Ada yang pantas disyukuri jika cita-cita Jokowi untuk menjadikan transportasi berbasis rel dan jalan bisa terintegrasi tanpa harus membayar dua kali bisa terealisasi kelak.

Setidaknya, jika hal itu terealisasi, warga London yang sudah menikmati transportasi umumnya yang nyaman dan terjangkau akan sedikit iri. Sebab, setiap mereka keluar dari stasiun, untuk melanjutkan dengan naik bus umum, mereka perlu mengeluarkan lagi uang buat tarif bus.

Di benak Jokowi, membayar dua kali seperti itu tidaklah perlu ketika halte MRT, LRT dan bus TransJakarta sudah terintegrasi.
Keputusan politik yang memberikan kenyamanan publik seperti itulah yang membenihkan optimisme rakyat dalam menapaki masa depan.*


Baca juga: Anies masih tunggu kesepakatan DPRD terkait tarif MRT

Baca juga: Rangkaian MRT menjadi 16 setelah April


 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019