Sangatlah tidak baik ketika dana publik digunakan untuk memadamkan api yang bersumber dari perusahaan
Pekanbaru (ANTARA) - Organisasi lingkungan hidup Greenpeace  mengungkap ada indikasi kuat kebakaran lahan gambut sedang terjadi secara massif di dalam area konsesi perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rusmadya Maharuddin ketika dihubungi ANTARA dari Pekanbaru, Rabu, mengatakan indikasi kuat itu didapatkan dari hasil analisis titik koordinat dari foto dokumentasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait pemadaman kebakaran lahan di daerah Pangkalan Terap Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

Pada foto yang diambil pada tanggal 12 Maret 2019 itu, didapatkan lokasi kebakaran pada titik koordinat 0º11’43”, 102º18’36” dan 0º11’54”, 102º18’48”. Ketika dicek melalui citra satelit dan dipadukan dengan data peta Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit yang dimiliki Greenpeace, lokasinya berada di dalam konsesi PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS), katanya.

“Memang benar lokasi koordinat itu di PT  Sumber Sawit Sejahtera, PT. SSS itu. Dari hasil ‘fire monitrong’ yang kita lakukan juga, itu ternyata di PT  SSS ini tahun 2014, 2015 itu kebakaran juga. Kemudian di tahun 2018 sama 2019 sekarang ini juga kita temukan kebakaran juga,” kata Rusmadya.

Greenpeace mendorong Pemerintah Indonesia melakukan tindakan hukum kepada perusahaan yang mengalami kebakaran di dalam konsesi yang berulang-ulang seperti PT SSS.

“Lokasinya di dalam konsesi yang sama, ada juga di beberapa titik itu di lokasi atau di sekitar lokasi yang sebelumnya (kebakaran) juga,” lanjutnya.


Dari kondisi yang terlihat di lapangan, lanjutnya, ada indikasi kuat bahwa kebakaran yang diduga di dalam konsesi PT SSS merupakan bentuk penyiapan lahan untuk ditanami (land clearing).

“Kalau kita lihat dari penyiapannya, kesan penyiapan lahan itu. Karena itu HGU, jadi itu persiapan lahan mau ditanam, dong. Dari hamparan di foto itu, kesannya seperti penyiapan lahan untuk penanaman komiditi tertentu,” katanya.

Menurut dia, pada Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa jika ada kegiatan atau usaha yang menimbulkan dampak lingkungan yang serius, maka itu jadi tanggung jawab mutlak perusahaan pemegang izin.

Selain itu, ia mengatakan Undang-undang tentang Kehutanan juga menyatakan tanggung jawab pemilik konsesi untuk melindungi areal kerjanya dari kebakaran.

Ia menilai penyebab kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terus berulang, salah satunya akibat penegakan hukum.

“Karena kita tahu kalau hukum benar-benar ditegakkan, itu jadi faktor untuk mencegah Karhutla karena akan ada efek jera,” katanya.

Ia mengatakan, semua pihak seharusnya bisa mengambil pelajaran dari kerugian besar Karhutla 2015 yang nilainya hampir mencapai Rp220 triliun, dan penanganan Karhutla untuk persiapan Asian Games 2018 di Provinsi Sumatera Selatan hampir mencapai Rp1 triliun.

Pendekatan reaktif berbiaya besar itu seharusnya bisa digunakan pemerintah untuk dialokasikan ke peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat.

“Tanggung jawab terhadap areal adalah pada pemegang konsesi, pemadaman kebakaran adalah harus perusahaan. Sangatlah tidak baik ketika dana publik digunakan untuk memadamkan api yang bersumber dari perusahaan, yang justru harusnya mencegah terjadinya kebakaran itu, justru sebaliknya menimbulkan kerugian kepada publik,” ujarnya.

Berdasarkan data Satuan Tugas (Satgas) Siaga Darurat Karhutla Riau, luas lahan yang terbakar dari 1 Januari hingga Maret ini mencapai kurang lebih 1.766,91 hektare (Ha).

Wakil Komandan Satgas Siaga Darurat Karhutla Riau, Edwar Sanger dalam siaran pers  menyatakan, hingga Selasa (18/3) operasi pemadaman dari darat dan udara terus dilakukan di Pangkalan Terap Kecamatan Teluk Meranti, Pelalawan.

Satu helikopter Kamov bantuan BNPB ikut melakukan upaya pemadaman di daerah itu. Laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pelalawan menyatakan pemadaman kebakaran lahan di Pangkalan Terap dari darat melibatkan banyak personel.

Antara lain terdiri dari 96 personel Polri, 11 BPBD Provinsi Riau, 5 Regu Pemadam Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau, 10 BPBD Pelalawan, dan enam Regu pemadam Dinas Perkebunan Pelalawan. Sementara itu, laporan dari Polres Pelalawan menyatakan dalam tim gabungan di darat juga ada 30 personel TNI, lima Satpol PP, 15 Manggala Agni KLHK, 60 orang dari PT SSS dan 11 Team Fire dari PT. RAPP.

Namun, sejauh ini Satgas Karhutla Riau belum menyatakan bahwa kebakaran lahan di Pangkalan Terap masuk dalam konsesi PT SSS. Kepala Dinas Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Provinsi Riau, Ferry HC Erna Putra ketika dikonfirmasi menyatakan masih menunggu laporan dari pegawainya untuk memastikan apakah titik koordinat dari dokumentasi BNPB benar berada di dalam HGU PT SSS.

“Hari ini kegiatan padat sekali,” kata Ferry ketika dihubungi  dan berjanji akan segera menindaklanjuti laporan tersebut.

Terkait penegakan hukum, dalam laporan Satgas Siaga Darurat Karhutla Riau tertulis ada enam kasus dugaan pembakaran lahan yang sedang ditangani pada tahun ini, antara lain di Kota Dumai ada empat kasus, dan Bengkalis serta Meranti masing-masing satu kasus. Penanganan kasus dilakukan oleh jajaran Polda Riau.

Seluruh kasus tersebut merupakan tersangka perseorangan yang melibatkan warga biasa. Polisi sudah menetapkan enam orang tersangka dan lima orang sudah ditahan, antara lain di Bengkalis satu tersangka, dan sisanya merupakan tersangka di Dumai. Kemudian ada satu tersangka sudah dalam proses penyidikan tahap II dan diserahkan ke Kejaksaan yakni untuk kasus kebakaran lahan di Meranti.

 

 Baca juga: Luas kebakaran hutan dan lahan di Riau 1.761 hektare
Baca juga: Setelah padam, upaya pencegahan karhutla diperkuat di Riau

 

Pewarta: FB Anggoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019