Jakarta (ANTARA) -
Apa sesungguhnya pesan dibalik kesenian reog Ponorogo? Tentunya ada makna tersirat lebih dari sekedar keindahan yang mampu ditangkap pancaindra? Mampukan kita menerkanya?
Kesenian rakyat ini telah tercatat dalam prasasti Kerajaan Kanjuruhan (kini Malang, Jawa Timur) bertarih 760 Masehi saat Gajayana berkuasa, lalu terekam juga dalam salah satu prasasti Kerajaan Kediri dan Jenggala tahun 1045 Masehi.

Sebagai layaknya sebuah pertunjukan, reog Ponorogo dapat dinilai aspek-aspek keindahannya. Penilaian tersebut dapat dikulik lewat kesatuan dan harmoni antara musik dan tari. Dapat pula ditinjau dari aspek kontras peran para tokohnya.

Selain itu juga dapat dilihat dari aspek keterpaduan dan keseimbangan antar bagian tarian pembuka, tarian inti dan adegan singo barong.

Atraksi singo barong menampilkan kekuatan dan kelincahan pemain bertopeng raksasa.

Topeng yang didesain untuk dibawa dengan cara digigit itu berbentuk kepala singa bermahkota bulu burung merak yang beratnya luar biasa, sekitar 50 hingga 60 kilogram.

Reog Ponorogo telah mendapatkan sertifikat hak cipta, paten, dan merek dari Departemen Kehakiman RI Nomor 013195 tanggal 12 April 1995, lalu sejak tahun 1997 diselenggarakan Festival Reog Nasional (FRN).

Bagaimana menerka pesan tersirat suatu produk budaya? Pasti tidak terlalu mudah. Perlu banyak kajian dari sisi sejarah, antropologi budaya serta studi tentang filsafat etika dan aestetika.

Sebuah disertasi menarik milik Asmoro Achmadi dari Universitas Gadjah Mada (2012) mengupas tentang hal itu. Disertasi tersebut berjudul “Reog Ponorogo Dalam Tinjauan Aksiologi, Relevansinya Dengan Pembangunan Karakter Bangsa”.

Menurut Asmoro Achmadi, kesenian reog Ponorogo memiliki keterkaitan dengan perjuangan Raden Katong untuk mendirikan kota Ponorogo, Jawa Timur di tahun 1486. Raden Katong adalah bupati pertama Ponorogo yang masih memiliki garis keturunan dari Raja Brawijaya V.

Raden Katong adalah penyebar agama Islam pertama di Ponorogo, perjuangannya kini terlihat dari banyaknya pondok pesantren tradisional dan modern di sana. Raden Katong mendapat julukan Bapak-e Wong Ponorogo.

Disertasi tersebut menegaskan bahwa kesenian reog Ponorogo memiliki sejarah panjang dan menyebutkan beberapa versi asal usul cerita.

Versi pertama adalah Klana Sewandana, raja kerajaan Bantarangin yang melamar putri raja Kediri yakni Dewi Sanggalangit dengan syarat dibuatkan gamelan model baru dan manusia berkepala harimau.

Gamelan tersebut menjadi cikal bakal kesenian reog yang saat itu disebut “Gumbung”.

Versi kedua adalah Ki Ageng Kutu, abdi raja Brawijaya V yang memilih meninggalkan Majapahit karena menganggap Brawijaya V tidak menguasai kerajaan dan lebih dikuasai isterinya.

Kemudian Ki Ageng Kutu mendirikan padepokan Surukubeng di daerah Wengker (wilayah Ponorogo masa lampau) dan melatih ilmu kanuragan melalui permainan Barongan. Barongan dimaksudkan sebagai sindiran terhadap Raja Brawijaya V.

Ternyata sindirin tersebut dianggap sebagai bentuk “mbalelo” atau pemberontakan terhadap Brawijaya V. Nyatanya padepokan Surukubeng susah ditundukkan lalu Brawijaya V mengutus Raden Katong untuk menaklukkan.

Misi tersebut berhasil dan sebagai hadiahnya adalah tanah perdikan Wengker untuk Raden Katong.

Versi ketiga, sebelum Raden Katong menguasai Wengker, Ki Ageng Kutu telah menciptakan Barongan yang menjadi permainan para warok.

Setelah Ki Ageng Kutu berhasil dikalahkan maka Raden Katong memandang perlu melestarikan Barongan sebagai media dakwah Islam.

Barongan yang dahulu dipunyai para warok sekarang menjadi milik masyarakat Ponorogo dan diganti nama menjadi “Reog”.

Kata reog berasal dari kata “riyokun” artinya husnul khatimah, dengan maksud perjuangan Raden Katong dan kawan-kawannya diharapkan menjadi perjuangan yang mendapat ridho Tuhan.

Apa pesan-pesan dibalik seni pertunjukan itu? Mungkin hasil penelitian Asmoro Achmadi dapat dijadikan acuan. Achmadi mengkaji nilai-nilai kesenian reog Ponorogo ditinjau dari “konsep nilai” milik Max Scheler yang meliputi nilai kerohanian, nilai spiritualitas, nilai kehidupan, dan nilai kesenangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenian reog Ponorogo memuat nilai kerohanian atau unsur-unsur batiniah seperti penjiwaan pada setiap pemain reog yang meliputi nilai dakwah, nilai kelestarian, nilai kepercayaan, dan nilai magis.

Selain itu reog Ponorogo memiliki nilai spiritual yaitu memuat hal-hal yang melahirkan gairah dan getaran jiwa yakni nilai budaya, nilai keindahan, nilai moral, nilai seni, nilai simbolik, dan nilai superioritas.

Tata nilai selanjutnya adalah unsur-unsur lahiriah yang berkaitan dengan keperluan hidup keseharian meliputi nilai kepahlawanan, keadilan, dan nilai kesejahteraan.

Yang tidak kalah penting, reog Ponorogo lekat dengan nilai kesenangan yang memuat unsur-unsur pada pembiasan hidup positif meliputi nilai hiburan, nilai kepuasan, nilai kompetitif, nilai material, dan nilai pertunjukan.

Penelitian itu juga menyebutkan bahwa nilai warok dapat ditransformasikan dalam upaya membangun karakter bangsa. Nilai warok tersebut adalah ketangguhan, pemberani, pantang menyerah, dan patriotik.

Lalu apakah tata prinsip yang menjadi landasan hidup itu telah tercermin lewat sikap batin bernama moralitas, beserta aspek fisiknya berupa etiket-etiket dalam tata kehidupan? Ini adalah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.*

*) Penulis adalah alumni Sosek, IPB University Angkatan ke-27.


Baca juga: Reog Ponorogo pukau publik Canberra

Baca juga: Atraksi budaya Indonesia digelar di KRI Bung Tomo


 

Pewarta: Dyah Sulistyorini *)
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019