Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen (Pol) Suhardi Alius meluncurkan empat buku yang merupakan kumpulan catatan dan pengalamannya dalam menangani terorisme.

Dalam rilis yang diterima, Kamis, menyebutkan bahwa buku satu keempat buku ini, yakni buku pertama "Catatan Suhardi Alius: Memimpin dengan hati: Pengalaman Sebagai Kepala BNPT", buku kedua "Catatan Suhardi Alius: Pemahaman membawa bencana: Bunga Rampai Penanggulangan Terorisme", buku ketiga "Catatan Suhardi Alius: Menjalin sinergi: 14 Bulan sebagai Kabareskrim Polri" dan Buku keempat "Catatan Suhardi Alius: Resonansi Kebangsaan: Membangkitkan Nasionalisme dan Keteladanan".

Buku pertama Memimpin dengan hati ini menceritakan kumpulan pengalaman reflektif Suhari Alius selama memimpin BNPT.

Suhardi menceritakan upayanya dalam mengatasi terorisme yang tak hanya menggunakan pendekatan hukum tapi juga melibatkan bahasa hati yang membuahkan kearifan.

Keberhasilan dapat dilihat dalam penerapan Soft Power Approach di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Deli Serdang, Sumatra Utara, yang diasuh mantan teroris, Khairul Ghazali, dan Yayasan Lingkar Perdamaian di Lamongan, Jawa Timur.

Keduanya kini telah menjadi ikon dunia dalam penanganan terorisme. Kemudian, Suhardi juga mempertemukan seratus mantan narapidana teroris dan keluarga korban dalam satu forum bertajuk “Silaturahmi Kebangsaan” yang bertujuan untuk saling memaafkan dan menghapus sejarah kelam masa lalu. Dalam bidang ekonomi, BNPT mendirikan “Pop Warung” di Sukoharjo untuk meningkatkan ekonomi mantan nara pidana teroris dan penyintas.


Buku kedua tentang pemahaman membawa bencana menceritakan tentang munculnya terorisme dengan beragam propaganda, manipulasi, bahkan berkedok agama.

Buku ini menyebut motif ideologi dan kepentingan menyebabkan mereka rela membunuh manusia dengan biadab, memamerkan kebrutalan, dan tanpa hati nurani.

Buku ini berisi catatancatatan Suhardi Alius sebagai Kepala BNPT dalam memandang dan menanggulangi terorisme.

Satu hal yang menarik dibahas dalam buku ini adalah tentang dilema kepulangan "Foreign Terrorist Fighters (FTF)" yang dimulai dari runtuhnya pusat kota ISIS di Mosul dan Raqqa.

FTF kemudian kembali ke negaranya masing-masing dan berpotensi melakukan tindakan teror, termasuk Indonesia seperti yang terjadi pada Bom Surabaya.

Data BNPT, lebih dari 500-an milisi ISIS asal Indonesia pulang ke Tanah Air, dan untuk 2017 saja terdapat 160 FTF (WNI yang pulang dari Suriah) yang dijemput petugas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta dan telah ditangani oleh BNPT.

Buku ketiga menjalin sinergi ini menceritakan pengalaman Suhardi Alius selama menjabat sebagai Kabareskrim Polri.

Sebagai Kabareskim, ia membuat beberapa kebijakan dan langkah strategis yang bersifat fundamental dengan tujuan untuk menyempurnakan sistem yang telah terbangun di Bareskrim Polri.

Salah satu hal yang dibahas dalam buku ini adalah jalinan harmoni sinergisitas antara Bareskrim dan KPK saat itu dalam memberantas korupsi, seperti koordinasi program-program dalam upaya pemberantasan korupsi, koordinasi untuk menyamakan target, dan strategi yang diterapkan di KPK dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Buku keempat Resonansi Kebangsaan ini, Suhardi Alius mencurahkan pemikiran dan kegelisahannya akan realitas dan peristwa yang terjadi dan menggetarkan tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia saat ini.

Derasnya arus globalisasi bak mengikis nasionalisme dan nilai budaya bangsa. Krisis ketelandanan dalam etika politik yang menjadi sorotan publik mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang permisif, tidak punya rasa malu, dan berangsur-angsur kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang bermartabat.

Dalam buku ini, Suhardi menguraikan potensi ancaman terhadap ketahanan nasional baik dari aspek ideologi, politik ,sosial budaya, ekonomi, pertahanan, maupun keamanan dan serta memberikan gagasannya untuk mewujudkan "nation and state building" yang kukuh.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019