Jakarta (Antara) - Presiden Joko Widodo pernah menyebutkan bahwa narkoba sudah menjadi bahaya laten bangsa Indonesia sehingga harus segera diberantas.

Pernyataan Presiden Jokowi itu didukung oleh data yang dipaparkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly, yang menyebutkan bahwa lebih dari 50 persen narapidana penghuni lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan di kota-kota besar merupakan pengguna narkoba.

Yasonna mengungkapkan untuk wilayah Jakarta, jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan adalah 17.513 napi, sementara 78 persen dari jumlah itu adalah narapidana dengan kejahatan yang berhubungan dengan narkotika.

Jumlah terpidana kasus narkoba ini mengalahkan jumlah tindak pidana klasik seperti pencurian, penipuan, hingga pembunuhan.

Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pemasyarakatan) bahkan menyebutkan bahwa mayoritas narapidana yang dibina di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan terkait dengan kasus narkoba.

Hingga Desember 2018 Ditjen Pemasyarakatan mencatat jumlah narapidana di Indonesia mencapai 255.407 narapidana. Sementara itu dari seluruh narapidana yang ada di lapas dan rumah tahanan, narkoba menjadi kasus tertinggi yaitu sebanyak 97.835 narapidana.

Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2017 yang mencatat terdapat 73.168 narapidana kasus narkoba. 

Kasus akibat narkoba tidak berhenti pada meningkatnya jumlah narapidana narkoba, namun juga meningkatnya jumlah narapidana yang terpapar Human Immunodeficiency Virus (HIV), virus yang bisa menyebabkan sebuah kondisi yang disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome).

Data yang dimiliki Ditjen Lapas menyebutkan di Indonesia terdapat 1.042 narapidana yang terpapar HIV akibat narkoba, dan 53 narapidana dinyatakan sebagai penyandang AIDS yang diduga tertular dari jarum suntik yang digunakan untuk mengkonsumsi narkoba.

"Ada yang salah dengan ini semua, yang kita harus cari tahu dan segera membenahinya, karena ancaman narkoba benar-benar sudah memprihatinkan karena daya rusaknya yang luar biasa" ujar Yasonna dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Akibat dari tingginya kasus narkoba dan efeknya yang menghancurkan, Yasonna kemudian mengajak seluruh jajaran institusi penegak hukum dan lembaga terkait lainnya untuk lebih waspada, dan bersama-sama mencari alternatif solusi untuk permasalahan ini.



Menekan permintaan

Tingginya jumlah narapidana narkoba dan penyandang HIV AIDS di Indonesia akibat narkoba menjelaskan bahwa narkoba tidak hanya mampu merusak karakter manusia, merusak fisik, dan kesehatan masyarakat, namun dalam jangka panjang narkoba dapat mengganggu daya saing dan kemajuan bangsa.   

Kondisi ini dikatakan Yasonna terus memburuk bila Indonesia tidak mampu menekan upaya permintaan narkoba, mengingat Indonesia dinilai tidak hanya menjadi pasar narkotika terbesar namun juga memiliki jumlah pengguna terbanyak di Asia.

Upaya menekan jumlah permintaan narkoba ini dinilai sangat penting, karena menurut Yasonna semakin banyak permintaan maka pasokan dan produksi narkoba di Indonesia akan semakin meningkat.

Salah satu cara untuk menekan permintaan itu adalah, seluruh pihak yang menurut aturan adalah pengguna narkoba, harus menjalani masa rehabilitasi, kata Yasonna.

Dengan menjalani rehabilitasi maka pengguna narkoba dapat berangsur-angsur pulih dan menghilangkan rasa candu terhadap narkoba. Keadaan seperti ini diharapkan dapat menekan permintaan pengguna narkoba sehingga peredaran dan pasokan narkoba juga akan mengalami penurunan.

"Kalau orang-orang ini dimasukkan ke dalam lapas, maka ini memicu risiko moral bagi para petugas kita, karena para pengguna ini mampu membujuk sipir untuk memasukkan narkoba ke dalam lapas," jelas Yasonna.

Oleh sebab itu Yasonna menekankan pentingnya bagi semua pihak untuk merubah pola pikir dalam menangani para pencandu narkoba.

Para pengguna dikatakan Yasonna tak ubahnya seperti orang yang menderita sakit kronis, sehingga memerlukan perawatan khusus, yang dalam hal ini adalah rehabilitasi.

"Kita harus ganti pendekatan kriminal menjadi pendekatan kesehatan bagi para pengguna," jelas Yasonna.

Semetara itu bagi para pengedar,  aparat hukum dapat menggunakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menjerat para bandar narkoba.

"Bandar narkoba harus ditekan habis dan dijerat TPPU supaya miskin karena mereka mengedarkan narkoba supaya kaya, para bandar inilah pelaku kriminal yang sesungguhnya," tambah Yasonna.

Terkait dengan rehabilitasi tersebut, Yasonna menilai perlu ada upaya nasional untuk melakukan paket rehabilitasi, dan meminta anggaran yang ditujukan untuk menekan jumlah pengguna, serta kampanye nasional.

Kampanye nasional ini dikatakan Yasonna harus dilakukan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mengenai bahaya narkoba.

"Sekali lagi, karena kalau permintaan rendah pengedar dan pemasok tidak tertarik lagi memasukan barang haram itu," kata Yasonna.



Melebihi kapasitas

Hingga Desember 2018 Ditjen Pemasyarakatan mencatat jumlah narapidana di Indonesia mencapai 255.407 narapidana, sementara total kapasitas lapas di seluruh Indonesia adalah 16.000.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dari jumlah 255.407 tersebut, terdapat 97.835 narapidana kasus narkoba.

Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh mengatakan dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang hanya berjumlah 16.000, mengakibatkan banyak napi yang tidak tertampung dengan baik dan layak.

"Para napi tidak hanya bergantian tidur, tapi mungkin mereka bergantian napas karena penuh sekali," kata Sri Puguh.

Kondisi ini terus mengalami peningkatan, karena tidak hanya pengedar saja yang dipidana dan dikenakan sanksi penjara, namun begitu pula dengan kurir kecil dan pengguna narkoba.

Kemampuan lembaga pemasyarakatan  tidak sebanding dengan masuknya narapidana terutama untuk kasus narkoba. 

Upaya redistribusi juga tidak mungkin dilakukan, mengingat lembaga pemasyarakatan di daerah juga mengalami kelebihan kapasitas.

"Upaya resdistribusi ke daerah juga pasti ditolak, mereka juga kelebihan kapasitas. Saya takut ini akan menjadi bom," kata Sri Puguh.

Melihat kondisi lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang penuh sesak dengan tingginya jumlah narapidana kasus narkoba, Sri Puguh setuju supaya narapidana yang juga merupakan pecandu narkoba harus direhabilitasi.

Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Polisi Heru Winarko menyetujui upaya untuk melakukan rehabilitasi terhadap semua narapidana pecandu narkoba, dengan catatan harus ada penilaian khusus untuk mengetahui pecandu atau pengedar.

Namun, Heru mengingatkan fasilitas rehabilitasi di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas.

Oleh sebab itu Heru setuju supaya fasilitas rehabilitasi narkoba ditingkatkan baik dari pihak swasta maupun dari pemerintah, dengan melibatkan Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan.

"Kami fokus juga di puskesmas supaya tenaga medis di sana mampu memberikan rawat jalan bagi para pengguna yang direhabilitasi," kata Heru.

Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama multidisiplin, multisektor, dan peran serta masyarakat yang aktif secara berkesinambungan, konsekuen, dan konsisten.*


Baca juga: Mencegah sekolah jadi gudang narkotika

Baca juga: Akal bulus penyelundupan narkotika

Baca juga: Penggunaan Napza disebut masuk dalam masalah kesehatan


 

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019