Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di isu lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta pemerintah untuk membatalkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait pelepasan hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit di Buol, Sulawesi Tengah.

Selain itu, Walhi meminta pemerintah menjalankan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit, yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 19 September 2018.

"Harus segera dievaluasi keputusan menteri ini. Kami minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan konsisten menjalankan inpres tersebut," kata Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi dalam konferensi pers Walhi di Jakarta, Rabu.

Keputusan Menteri (Kepmen) yang dipermasalahkan adalah Keputusan Menteri LHK Nomor SK.517/MenLHK/Setjen/PLA.2/11/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Batas Areal Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Atas Nama Hardaya Inti Plantations di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, seluas 9.964 hektare (ha).

Pasalnya akibat diterbitkannya kepmen tersebut, Hardaya Inti Plantations (HIP) pun mendapatkan izin untuk mengelola lahan seluas hampir 10.000 ha di Buol.

Zenzi mengungkapkan sebelumnya pihaknya menyambut baik adanya moratorium sawit melalui penerbitan Inpres tentang Moratorium Sawit. Inpres yang diterbitkan pada September 2018 ini ditujukan kepada delapan kementerian dan pemda untuk menunda dan mengevaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit.

"Tujuan inpres untuk menghentikan pelepasan kawasan hutan yang baru, mengevaluasi perizinan pelepasan kawasan hutan yang lama agar pelanggaran-pelanggaran terhadap perizinan yang lama bisa dibenahi," katanya.

Namun kemudian pada November 2018, Keputusan Menteri LHK Nomor SK.517/MenLHK/Setjen/PLA.2/11/2018 terbit.

"Sepertinya Inpres (Nomor 8 Tahun 2018) itu tidak didengar, tidak dipahami lebih dalam. KLHK tidak menangkap tujuan dari inpres ini, malah menerbitkan SK menteri yang kontradiksi dengan inpres. Dengan penerbitan kepmen itu menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menyelamatkan kawasan hutan," tambahnya.

Pihaknya pun menyesalkan pemerintah tidak mengevaluasi latar belakang PT HIP yang pernah bermasalah dalam pembukaan lahan perkebunan sawit.

"Apalagi perusahaan ini perusahaan yang sudah dipidana kasus suap atas penerbitan izin di wilayah yang sama," katanya.

Pada 2012, mantan Bupati Buol Amran Batalipu pernah menerima uang suap senilai Rp3 miliar dari PT HIP. Hal ini terkait upaya memuluskan pengurusan hak guna usaha (HGU) PT HIP di Buol.

Sebelumnya, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Sigit Hardwinarto sempat mengatakan memang untuk pengajuan izin sebelum Inpres tentang Moratorium Sawit dikeluarkan maka KLHK tetap memprosesnya. Selain itu, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit juga hanya dilakukan pada kawasan hutan yang tidak produktif.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.96/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, yang menyatakan antara lain, permohonan pelepasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) untuk perkebunan kelapa sawit yang telah diajukan sebelum berlakunya Inpres Nomor 8 Tahun 2018 hanya dapat diproses pada kawasan HPK yang tidak berhutan (tidak produktif).


Baca juga: Walhi Harapkan Presiden Evaluasi Pengembangan Sawit

Baca juga: Walhi: Jangan Buka Kebun Sawit di HST

 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019