Hasil kebijakan supply-side era Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang stabil di tengah gejolak ekonomi dunia
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap konsisten menerapkan kebijakan ekonomi dari sisi penawaran (supply-side) hingga akhir masa pemerintahan.
   
Menurut Darmin, hasil dari kebijakan supply-side era Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla selama empat tahun belakangan terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang stabil di tengah gejolak ekonomi dunia.

Hal tersebut juga diikuti oleh indikator sosial yang juga membaik, seperti tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, rasio gini, hingga Indeks Pembangunan Manusia (IPM). 
   
"Artinya, semua kebijakan sudah mengarah pada pembangunan yang berkualitas. Ini capaian yang baik, mengingat karena biasanya pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan perbaikan keadaan sosial. Hal ini adalah suatu prestasi yang baik," ujar Darmin saat menjadi pembicara kunci dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019 di Jakarta, Rabu.
  
Keputusan untuk memprioritaskan kebijakan ekonomi supply-side sudah dilaksanakan sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi-JK, melalui perbaikan infrastruktur, perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kebijakan reforma agraria.

Kebijakan supply-side ini selain lebih mudah dikendalikan, juga mampu membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat secara merata di pedesaan dan perkotaan. 
   
"Pendekatan ini dapat diwujudkan tanpa adanya perpindahan barang dan jasa secara besar-besaran ke luar ataupun ke dalam negeri. Namun, kebijakan demand-side tidak boleh dilupakan dengan tetap mendorong investasi dan konsumsi masyarakat," ujar Darmin. 
   
Darmin menegaskan, fokus kebijakan supply-side terus digalakkan untuk memberikan multiplier effect
yang besar, yang terus diselaraskan dengan program pemerataan ekonomi. 
   
"Infrastrukur akan melahirkan kegiatan-kegiatan baru yang ditransformasikan dari kegiatan lama. Sistem logistik, lanjutnya, juga perlu dibangun juga setelah infrastruktur tersedia. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah supaya membuat pasar pengepul agar konektivitas terbentuk secara sempurna” kata Darmin. 
   
Menanggapi perang dagang Amerika Serikat dan China dan implikasinya ke perekonomian nasional, Darmin memprediksi proyeksi ekonomi Indonesia masih bergantung pada interaksi perang dagang itu sendiri.

Darmin menduga pada 2019 tidak ada lagi interaksi AS-Cina yang yang esktrim. Bahkan, kedua negara akan sadar bahwa perang dagang hanya akan berimplikasi negatif pada perekonomian masing-masing negara. 
   
"Dengan begitu, kami optimis kedepan tingkat inflasi masih berada di titik aman yakni berada level tiga persen. Kami juga melihat bukan sesuatu yang berat untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi di level 5,3 persen, sesuai dengan asumsi makroekonomi APBN 2019," ujar Darmin. 
   
Ketua Asosiasi Pengusaha Kebijakan Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana menambahkan, perekonomian Indonesia telah bergeser menjadi seperti negara Singapura, dimana nilai tambah sektor pertanian dan manufaktur menurun seiring dengan peningkatan sektor jasa. Namun, peningkatan sektor jasa ini belum mampu menyerap tenaga kerja yang melimpah di pasar tekanan kerja. 
   
"Penurunan nilai tambah sektor manufaktur ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi secara prematur. Dengan begitu, transformasi ekonomi ini diperlukan untuk dapat terus digalakkan oleh pemerintah agar tetap menyerap tenaga kerja," ujar Danang.

Baca juga: Pemerintah rilis tiga relaksasi kebijakan untuk ketahanan ekonomi nasional

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018