Ditargetkan 5-6 tahun ke depan sudah tersedia pilihan vaksin halal tak hanya untuk negara-negara anggota OKI, tetapi juga kebutuhan dunia
Jakarta (ANTARA News) - Pertemuan perdana pemegang otoritas obat-obatan negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta, pada 21-22 November 2018 menghasilkan kesepakatan "Deklarasi Jakarta".

 Butir-butir Deklarasi Jakarta yang dihasilkan dari  pertemuan perdana The Heads of National Medicines Regulatory Authorities (NMRAs) from Organization of Islamic Cooperation (OIC), pada Kamis, itu di antaranya upaya harmonisasi standar menuju kemandirian obat dan vaksin bagi negara OKI, terutama bagi negara tertinggal.

"Yang terpenting, lewat pertemuan ini  terbangun jejaring untuk menjalankan fungsi regulatori guna mewujudkan ketersediaan obat yang aman, berkhasiat dan bermutu," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito.

 Poin lain deklarasi itu adalah perlunya definisi ulang mengenai sudut pandang obat dan vaksin halal untuk saat ini.

 Dia mengatakan definisi halal pada produk makanan tidak dipersoalkan karena begitu banyak pilihan. "Tetapi pada obat dan vaksin, pilihan itu untuk sementara sangat sedikit sehingga terminologi halal perlu didefinisi ulang," kata dia.

 Penny dalam kesempatan itu didampingi Assistant Secretary General OIC Muhammad Naeem Khan, CEO Saudi Arabia Food and Drug Administration (FDA) Hisham S Al Jadhey, Mustafa AM Alnafi (delegasi Palestina), Markieu Janneh Kaira (Gambia) dan Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kemenlu Kamapradipta Isnomo.

Penny mengatakan redefinisi kata halal saat ini penting untuk dilakukan. Vaksin dan obat jumlahnya sedikit sementara kebutuhan farmasi untuk pencegahan penyakit sangat mendesak.

 "Unsur gawat darurat inilah salah satu alasan perlunya redefinisi kata halal pada obat dan vaksin," kata dia.

Badan Kesehatan Dunia WHO menyebut sebanyak 30 persen populasi dunia kekurangan akses terhadap obat yang bersifat esensial, termasuk vaksin.

Kondisi itu juga terjadi di beberapa negara anggota OKI. Persoalan juga cenderung serupa karena keterbatasan kapasitas produksi dari industri farmasi yang ada di negara tersebut. 

 "Sejumlah negara OKI hingga kini masih berjuang melawan epidemi penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah lewat vaksin. Serta pentingnya perluasan akses bagi negara tak mampu untuk mendapat vaksin. Termasuk obat-obatan murah," kata dia.

 Penny mengatakan pertemuan perdana NMRAs OKI akan menjadi titik tolak kerja sama yang lebih baik lagi di masa mendatang.

 Hal itu tertuang dalam rencana kerja selanjutnya dengan membentuk kelompok kerja khusus menangani masalah obat dan vaksin halal.

 Indonesia, kata dia, bisa mengambil inisiatif untuk mengajak NMRAs OKI agar dapat memperluas akses farmasi dengan pengalaman Bio Farma.

 Bio Farma sebagai industri vaksin dalam negeri mampu memproduksi vaksin dengan kualitas yang diakui WHO.

 "Kami menargetkan 5-6 tahun ke depan sudah tersedia pilihan vaksin halal tak hanya untuk negara-negara anggota OKI, tetapi juga kebutuhan dunia," kata dia.

Terkait kelompok kerja NMRAs OKI, kata dia, juga akan dibuat khusus untuk menangani produksi dan peredaran obat palsu. Karena kondisi peredaran saat ini mengkhawatirkan berhubung obat palsu berbahaya bagi tubuh pengonsumsi.

 "Kami akan mengembangkan modul-modul pengawasan yang bisa mendeteksi obat palsu. Selain juga perlunya sistem peringatan bagi negara anggota OKI yang mendapatkan kasus obat palsu di negara masing-masing," katanya. 

Baca juga: Negara OKI hadapi tantangan sediakan obat-vaksin halal
Baca juga: 32 negara OKI hadiri pertemuan antar-regulator obat

 

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018