Jakarta (ANTARA News) - Pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo didakwa menyuap Wakil Ketua Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Golkar (saat itu) Idrus Marham senilai Rp4,75 miliar. 

"Pemegang saham Blakgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo memberikan uang secara bertahap yang seluruhnya berjumlah Rp4,75 miliar kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019 dan Idrus Marham," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ronald F Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Tujuannya adalah agar Eni membantu Kotjo untuk mendapatkan proyek "Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.

Kotjo merupakan pemegang 4,3 persen saham BNR, LTd sebanyak 40.045.552 lembar saham dimana salah satu anak perusahan BNR Ltd adalah PT Samantaka Batubara.

Kotjo pada sekitar 2015 yang mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1 sehingga ia mencari investor dan didapatlah perusahaan CHina Yakni CHEC Ltd dengan kesepakatan bila proyek berjalan maka Kotjo akan mendapat 'fee' sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS.

Fee itu akan dibagikan kepada: 
   1. Kotjo sendiri sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
   2. Setya Novanto sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
   3. Andreas Rinaldi sebesar 24 persen atau sekitar 6 juta dolar AS
   4. CEO PT BNR Ltd Rickard Philip Cecile sebear 12 persen atau sekitar 3,125 juta dolar AS
   5. Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
   6. Chairman BNR Ltd Intekhab Khan sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
   7. DIrektur PT Samantaka Batubara James Rijanto sebesar 4 persen atau sekitar 1 juta dolar AS
   8. Pihak-pihak lain yang membantu sebesar 3,5 juta dolar AS atau sekitar 875 ribu dolar AS

Direktur PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang pun mengajukan permohonan proyek itu kepada PLN pada 1 Oktober 2015 mengeai permohonan pengajuan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau yang memohon agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN

Namun karena setelah beberapa bulan tidak ada tanggapan maka Kotjo menemui Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan PT PLN.

"Atas permintaan terdakwa, di ruang kerja Ketua Fraksi Golkar DPR, SEtya Novanto memperkenalkan terdakwa dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Pada kesempatan itu Setnov menyampaikan kepada Eni agar membantu terdakwa dalam proyek PLTU itu dan terdakwa akan memberikan 'fee' yang kemudian disanggupi oleh Eni Maulani," kata jaksa Ronald.

Pada 2016, Eni lalu mengajak Dirut PT PLT Sofyan Basir didampingi Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso menemui Setnov di rumahnya.

"Dalam pertemuan itu, Setnov meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan Basir selaku Dirut PT PLN, namun Sofyan menjawab jika PLTGU Jawa III sudah ada kandidat, namun untuk pembangunan PLTU MT RIau-1 belum ada kandidatnya," tambah jaksa Ronald. 

Eni lalu memperkenalkan Kotjo sebagai pengusaha yang tertarik menjadi investor PLTU MT RIAU-1 dengan Sofyan Basir pada awal 2017 di kantor PLN. Sofyan lalu minta agar penawaran dikoordinasikan dengan Supangkat Iwan Santoso.

Pada 29 Maret 2017, IPP PLTU Paranap pun masuk ke dalam RUPTL PT PLN 2017-2026 dan disetujui masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKAP) PT Pembangkit Jawa Bali (PJB). PT PJB sesuai Prepres no 4 tahun 2016 ditunjuk melaksanakan 9 proyek IPP dengan wajib memilik 51 persen saham.

Supangkat pada Juli 2017 bertemu dengan Kotjo, Eni Maulani dan Sofyan Basir di kantor Sofyan. Supangkat menjelaskan berdasarkan Perpres tersebut, PT PLN dapat bermitra dengan perusahan swasta dengan syarat kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN minimal 51 persen. Mitra yang bekerja sama juga dapat menyediakan pendanaan modal untuk anak perusaan PT PLN.

"Atas penjelasan itu terdakwa menyatakn siap bekerja sama dengan anak perusahaan PLN dan dengan CHEC Ltd sebagai penyedia modal proyek," ungkap jaksa.

Pada 2017, Sofyan kembali menyampaikan kepada Kotjo dan Eni bahwa Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dengan dengan cara penunjukkan langsung tapi PT PJB harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal 51 persen.  

Rudy Herlambang lalu menyiapkan dokuemn teknis dan administrasi. Setelah dilakukan "due dilligence" pada 18 Agustus 2017, PT PLN Batubara memutuskan berkeja sama dengan PT Samantaka Batubaar sebagai mitra untuk memasok batu bara proyek PLTU MT RIAU-1.

Pada September 2017, Kotjo kembali bertemu dengan Eni, SOfyan Basir dan Supangkat. Eni meminta Sofyan membantu Kotjo menadapat proyek itu. Sofyan lalu memerintahkan Supangkat mengawasi proses kontrak proyek tersebut.

Maka pada 14 September 2017 di kantor PLN ditandatangani kontrak induk (heads of agreeement) oleh Dirut PT PJB Iwan Agung Firstantara, Plt Dirut PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC Ltd Wang Kun, CEO BNR Richard Philip Cecile dan Dirut PT Samantaka Rudy Herlamban untuk embmentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1.

Komposisi saham konsorsium adalah PT PJBI 51 persen, CHEC Ltd 37 persen dan BNR Ltd 12 persen dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara.

Konsorsium pun dibentuk lewat penandatanganan perjanjian konsorsium antara Dirut PT PJBI Gunawan Yudi Hariyanto, Authorized Signatory CHEC Wang Kun dan Dirut BNR Richard Philip sehingga terbentuk konsorsium PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd untuk mengajukan proposal ke PLN dalam proyek PLTU MT RIAU-1.

PLN dan konsorsium pada 6 Oktober 2017 lalu menyetujui tarif dasar listrik adalah 5,4916 dolar AS per KWh dan segera membentuk perusahan poryek yang akan menjadi pihak penjual berdasarkan Power Purchased Agreement (PPA). PPA itu lalu ditandatangani oleh PJBI dan BNR namun CHEC belum bersedia menandatangani.

Kotjo kembali bertemu dengan Sofyan dan Supangkat dengan difasilitasi oleh Eni. Kotjo keberatan dengan persyaratan PPA menuju "joint venture agreement" (JVC) yang hanya 15 tahun setelah "commercial operation date" (COD) dan meminta 20 persen setelah COD dakrena CHEC sebagai penyedia dana mayoritas, tapi tidak ada kesepakatan dalam pertemuan itu.

"Setelah Setya Novanto ditahan KPK dalam kasus KTP-El, ENi Maulani selanjutnya melaporkan perkembangan proyek PLTU MT RIAU-1 kepada IDrus Marham agar Eni tetap diperhatikan terdakwa karena Idrus merupakan Plt Ketua Umum Golkar saat itu,"

Eni lalu menyampaikan kepada Idrus akan mendapat 'fee" untuk mengawal proyek PLTU MT RIAU-1. Pada 25 September 2017, Eni dengan sepengetahuan Idrus pun mengirim "whatsapp" (WA) yang meminta uang sejumlah 400 ribu dolar Singapura dari Kotjo.

Pada 15 Desember 2017, Eni pun mengajak Idrus menemui Kotjo. Dalam pertemuan itu Kotjo menyampaikan fee akan diberikan ke Eni jika proyek PLTU RIAU 1 berhasil terlaksana.

"Eni Malani Saragih selaku bendahra munaslub Golkar meminta sejumlah uang kepada terdakwa dengan alasan untuk digunakan dalam Munaslub Golkar dan guna meyakinkan terdakwa, Idrus Marham juga menyampaikan kepada terdakwa 'tolong dibantu ya', selanjutnya permintaan Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham itu disanggupi terdakwa," tambah jaksa Ronald.

Uang sebesar Rp4 miliar lalu diberikan kepada Eni Maulani secara bertahap melalui Tahta Maharaya di kantor Kotjo yaitu pada 18 Desember 2017 sejumlah Rp2 miliar dan pada 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar.

Pada 27 Mei 2018, Eni mengirimkan WA lagi untuk meminta sejumlah Rp10 miliar guna keperluan pilkada suami Eni Maulani yang mencalonkan diri menjadi Bupati Temanggung.

Suami Eni adalah Muhammad Al Khadziq yang akhirnya terpilih sebagai Bupati Temanggung 2018-2023 bersama dengan Heru Ibnu Wibowo.

"Eni menyatakan uang itu diperhitungkan dengan fee yang akan diberikan setelah proyek PLTU MT RIAU-1 berhasil, namun terdakwa menolak dengan megnatakan 'saat ini cashflow lagi seret'," ungkap jaksa.

Pada 31 Mei 2018, kembali ada pertemuan antara Eni, Kotjo, Sofyan Basir dan Supangkat terkait PPA yang belum selesai karena CHEC belum sepakat mengenai jangka waktu pengendalian.

"Eni Maulani meminta Sofyan Basir segera memproses kesepakatan namun Sofyan menyampaikan bila CHEC, Ltd tidak sanggup memenuhi persyaratan maka terdakwa mencari perusahaan lain, namun terdakwa menyampaikan akan mengusahakan CHEC menyetujui persyaratan pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD," jelas jaksa.

Pada 5 Juni 2018 Eni lalu mengajak Idrus menemui Kotjo di kantornya dimana Idrus meminta Kotjo memenuhi permintaan Eni dengan mengatakan "tolong adik saya ini dibantu...buat pilkada".

Sofyan Basir pada 6 Juni 2018 akhirnya sepakat akan mendorong agar PT PLN (Persero) dan PT PJBI menadantangani amandemen perjanjian konsorsium dengan catatan CHEC sepakat waktu pengendalian JVC selama 15 tahun setelah COD. Sehingga pada 7 Juni 2018 di kantor PLN ditandatangani amandemen perjanjian konsorsium antara PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd untuk pengelolaan perusahaan proyek harus dilaksanadalam bentuk pengendalian bersama dan tunduk kepada hal khusus.

Pada 8 Juni 2018, Eni kembali meminta Idrus menghubungi Kotjo. Idrus pun menghubungi Ktojo melalui WA dengan kalkmat "Maaf bang, dinda butuh bantuan untuk kemenangan Bang, sangat berharga bantuan Bang Koco..Tks"

"Setelah mendapat pesan WA tersebut, terdakwa lalu memberikan uang sejumlah Rp250 juta kepada Eni malalui Tahta Maharaya di kantor terdakwa," tambah jaksa

Pada 3 Juli 2018, Eni melaporkan ke Sofyan bahwa Kotjo berhasil berkoordinasi dengan CHEC sehingga bersedia memenuhi persyaratan PPA. Eni juga melaporkan ke Idrus dan pembagian "fee" pun setelah proses kesepaktan proyek PLTU MT RIAU-1 selesai.

Pemberian uang ke Eni baru diberikan pada 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta melalui Audrey Ratna Justianty. Sesaat setelah Audrey menyerahkan uang itu kepada Tahta, petugas KPK mengamankan Kotjo, Eni Maulani, Tahta dan Audrey.

Atas perbuatannya, Kotjo disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Terhadap dakwaan itu, Kotjo tidak mengajukan keberatan (eksepsi).

"Secara pribadi saya tidak keberatan," kata Kotjo.

Sidang dilanjutkan pada 11 Oktober dengan agenda mendengarkan keterangan 4 orang saksi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018