Jakarta (ANTARA News) - Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia meminta Pemerintah RI untuk memanfaatkan posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) periode 2019-2020 dalam upaya mengakhiri krisis kemanusiaan terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar.
   
"Pemerintah Indonesia harus berperan aktif sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB untuk penyelesaian krisis kemanusiaan terhadap masyarakat Rohingya di Myanmar," ujar Fatia Maulidiyanti dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Jakarta, Kamis.
   
Misi Pencari Fakta PBB tentang Myanmar melaporkan bahwa setidaknya 319 desa telah dihancurkan seluruhnya atau sebagian oleh tentara Myanmar.
   
Selain itu, dalam laporan tim pencari fakta PBB dinyatakan bahwa terjadi serangan, pembunuhan di luar proses hukum, perampasan kebebasan sewenang-wenang, penghilangan paksa, perusakan properti dan penjarahan, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya terhadap masyarakat Rohingya.
   
Serangan-serangan tersebut telah mengusir secara paksa lebih dari 700.000 masyarakat Rohingya dari Myanmar.
   
Selanjutnya, menurut laporan  Misi Pencari Fakta PBB tentang Myanmar, ditetapkan bahwa pemerintah Myanmar bertanggung jawab atas tindakan pembiaran terjadinya kekerasan oleh kelompok bersenjata non-negara terhadap warga sipil.
   
Sementara itu, menurut KontraS, pemerintah Myanmar ketika menanggapi kasus krisis kemanusiaan itu di tingkat regional dan internasional justru bersikap defensif dan membentengi diri dengan prinsip non-intervensi dan kedaulatan negara.
   
Untuk itu, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia meminta Pemerintah RI untuk lebih proaktif dalam memainkan peran Indonesia pada saat menjabat sebagai anggota dalam Dewan Keamanan PBB, yang dinilai sebagai aktor dan badan strategis untuk menyelesaikan kasus bencana kemanusiaan di Myanmar.
   
Hal itu karena PBB memiliki dalil untuk melakukan intervensi kemanusiaan, yakni "Responsibility to Protect" (RtoP), sehingga dapat bertindak untuk menghentikan operasi militer yang kejam di Myanmar dan meminta pertanggungjawaban atas segala pelanggaran yang telah terjadi.
   
"Kami menekankan pentingnya penegakan 'responsibility to protect' yang ada pada Piagam PBB. Negara wajib dan bertanggungjawab untuk melindungi warga negaranya. Bila negara dinilai gagal dalam melindungi warganya, maka masyarakat internasional berhak ikut campur," ujar Fatia dari KontraS.
   
Selanjutnya, dalam rekomendasi laporan Misi Pencari Fakta PBB tentang Myanmar disebutkan bahwa Dewan Keamanan PBB harus memastikan pertanggungjawaban atas kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan di Myanmar. 
   
Hal itu akan lebih baik lagi apabila kejahatan kemanusiaan tersebut dapat dirujuk ke Mahkamah Pidana Internasional atau secara alternatif dengan menciptakan Pengadilan Pidana Internasional ad hoc.
   
Untuk itu, pihak Amnesty International Indonesia menyarankan kepada Pemerintah RI untuk menggunakan posisi Indonesia di DK PBB untuk merekomendasikan situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC).
   
"Karena Myanmar bukan anggota ICC, satu-satunya cara untuk mengadili mereka adalah dengan merekomendasikan situasi bencana kemanusiaan di Myanmar kepada Dewan Keamanan dan segera membuat resolusi. Pertimbangkan untuk menerapkan tekanan lain, seperti pemberlakuan embargo ekonomi," kata Papang Hidayat, Peneliti Senior Amnesty International Indonesia.
   
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, antara lain terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Human Rights Working Group (HRWG), Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asia Justice and Rights (AJAR), Forum Asia.

Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018