Jakarta (ANTARA News) - Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyetujui penghapusbukuan (write-off) utang PT Dipasena milik Sjamsul Nursalim sebesar Rp2,8 triliun.

"Sebagai tindak lanjut penyelesaian kewajiban petambak dengan inti PT Dipasena, dalam rangka mengembangkan agribisnis dan menggerakkan perekonomian rakyat dan menghidupkan kembali hubungan kemitraan UMKM dan perusahan besar dan mempercepat kewajiban debitur kecil di BPPN, KKSK mengambil keputusan," tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Wayan Riana di Jakarta, Senin.

Jaksa kemudian berkata" memutuskan pertama, nilai utang petambak plasma ditetapkan setinggi-tingginya Rp100 juta dengan penetapan nilai utang maksimal tersebut maka dilakukan penghapusan atas sebagian utang pokok. Kedua atas porsi utang `sustainable` setinggi-tinginya Rp100 juta di atas temasuk `working capital` dan `capital expenditure` baru sebesar Rp80 juta sehingga dengan perhitungan itu utang plasma mencapai Rp1,1 triliun`, apakah benar itu keputusan KKSK 13 Februari 2004?" tanya jaksa penuntut umum (JPU) KPK Wayan Riana.

"Benar seperti itu dan itu berdasarkan usulan dan laporan BPPN karena mereka yang harus memeriksa ulang dan pasti ada pemeriksaan `finansial due dilligence`, `law due dilligence`, ini yang dibuatkan BPPN dan dibawa ke saya dan saya membacanya ini dan saya melihat ini yang dilaporkan di sidang kabinet sehingga saudara Syaf sendiri yang mengantarkan ke saya," jawab mantan menteri negara koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sekaligus Ketua KKSK 2002-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

"Apakah dengan keputusan ini utang petambak menjadi tinggal Rp1,1 triliun lalu Rp2,8 triliun dihapusbukukan?" tanya Jaksa Wayan.

"Kalau saya lihat dihapusbukukan ke sini seperti itu, laporan itu dibuat BPPN, saya membaca ini dan ada persyaratan itu yang diberikan," jawab Dorodjatun.

Menurut Dorodjatun keputusan KKSK 13 Februari 2004 itu juga memastikan tidak ada utang yang ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim.

"Tidak ada yang ditagihkan, meski saya dan Pak Boediono selalu mengusahakan minimal `top up` dari Sjamsul. Saya lihat karena hal itu sudah dibawa ke sidang kabinet maka itulah yang harus dilaksanakan dan di sidang kabinet," ungkap Dorodjatun merujuk sidang kabinet 11 Februari 2004 yang dipimpin Presiden Megawati Sukarnoputri.

Sedangkan menurut Sekretaris KKSK Lukita Dinarsyah Tuwo periode 2002-2004, penghapusbukuan utang Dipasena itu dapat dilakukan oleh BPPN.

"Penghapusbukuan bisa dilakukan BPPN tapi kewenangan sesuai lembaga, tidak mungkin dilakukan penyelesaian oleh BPPN karena masa tugasnya sudah hampir berakhir jadi diputuskan oleh lembaga yang menangai aset-aset selanjutnya," kata Lukita yang juga dihadirkan sebagai dalam perkara ini.

Bank Dagang Nasional Indonesia yang dimiliki Sjamsul Nursalim (BDNI) adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat sehingga harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun.

Baca juga: Jaksa KPK akan hadirkan Dorodjatun di persidangan

Sedangkan aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sejumlah Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) sebear Rp3,5 triliun.

Namun angka Rp1,3 triliun berkurang lagi menjadi Rp1,1 triliun sebagai utang petambak plasma yang dapat ditagihkan karena perubahan utang yang harus dibayarkan dari tadinya Rp135 juta per petambak menjadi Rp100 juta dikalikan jumlah petambak yaitu 11 ribu petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta per petambak sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan. Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi BPK.

Baca juga: Kwik sebut Sjamsul Nursalim obligor tak kooperatif

Baca juga: Dorodjatun dan Laksamana Sukardi akan diperiksa bersama dalam sidang

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018