Daraa, Suriah (ANTARA News) - Setelah mengalami pertempuran-pertempuran di kota kecil yang dulu dikuasai gerilyawan di Suriah Selatan, Muhammad Nasr Mahamid mengemukakan pelajaran yang dia peroleh setelah tujuh tahun perang Suriah, yakni bahwa perdamaian paling berharga dalam hidup.

Ayah dua anak itu tinggal di Kota Kecil Um Al-Mayathen, yang direbut militer Suriah awal pekan lalu dalam serangan besar militer di pinggir timur Provinsi Daraa.

Menggambarkan bahwa hidupnya sulit, Mahamid mengatakan ia tak lagi bisa melanjutkan pekerjaannya membuat blok-blok beton selama perang. Kini, ia mengandalkan hasil penjualan susu untuk memperoleh uang guna membesarkan anak-anaknya yang masih kecil, dan saudaranya yang masih muda.

Derita akibat perang tercermin pada wajah letihnya, serta rumah tempat dia tinggal. Ia akhirnya bisa bicara dan menjelaskan apa yang ada di dalam pikirannya setelah kota kecil tersebut kosong dari militan.

Kerusakan terlihat jelas pada rumahnya; lubang-lubang di langit-langit dan puing berserakan di lantai akibat pertempuran di sana selama bentrokan militer belum lama ini di Daraa. Ketika pertempuran berkecamuk, ia dan keluarganya pindah ke ruang yang lebih aman di dalam rumah untuk berlindung.

Ia mengeluh semua keperluan hidup sulit didapat ketika gerilyawan berada di kota kecil tersebut.

"Hidup sulit dalam berbagai aspek, sebab gas untuk memasak mahal, air sangat sulit diperoleh dan di atas semuanya kami telah menderita akibat tekanan kuat kehadiran militan bersenjata di kota kami," kata Mahamid kepada Xinhua selama kunjungan ke Daraa.

Ia mengatakan orang-orang menderita akibat kekurangan pangan menjelang tentara masuk ke kota itu.

"Satu pekan sebelum hari militer Suriah memasuki kota kecil, kami tak punya air atau makanan dan kami tak punya roti buat anak-anak," ia mengenang.

Mahamid mengatakan ibunya biasa membuat roti menggunakan gandum yang mereka simpan sebelumnya. Namun gandum tersebut habis, hanya cukup untuk membuat satu roti untuk makan anak-anak setiap hari.

Pria 32 tahun itu berharap perdamaian akan kembali ke negerinya, sehingga anak-anaknya, saudara dan saudarinya yang masih kecil dapat menjalani hidup normal lagi.

"Saya mengharapkan perdamaian kembali ke negeri kami dan bisa menjalani hidup kami seperti sebelum perang, ketika kami bisa melakukan perjalanan ke Daraa dan Damaskus, tertawa, bersenang-senang seperti dalam hidup normal," kata Mahamid.

"Selama perang, saya bisa tidur hanya empat jam setiap malam karena khawatir pria bersenjata datang dan mencuri domba atau sapi saya, sebab pria-pria bersenjata biasa melakukan apa saja yang mereka mau dan tak seorang pun berani menghentikan mereka," ia menambahkan.

Pada malam pertama setelah militan pergi, Mahamid mengatakan dia akhirnya "bisa tidup malam lama tanpa takut."

Sekarang, para hari-hari setelah perang di kota itu berakhir, warga mengharapkan masuknya bahan-bahan makanan dan kebutuhan lain sesegera mungkin demi anak-anak mereka.

Pemerintah Suriah sudah mulai mengirimkan pangan ke area-area yang baru-baru ini direbut di Daraa, namun proses semacam itu tidak bisa dilakukan dengan cepat dengan situasi militer di provinsi bagian selatan itu.

Pada 19 Juni, militer Suriah melancarkan oerpasi militer untuk mengusir pemberontak dari Daraa. Militer Suriah merebut kembali wilayah luar di Daraa dalam operasi baru-baru ini, baik lewat rekonsiliasi mau pun kekuatan militer.

Sebagai tempat lahir perang Suriah yang meletus 2011, Daraa secara simbolis dan militer signifikan bagi tentara Suriah karena para pemberontaik menggunakan perbatasan Yordania untuk membawa masuk senjata dan petempur sepanjang perang Suriah. (Uu.C003)

Baca juga: Lebih 72 persen Daraa, Suriah, kembali ke dalam kekuasaan pemerintah
Baca juga: Militer Suriah rebut tempat penyeberangan perbatasan dengan Jordania


 

Pewarta: -
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018